Panduan Kapolri Belum Sentuh Akar Permasalahan UU ITE

Selasa, 23 Februari 2021 - 14:07 WIB
loading...
Panduan Kapolri Belum...
PSHK UII menilai bahwa pembentukan panduan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) memberikan sejumlah pandangannya terkait dengan polemik Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ).

Menurut PSHK UII, sejatinya wacana revisi UU ITE sudah lama menyeruak dan tidak hanya menyangkut fenomena saling lapor di antara masyarakat. Di satu sisi, UU ITE dianggap memiliki dimensi positif sebagai sarana pembatasan bagi kebebasan berekspresi di ruang digital. Di sisi lain, UU ITE dianggap negatif, karena adanya pembatasan tersebut.

"Dan secara vertikal dianggap sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam kritik masyarakat dan secara horizontal dianggap sebagai pemicu fenomena saling lapor-melapor. Adanya persinggungan antara pemberian ruang kebebasan dengan pembatasan tersebut menjadi dimensi yang perlu untuk ditemukan jalan tengahnya," kata Direktur PSHK UII Allan, Fatchan Gani dalam keterangannya, Selasa (23/2/2021).

Baca juga: SE Kapolri Soal Tersangka UU ITE Tak Ditahan Jika Minta Maaf Direspons Positif

Allan menguraikan, terdapat 7 pembatasan terhadap hak berekspresi seseorang dalam UU ITE, yakni terhadap informasi elektronik yang memiliki materi muatan, pertama, melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat 1); memiliki muatan perjudian (Pasal 27 ayat 2); memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (27 ayat 3); memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman (27 ayat 4); memiliki muatan ujaran kebencian berdasar SARA (28 ayat 2); memiliki materi muatan yang berisi ancaman kekerasan secara pribadi (29); dan memiliki materi muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 40 ayat 2a).

Namun, menurut Allan, salah satu problematik yang muncul adalah terdapat kekaburan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan yang dianggap sebagai kritik serta adanya anomali impelementasi pasal yang justru mereduksi perlindungan terhadap hak asasi seseorang.

"Acapkali celah problematik ini membuka ruang kriminalisasi terhadap orang-orang atau badan yang sebenarnya ditujukan untuk mengekpresikan kritik atau untuk membela diri dan melindungi pribadi seseorang serta dijadikan sebagaimana data yang telah beredar," ujar Allan.

Baca juga: Keluarkan Surat Edaran, Kapolri Minta Penyidik Kedepankan Edukasi di UU ITE

"Terhadap isu ini, Pemerintah lewat Presiden Jokowi telah memberikan instruksi, pertama, mendorong DPR untuk melakukan revisi UU ITE. Kedua, memerintahkan Kapolri untuk merumuskan panduan penyelesaian kasus terkait UU ITE, yang salah satu muatannya bahwa yang harus melapor adalah korban," katanya.

Oleh karena itu, kata Allan, PSHK FH UII berpandangan perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi. Pemuatan norma ke dalam suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa azas, yakni azas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan; memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Serta, harus menggunakan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2031 seconds (0.1#10.140)