Koalisi Masyarakat Sipil: Pedoman Interpretasi Tidak Menjawab Akar Persoalan UU ITE
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, SAFEnet, ICJR, Imparsial, Puskapa UI, dan Amnesty Internasional Indonesia pesimis Tim Kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membuah hasil yang seperti didambakan masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD melalui Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021. Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu mengungkapkan dua alasan masyarakat sipil mengkritisi kehadiran tim kajian ini. Baca juga: LBH Pers Kritik Pemerintah terkait Pembuatan Interpretasi UU ITE
“Pertama, tidak ada keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM. Selama ini (Komnas HAM) menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Rabu (24/2/2020).
Komnas Perempuan pun, menurutnya, kerap menerima aduan terkait korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE. Pelaporan dilakukan saat mereka memperjuangkan haknya sebagai korban.
“Selama ini pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa. Maka, hampir dapat dipastikan pemilihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut,” tutur Erasmus.
Kedua, koalisi masyarakat sipil menilai Tim Kajian UU ITE ini ternyata dipimpin oleh orang yang selama ini berpotensi menghambat upaya revisi. Juga tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang jelas-jelas bersumnber dari adanya pasal-pasal karet UU ITE.
“Pasal-pasal karet dalam UU ITE memang nyata bermasalah dan telah memidana banyak jurnalis, aktivis pembela HAM, dan akademisi dalam menyampaikan ekspresi dengan mengedepankan fakta dan bermartabat. Namun, justru (mereka) dipenjarakan sebagaimana dapat dilihat dari laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network,” terangnya.
Erasmus menilai komposisi Tim Kajian UU ITE yang bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan Wali Kota Solo itu meminta jajarannya menelaah mengenai adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE.
Koalisi masyarakat sipil tidak berharap banyak pada tim ini karena komposisinya lebih banyak dari pemerintah. Koalisi mendesak adanya pelibatan pihak independen, seperti Komnas HAM dan Perempuan.
“Koalisi Masyarakat Sipil menolak tegas keberadaan tim yang lebih fokus bekerja untuk merumuskan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu UU ITE. Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD melalui Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021. Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu mengungkapkan dua alasan masyarakat sipil mengkritisi kehadiran tim kajian ini. Baca juga: LBH Pers Kritik Pemerintah terkait Pembuatan Interpretasi UU ITE
“Pertama, tidak ada keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM. Selama ini (Komnas HAM) menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Rabu (24/2/2020).
Komnas Perempuan pun, menurutnya, kerap menerima aduan terkait korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE. Pelaporan dilakukan saat mereka memperjuangkan haknya sebagai korban.
“Selama ini pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa. Maka, hampir dapat dipastikan pemilihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut,” tutur Erasmus.
Kedua, koalisi masyarakat sipil menilai Tim Kajian UU ITE ini ternyata dipimpin oleh orang yang selama ini berpotensi menghambat upaya revisi. Juga tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang jelas-jelas bersumnber dari adanya pasal-pasal karet UU ITE.
“Pasal-pasal karet dalam UU ITE memang nyata bermasalah dan telah memidana banyak jurnalis, aktivis pembela HAM, dan akademisi dalam menyampaikan ekspresi dengan mengedepankan fakta dan bermartabat. Namun, justru (mereka) dipenjarakan sebagaimana dapat dilihat dari laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network,” terangnya.
Erasmus menilai komposisi Tim Kajian UU ITE yang bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan Wali Kota Solo itu meminta jajarannya menelaah mengenai adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE.
Koalisi masyarakat sipil tidak berharap banyak pada tim ini karena komposisinya lebih banyak dari pemerintah. Koalisi mendesak adanya pelibatan pihak independen, seperti Komnas HAM dan Perempuan.
“Koalisi Masyarakat Sipil menolak tegas keberadaan tim yang lebih fokus bekerja untuk merumuskan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu UU ITE. Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE,” pungkasnya.
(kri)