Defisit Gula Nasional 3,7 Juta Ton
loading...
A
A
A
TERNYATA importir gula tidak kena dampak pandemi Covid-19. Faktanya, di saat berbagai komoditas pangan impor turun malah angka impor gula mengalami kenaikan. Pada akhir tahun lalu angka impor gula tercatat 5,54 juta ton atau meningkat 1,45 juta ton dari angka impor pada 2019 sebanyak 4,09 juta ton. Ironisnya, kondisi industri makanan dan minuman selaku pengguna gula terbesar “terkapar” kena badai pandemi virus korona. Data menunjukkan pertumbuhan industri makanan dan minuman terjun bebas dari 7,8% pada 2019 menjadi 1,6% pada akhir tahun lalu. Begitu pula konsumsi gula untuk rumah tangga tidak ada lonjakan. Karena itu, wajar kalau ekonom senior Faisal Basri mempertanyakan kebijakan pemerintah terkait impor gula. Data impor gula kali ini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Memang Faisal Basri membeberkan data bahwa produksi gula nasional sepanjang tahun lalu mengalami penurunan. Hanya, angka penurunan tersebut tipis saja atau hanya pada kisaran 100.000 ton, dari angka produksi 2,23 juta ton pada 2019 menjadi 2,13 juta ton pada akhir tahun lalu. Bandingkan kenaikan angka impor gula yang mencapai 1,45 juta ton. Pembukaan keran impor gula secara lebar memang mengundang berbagai pertanyaan, tetapi pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) ini tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Sebab, boleh jadi impor gula tersebut dimaksudkan meredam lonjakan harga gula yang sempat mencapai Rp15.000 per kg, bahkan pada sejumlah daerah terpantau menembus Rp22.000 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500 per kg sebagaimana dipatok pemerintah.
Lalu, bagaimana kondisi pasar gula tahun ini? Pemerintah melalui PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menjamin ketersediaan pasokan gula, terutama menghadapi Ramadan dan Lebaran yang jatuh pada April-Mei tidak ada masalah. Untuk menjaga stabilitas harga gula nasional, perusahaan pelat merah itu telah melaksanakan penugasan pemerintah untuk impor gula sebanyak 75.000 ton secara bertahap sejak Maret hingga April 2021. Sebagaimana ditegaskan Direktur Utama RNI Arief Prasetyo Adi, kebijakan impor dikeluarkan sebagai upaya antisipasi permintaan gula yang meningkat pada Ramadan dan Lebaran. Sebab, berharap dari produksi gula dalam negeri dikhawatirkan bisa jadi masalah. Pasalnya, musim giling tebu di dalam negeri jatuh pada pertengahan tahun atau setelah Ramadan dan Lebaran.
Jadi, penugasan badan usaha milik negara (BUMN) yang fokus bisnisnya pada industri gula dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gula di dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga gula di tingkat konsumen. Selain itu, tugas yang diemban RNI sebagai importir gula sejalan dengan peran dan tugas selaku koordinator BUMN kluster pangan dalam menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional. Gula impor dari RNI itu masuk melalui sejumlah pelabuhan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Momon Rusmono, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, Senin (15/3), membeberkan data kebutuhan gula nasional. Berdasarkan prognosa, kebutuhan gula sepanjang Januari hingga Mei 2021 sebanyak 1,21 juta ton. Adapun stok gula dalam negeri diperkirakan 940.480 ton, meliputi 804.685 ton sebagai limpahan stok tahun lalu, dan 135.795 ton hasil produksi dalam negeri. Hal itu berarti defisit stok gula mencapai 278.484 ton hingga akhir Mei tahun ini. Untuk mengatasi defisit gula tersebut sudah aman dengan membuka keran impor lebar-lebar.
Sekadar menyegarkan ingatan, industri gula di Indonesia pernah berjaya di zaman penjajahan Belanda. Pada zaman itu industri gula nasional (Hindia Belanda) mencatatkan diri sebagai salah satu negara pengekspor utama gula terbesar di dunia setelah Kuba. Masa keemasan industri gula berlangsung selama tiga tahun antara 1928 hingga 1931 dengan angka produksi yang mencapai 3 juta ton yang dihasilkan dari 179 pabrik gula.
