Daya Tahan APBN 2021

Senin, 22 Februari 2021 - 06:28 WIB
loading...
Daya Tahan APBN 2021
Daya Tahan APBN 2021
A A A
Oleh: Mukhamad Misbakhun
Anggota DPR RI Komisi XI Fraksi Golkar

Anggaran sektor publik atau state budget adalah cermin ideologis pemerintahan suatu negara. Anggaran ini, yang di Indonesia disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sesungguhnya menceritakan banyak hal.Sebagaimana dinyatakan Hyde (1992), anggaran ini sebagian adalah tentang politik, sebagian ekonomi, sebagian akuntansi, dan sebagian lagi administratif. Sebagai dokumen politik, ia mengalokasikan sumber daya yang langka bagi berbagai kepentingan yang beragam, bersaing, dan kadang bertabrakan. Sebagai dokumen ekonomi, ia berfungsi sebagai instrumen utama untuk mengevaluasi ketepatan redistribusi pendapatan, menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, menciptakan lapangan kerja, mengelola laju inflasi dan mempertahankan stabilitas ekonomi. Sebagai dokumen akuntansi, ia menciptakan batas bagi belanja pemerintah dan membuat keterikatan untuk bekerja dalam anggaran yang dialokasikan. Sementara sebagai dokumen administrasi, ia memberikan jalan yang spesifik tentang bagaimana layanan publik disediakan, kemudian membangun kriteria tentang pengawasan, pengukuran dan evaluasi.

Kerentanan APBN di Tengah Pandemi

Secara umum APBN mengandung beberapa permasalahan struktural. Permasalahan dimaksud adalah permasalahan di sisi pendapatan, permasalahan di sisi belanja, dan permasalahan belanja yang melampaui pendapatan atau defisit, kemudian bagaimana menutupi defisit tersebut dengan pembiayaan.

Dalam masa pandemi ini APBN mengandung tiga unsur yang rentan. Pertama, dari segi penerimaan. Penerimaan negara mengalami penurunan sebagai akibat kontraksi ekonomi. Ekonomi yang kontraktif berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Sebagai gambaran, pada 2020 realisasi penerimaan pajak terkontraksi -17,03% dibandingkan realisasi pada 2019. Tahun yang sama penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam juga mengalami kontraksi hingga -36.84%. Penerimaan pajak yang terkontraksi ini menurunkan rasio pajak dalam arti luas pada 2020 menjadi hanya sebesar 8, 94%. Penurunan yang berarti dibandingkan rasio pajak dalam arti luas pada 2019 yang mencapai 10,73%. Sebagai penyelamat walaupun jumlahnya tidak banyak adalah cukai dari tembakau.

Kedua, kerentanan dari sisi belanja, yang tidak semata persoalan masalah besaran anggaran belanja. Dalam masa pandemi yang menjadi perhatian adalah bagaimana mengeksekusi anggaran, mengingat berlakunya berbagai pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19. Persoalan-persoalan administratif terkait dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) juga nyata dan serius.

Implementasi APBN pada 2021 harus memberikan perhatian yang memadai pada persoalan belanja pemerintah ini mengingat pentingnya belanja pemerintah dalam menjaga berjalannya perekonomian nasional. Ketika konsumsi rumah tangga terkontraksi, belanja sosial yang sangat besar ternyata pengaruh terhadap ekspansi pertumbuhan sangat kecil. Dampaknya hanya meredam gejolak sosial, namun dampak ekspansi terhadap pertumbuhan kecil. Begitu juga investasi pemerintah dalam pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang mempunyai kecenderungan menurun dan kehilangan daya ekspansi dalam mendorong pertumbuhan. Ekspor-impor netto mengalami surplus, namun dalam situasi perdagangan internasional yang mengalami anomali. Sementara belanja pemerintah yang seharusnya hadir secara nyata sebagai pendorong ekspansi pertumbuhan hanya bisa mendangkalkan angka negatif pertumbuhan.

Bagaimana cara kita mengatasi defisit yang semakin lebar memang tergantung dari utang. Saat ini utang tidak bisa dikatakan major issue, namun lebih pada persoalan ketersediaan likuiditas di pasar. Negara menerbitkan surat berharga negara dan BUMN menerbitkan global bond sebagaimana perusahaan swasta nasional dan bank sentral yang juga menerbitkan global bond. Pemerintah, swasta, dan bank sentral berebut likuiditas, di mana tentu negara akan menang karena mampu memberikan imbal hasil (yield) dan kepastian pembayaran. Dampaknya adalah sektor riil akan kehilangan sumber pembiayaan karena harus bersaing dengan negara.

Ketiga, kerentanan dari segi struktur APBN yang lahir sebagai akibat kerentanan dari sisi penerimaan dan sisi belanja. Dalam arti sejauh mana komposisi penerimaan dan belanja ini adaptatif terhadap situasi pandemi yang sangat khusus ini, tanpa kehilangan daya ekspansi. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ternyata hanya bisa menjadi bantalan agar kita tidak jatuh terlalu dalam, tapi belum bisa mengangkat ke arah pertumbuhan yang positif. Pembenarnya adalah seakan tidak ada teori ekonomi yang disiapkan untuk menghadapi situasi krisis saat ini. Dunia menghadapi realitas yang sama sekali baru, dan tidak ada success story yang bisa dijadikan benchmark. Banyak negara maju terbata-bata membaca situasi setahun terakhir ini. Belum ada yang bisa meraba sejauh mana stimulus perekonomian yang dimodali utang, mampu mengatasi persoalan. Atau, sampai berapa tahun dampak dari kebijakan yang diambil dalam masa darurat ini.

Dalam hal APBN kita, desain atas penerimaan pajak misalnya. Bagaimana dirancang agar tetap dapat memberikan pemasukan bagi negara, yang pada akhirnya menggerakkan belanja pemerintah; namun di lain sisi juga memainkan peran sebagai insentif. Dalam hal ini insentif yang menunjang investasi dan menggerakkan sektor produksi. Pemberian insentif ini berdampak langsung pada penurunan penerimaan pajak, dengan harapan akan menstimulasi komponen pertumbuhan ekonomi yang lain. Komposisi penurunan penerimaan pajak ini sejauh mana mampu dikompensasi oleh tumbuhnya belanja rumah tangga, investasi, maupun menggerakkan ekspor.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2188 seconds (0.1#10.140)