Refly Harun soal Terorisme: Perhatikan juga Anasir yang Menjadikannya Lahan Bisnis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu radikalisme dan terorisme kembali mencuat setelah peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar belum lama ini. Seperti sebelum-sebelumnya, aksi teror itu langsung dikaitkan dengan Islam lantaran simbol-simbol keagamaan yang digunakan pelaku.
Menurut Refly Harun, pemerintah sibuk mencari-cari sumber radikalisme berasasal dari agama. Saking sibuknya pemerintah lupa bahwa kemungkinan persoalan pokok terorisme adalah pemerintahan yang tidak amanah.
Bagaimana pemerintah yang tidak amanah itu? Refly mencontohkan pemerintahan yang tidak melaksanakan tugas secara baik, yang sewenang-wenang, yang aparat-aparatnya korup, juga tidak adil memberikan distribusi kesejahteraan yang merata sesuai dengan pesan konstitusi.
”Kondisi ini lalu menyuburkan kelompok-kelompok yang mudah sekali terekrut untuk berbuat teror sebagai aksi balas dendam atas kondisi yang mereka rasakan. Ini yang seharusnya diperhatikan pemerintah agar jangan buru-buru menyalahkan kelompok itu sebagai tersesat dalam agama,” ujar pengamat politik yang juga guru besar hukum tata negara itu dalam video di youtube, dikutip Senin (5/4/2021).
Menurut Refly, kalau diperhatikan lebih seksama, kelompok radikal tersebut rata adalah kelompok minoritas yang terdiri dari orang-orang rentan dari sisi sosial dan ekonomi. ”Rata-rata ya, ada yang kelas menengah. Memang ada dari mereka yang punya keyakinan-keyakinan seperti itu,” ujar dia.
Berkaca dari fakta ini, Refly berpendapat penyelesaian radikalisme harus dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, terhadap mereka yang punya keyakinan bisa mencapai surga melalui jalan kekerasan.
Kedua, terhadap mereka yang bergabung karena kekecewaan dan marah terhadap pemerintah karena memandang kondisi sosial ekonomi yang buruk dan sebagainya. ”Ketiga, yang tak kalah penting harus diperhatikan pula anasir-anasir lain, termasuk di struktur negara, yang mengambil keuntungan dari kelompok-kelompok radikal atau teror tersebut,” tutur Refly.
Menurut Refly, bukan tidak mungkin bagian-bagian dari kekuasaan mengambil manfaat dari kejadian-kejadian teror. ”Sehingga terorisme justru menjadi lahan subur dalam tanda kutip bisnis atau kepentingan kelompok atau orang tertentu,” katanya.
Hal yang sama. lanjut Refly, terjadi seperti ketika masyarakat internasional menyatakan war on terrorism. ”Kita tahu begitu banyaknya deployment of money ke seluruh dunia. Yang kita tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak. Tetapi buktinya kita di Indonesia sampai hari ini masih bicara terorisme,” ujar dia.
Refly meyakini pendekatan militer tidak akan menghilangkan radikalisme. Sebaliknya radikalisme akan surut lewat dua arah tindakan yang harus dilakukan secara simultan.
”Pertama, introspeksi pemerintah, kebijakan apa yang salah. Kalau pemerintahan sudah amanah saya kira tidak ada ladang subur untuk terorisme. Kedua, peran civil society, dalam hal ini pemuka agama misalnya, untuk memberikan kesadaran bahwa betapa pun marah kita, betapa getirnya hidup atau diperlakukan tidak adil oleh penguasa, tidak ada justifikasi untuk menumpahkan darah mereka yang tidak bersalah,” tutup Refly.
Menurut Refly Harun, pemerintah sibuk mencari-cari sumber radikalisme berasasal dari agama. Saking sibuknya pemerintah lupa bahwa kemungkinan persoalan pokok terorisme adalah pemerintahan yang tidak amanah.
Bagaimana pemerintah yang tidak amanah itu? Refly mencontohkan pemerintahan yang tidak melaksanakan tugas secara baik, yang sewenang-wenang, yang aparat-aparatnya korup, juga tidak adil memberikan distribusi kesejahteraan yang merata sesuai dengan pesan konstitusi.
”Kondisi ini lalu menyuburkan kelompok-kelompok yang mudah sekali terekrut untuk berbuat teror sebagai aksi balas dendam atas kondisi yang mereka rasakan. Ini yang seharusnya diperhatikan pemerintah agar jangan buru-buru menyalahkan kelompok itu sebagai tersesat dalam agama,” ujar pengamat politik yang juga guru besar hukum tata negara itu dalam video di youtube, dikutip Senin (5/4/2021).
Menurut Refly, kalau diperhatikan lebih seksama, kelompok radikal tersebut rata adalah kelompok minoritas yang terdiri dari orang-orang rentan dari sisi sosial dan ekonomi. ”Rata-rata ya, ada yang kelas menengah. Memang ada dari mereka yang punya keyakinan-keyakinan seperti itu,” ujar dia.
Berkaca dari fakta ini, Refly berpendapat penyelesaian radikalisme harus dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, terhadap mereka yang punya keyakinan bisa mencapai surga melalui jalan kekerasan.
Kedua, terhadap mereka yang bergabung karena kekecewaan dan marah terhadap pemerintah karena memandang kondisi sosial ekonomi yang buruk dan sebagainya. ”Ketiga, yang tak kalah penting harus diperhatikan pula anasir-anasir lain, termasuk di struktur negara, yang mengambil keuntungan dari kelompok-kelompok radikal atau teror tersebut,” tutur Refly.
Menurut Refly, bukan tidak mungkin bagian-bagian dari kekuasaan mengambil manfaat dari kejadian-kejadian teror. ”Sehingga terorisme justru menjadi lahan subur dalam tanda kutip bisnis atau kepentingan kelompok atau orang tertentu,” katanya.
Hal yang sama. lanjut Refly, terjadi seperti ketika masyarakat internasional menyatakan war on terrorism. ”Kita tahu begitu banyaknya deployment of money ke seluruh dunia. Yang kita tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak. Tetapi buktinya kita di Indonesia sampai hari ini masih bicara terorisme,” ujar dia.
Refly meyakini pendekatan militer tidak akan menghilangkan radikalisme. Sebaliknya radikalisme akan surut lewat dua arah tindakan yang harus dilakukan secara simultan.
”Pertama, introspeksi pemerintah, kebijakan apa yang salah. Kalau pemerintahan sudah amanah saya kira tidak ada ladang subur untuk terorisme. Kedua, peran civil society, dalam hal ini pemuka agama misalnya, untuk memberikan kesadaran bahwa betapa pun marah kita, betapa getirnya hidup atau diperlakukan tidak adil oleh penguasa, tidak ada justifikasi untuk menumpahkan darah mereka yang tidak bersalah,” tutup Refly.
(muh)