Sayangnya zaman keemasan industri gula nasional itu tak bisa diputar kembali. Saat ini kebutuhan gula nasional—gula rafinasi untuk industri dan gula kristal putih untuk konsumsi—diprediksi mencapai 5,8 juta ton tahun ini. Dan, produksi gula dalam negeri hanya mampu memasok 2,1 juta ton. Terjadi defisit yang sangat besar mencapai 3,7 juta ton. Untuk memenuhi defisit tersebut hanya satu jalan, yakni impor yang selalu dikerubuti pengusaha pemburu rente untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Jangankan pengusaha, semut saja gemar memburu gula karena manis.
Memang Faisal Basri membeberkan data bahwa produksi gula nasional sepanjang tahun lalu mengalami penurunan. Hanya, angka penurunan tersebut tipis saja atau hanya pada kisaran 100.000 ton, dari angka produksi 2,23 juta ton pada 2019 menjadi 2,13 juta ton pada akhir tahun lalu. Bandingkan kenaikan angka impor gula yang mencapai 1,45 juta ton. Pembukaan keran impor gula secara lebar memang mengundang berbagai pertanyaan, tetapi pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) ini tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Sebab, boleh jadi impor gula tersebut dimaksudkan meredam lonjakan harga gula yang sempat mencapai Rp15.000 per kg, bahkan pada sejumlah daerah terpantau menembus Rp22.000 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500 per kg sebagaimana dipatok pemerintah.
Lalu, bagaimana kondisi pasar gula tahun ini? Pemerintah melalui PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menjamin ketersediaan pasokan gula, terutama menghadapi Ramadan dan Lebaran yang jatuh pada April-Mei tidak ada masalah. Untuk menjaga stabilitas harga gula nasional, perusahaan pelat merah itu telah melaksanakan penugasan pemerintah untuk impor gula sebanyak 75.000 ton secara bertahap sejak Maret hingga April 2021. Sebagaimana ditegaskan Direktur Utama RNI Arief Prasetyo Adi, kebijakan impor dikeluarkan sebagai upaya antisipasi permintaan gula yang meningkat pada Ramadan dan Lebaran. Sebab, berharap dari produksi gula dalam negeri dikhawatirkan bisa jadi masalah. Pasalnya, musim giling tebu di dalam negeri jatuh pada pertengahan tahun atau setelah Ramadan dan Lebaran.
Jadi, penugasan badan usaha milik negara (BUMN) yang fokus bisnisnya pada industri gula dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gula di dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga gula di tingkat konsumen. Selain itu, tugas yang diemban RNI sebagai importir gula sejalan dengan peran dan tugas selaku koordinator BUMN kluster pangan dalam menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional. Gula impor dari RNI itu masuk melalui sejumlah pelabuhan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Momon Rusmono, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, Senin (15/3), membeberkan data kebutuhan gula nasional. Berdasarkan prognosa, kebutuhan gula sepanjang Januari hingga Mei 2021 sebanyak 1,21 juta ton. Adapun stok gula dalam negeri diperkirakan 940.480 ton, meliputi 804.685 ton sebagai limpahan stok tahun lalu, dan 135.795 ton hasil produksi dalam negeri. Hal itu berarti defisit stok gula mencapai 278.484 ton hingga akhir Mei tahun ini. Untuk mengatasi defisit gula tersebut sudah aman dengan membuka keran impor lebar-lebar.
Sekadar menyegarkan ingatan, industri gula di Indonesia pernah berjaya di zaman penjajahan Belanda. Pada zaman itu industri gula nasional (Hindia Belanda) mencatatkan diri sebagai salah satu negara pengekspor utama gula terbesar di dunia setelah Kuba. Masa keemasan industri gula berlangsung selama tiga tahun antara 1928 hingga 1931 dengan angka produksi yang mencapai 3 juta ton yang dihasilkan dari 179 pabrik gula.
Sayangnya zaman keemasan industri gula nasional itu tak bisa diputar kembali. Saat ini kebutuhan gula nasional—gula rafinasi untuk industri dan gula kristal putih untuk konsumsi—diprediksi mencapai 5,8 juta ton tahun ini. Dan, produksi gula dalam negeri hanya mampu memasok 2,1 juta ton. Terjadi defisit yang sangat besar mencapai 3,7 juta ton. Untuk memenuhi defisit tersebut hanya satu jalan, yakni impor yang selalu dikerubuti pengusaha pemburu rente untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Jangankan pengusaha, semut saja gemar memburu gula karena manis.
(bmm)