MK dan Mantan Terpidana
loading...
A
A
A
Melalui sistem keadilan elektoral, pihak-pihak yang meyakini bahwa hak pilih dan hak untuk dipilih mereka telah dilanggar dimungkinkan untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan menerima putusan. Undang-undang sudah pula menyediakan skema penyelesaian masalah-masalah hukum pemilihan sebagai upaya mewujudkan keadilan elektoral dimaksud. Ada enam masalah hukum yang bisa terjadi saat pilkada. Meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, penyelesaian sengketa, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan puncaknya berupa perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.
Berdasarkan data yang dirilis situs MK, tercatat ada 134 perkara perselisihan hasil yang diterima MK. Mencakup 7 PHP gubernur, 114 bupati, dan 13 wali kota. Dari 134 perkara tersebut, 32 di antaranya berlanjut ke tahap pembuktian dengan menyisakan 2 PHP gubernur, 28 bupati, 2 wali kota.
Sehubungan dengan proses PHP tersebut dan dikaitkan dengan soliditas keadilan elektoral, maka terdapat masalah krusial yang perlu memperoleh penyelesaian dari MK. Khususnya menyangkut pencalonan mantan terpidana yang dilakukan berdasarkan penghitungan masa jeda yang tidak sesuai dengan putusan MK maupun ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan.
Mantan Terpidana
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, harus memenuhi persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, yang bersangkutan juga harus secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK ini merupakan buah dari pengujian undang-undang pemilihan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perludem, sebagai upaya mengakhiri perdebatan terkait konstitusionalitas pencalonan mantan terpidana. Upaya hukum itu juga bertujuan untuk menghindari pencalonan figur bermasalah guna mengeliminir peluang terpilihnya pemimpin korup melalui pilkada. Putusan MK itu secara teknis diatur lebih lanjut dalam PKPU 1/2020 tentang Pencalonan. Disebutkan bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengertian mantan terpidana tersebut sejatinya merupakan duplikasi dari pengaturan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan demikian, pemenuhan persyaratan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, harus dihitung dimulai sejak si calon berstatus bebas penuh. Artinya, untuk bisa disebut sebagai mantan terpidana, sudah menjalani keseluruhan hukuman termasuk pula sudah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Akan tetapi, praktiknya substansi putusan MK dan PKPU tersebut mengalami distorsi oleh beberapa putusan sengketa pencalonan Bawaslu daerah. Tercatat Bawaslu Bengkulu, Lampung Selatan, Dompu, dan Boven Digoel, melalui putusan yang dibuatnya menyatakan bahwa penghitungan masa jeda bagi calon yang berstatus mantan terpidana adalah dimulai sejak si calon keluar dari penjara atau sudah tidak berada di dalam penjara. Termasuk dalam hal ini keluar dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat. Bawaslu mengesampingkan ketentuan dalam PKPU karena berdalih langsung merujuk pada putusan MK. Padahal, rujukan Bawaslu itu dilakukan parsial, dengan memotong dan membatasi frasa “selesai menjalani pidana penjara” dan mengabaikan adanya frasa “mantan terpidana” sebagai satu kesatuan persyaratan dalam putusan MK.
Alih-alih menangkap maksud putusan MK dengan utuh, yang terjadi justru penyempitan makna. Bawaslu menerjemahkan “selesai menjalani pidana penjara” sebagai “keluar dari penjara”. Padahal keluar dari penjara tidak otomatis membuat seseorang bebas penuh dan menjadi berstatus mantan terpidana, terutama apabila masih menjalani pembebasan bersyarat. Status mantan terpidana baru bisa diperoleh ketika sudah menyelesaikan masa pembebasan bersyarat tersebut.
Dampak dari putusan Bawaslu yang meloloskan pencalonan mantan terpidana dengan penghitungan jangka waktu yang keluar dari putusan MK dan ketentuan PKPU tentang Pencalonan, membuat pemilihan diikuti oleh peserta yang dipertanyakan legitimasi dan konstitusionalitasnya. Selain mencederai keadilan elektoral, hal itu juga bisa berdampak pada kerugian negara. Akibat implikasi teknis dan anggaran yang harus ditanggung karena menyertakan calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan.