Meneruskan WFH Menjadi FWA
loading...
A
A
A
Oleh : Wildan Hasan Syadzili
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan La Trobe University Melbourne,
Bertugas sebagai analis SDM aparatur pada Kementerian Agama RI
PANDEMI korona (Covid-19) telah membuat pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan yang belum pernah diterapkan sebelumnya. Salah satu kebijakan yang paling mencolok di dunia aparat sipil negara (ASN) adalahwork from home(WFH). Seorang ASN tidak lagi harus selalu hadir secara fisik di tempat kerja dengan bukti presensi yang cukup melalui klik pada aplikasi daring di saat mulai dan berakhir jam kerja pada setiap hari kerja.
Secara konseptual, kebijakan WFH ini telah mereduksi pembatasan ruang yang selama ini dijadikan standar disiplin melalui platform presensi fisik di ruang kerja. Akan tetapi WFH masih patuh pada batasan waktu karena mekanisme presensionlineyang diberlakukan masih pada rentang waktu jam kerja sebagaimana diatur sebelumnya. Dengan asumsi bahwa WFH hanya sekadar memindahkan tempat kerja, tetapi masih mengunci ketat jam kerja, tidak sulit untuk menerima pendapat yang meragukan efektivitas atau bahkan validitas hasil WFH.
Alih-alih menjadi ruang kompromi antara produktivitas kerja dengan protokol kesehatan masa pandemi, WFH menjadikan disiplin PNS menjadi bahan guyonan melalui pola presensi daring dan solusi temporer pada dunia kerja di era pandemi. Bayangkan seorang pegawai di rumahnya harusstandbydi depan laptop dan/ataukeep contactdengan rekan kerjanya via daring pada rentang waktu di mana aktivitas di rumah pun sedang “produktif”. Hemat penulis, kondisi ini menggambarkan betapa WFH telah menjadikan seorang ASN menjalani dua peran yang berbeda, sebagai ASN di kantor versus menjalankan peran lainnya saat di rumah.
Sampai titik ini sudah cukup rasanya para ASN “berlatih” dengan WFH, pun demikian sudah terlalu besar belanja modal pegawai dikeluarkan negara untuk membayar gaji pegawai saat mereka sedang ber-WFH-ria. Kini sudah saatnya pemerintah menyegerakan penerapan konsep yang lebih progresif, yaituflexible working arrangement(FWA). Sebuah konsep berkinerja dengan komitmen batasan ruang dan waktu kerja yang disepakati secara terbuka dan berbasiskan capaianoutputnyata.
FWA untuk Produktivitas Kerja
Konsep FWA mengasumsikan kemandirian setiap pegawai untuk memilih ruang dan waktu kerja yang paling nyaman buat dirinya dengan satu platform utama, yaituoutputterwujud dan kinerja tercapai. Lebih dari itu, FWA pun menjadi jalan terbaik bagi dunia birokrasi untuk merespons secara positif dan aktif era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan pola kerja komputasi digital berbasis teknologi jaringan (network).
Sesungguhnya konsep FWA bukan hal baru di dunia kerja. Berbagai naskah kerja penelitian di berbagai belahan dunia telah mengkaji serius tentang pentingnya penerapan FWA di dunia kerja untuk menjaga keseimbangan pola hidup (worklife balance), merespons tren digital di era disrupsi, optimalisasi kinerja berbasis hasil, dan mempertahankan daya saing organisasi.
Dengan penerapan FWA, diharapkan pola kerja birokrasi lebih mengedepankan kinerja daripada formalitas disiplin yang sekadar memenuhi waktu kerja (working time) dan kehadiran di tempat kerja (working space) yang bertolak belakang dengan era disrupsi yang sudah mereduksi batasan ruang dan mempersempit rentang waktu.
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan La Trobe University Melbourne,
Bertugas sebagai analis SDM aparatur pada Kementerian Agama RI
PANDEMI korona (Covid-19) telah membuat pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan yang belum pernah diterapkan sebelumnya. Salah satu kebijakan yang paling mencolok di dunia aparat sipil negara (ASN) adalahwork from home(WFH). Seorang ASN tidak lagi harus selalu hadir secara fisik di tempat kerja dengan bukti presensi yang cukup melalui klik pada aplikasi daring di saat mulai dan berakhir jam kerja pada setiap hari kerja.
Secara konseptual, kebijakan WFH ini telah mereduksi pembatasan ruang yang selama ini dijadikan standar disiplin melalui platform presensi fisik di ruang kerja. Akan tetapi WFH masih patuh pada batasan waktu karena mekanisme presensionlineyang diberlakukan masih pada rentang waktu jam kerja sebagaimana diatur sebelumnya. Dengan asumsi bahwa WFH hanya sekadar memindahkan tempat kerja, tetapi masih mengunci ketat jam kerja, tidak sulit untuk menerima pendapat yang meragukan efektivitas atau bahkan validitas hasil WFH.
Alih-alih menjadi ruang kompromi antara produktivitas kerja dengan protokol kesehatan masa pandemi, WFH menjadikan disiplin PNS menjadi bahan guyonan melalui pola presensi daring dan solusi temporer pada dunia kerja di era pandemi. Bayangkan seorang pegawai di rumahnya harusstandbydi depan laptop dan/ataukeep contactdengan rekan kerjanya via daring pada rentang waktu di mana aktivitas di rumah pun sedang “produktif”. Hemat penulis, kondisi ini menggambarkan betapa WFH telah menjadikan seorang ASN menjalani dua peran yang berbeda, sebagai ASN di kantor versus menjalankan peran lainnya saat di rumah.
Sampai titik ini sudah cukup rasanya para ASN “berlatih” dengan WFH, pun demikian sudah terlalu besar belanja modal pegawai dikeluarkan negara untuk membayar gaji pegawai saat mereka sedang ber-WFH-ria. Kini sudah saatnya pemerintah menyegerakan penerapan konsep yang lebih progresif, yaituflexible working arrangement(FWA). Sebuah konsep berkinerja dengan komitmen batasan ruang dan waktu kerja yang disepakati secara terbuka dan berbasiskan capaianoutputnyata.
FWA untuk Produktivitas Kerja
Konsep FWA mengasumsikan kemandirian setiap pegawai untuk memilih ruang dan waktu kerja yang paling nyaman buat dirinya dengan satu platform utama, yaituoutputterwujud dan kinerja tercapai. Lebih dari itu, FWA pun menjadi jalan terbaik bagi dunia birokrasi untuk merespons secara positif dan aktif era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan pola kerja komputasi digital berbasis teknologi jaringan (network).
Sesungguhnya konsep FWA bukan hal baru di dunia kerja. Berbagai naskah kerja penelitian di berbagai belahan dunia telah mengkaji serius tentang pentingnya penerapan FWA di dunia kerja untuk menjaga keseimbangan pola hidup (worklife balance), merespons tren digital di era disrupsi, optimalisasi kinerja berbasis hasil, dan mempertahankan daya saing organisasi.
Dengan penerapan FWA, diharapkan pola kerja birokrasi lebih mengedepankan kinerja daripada formalitas disiplin yang sekadar memenuhi waktu kerja (working time) dan kehadiran di tempat kerja (working space) yang bertolak belakang dengan era disrupsi yang sudah mereduksi batasan ruang dan mempersempit rentang waktu.