Meneguhkan Visi Politik Kesejahteraan

Jum'at, 19 Februari 2021 - 05:05 WIB
loading...
A A A
Pertama, dalam jangka pendek maupun panjang, negara harus mampu menjadikan sistem jaminan sosial dalam arti yang sesungguhnya sebagai apa yang disebut dengan backbone kesejahteraan. Di tengah masa pandemi, program-program semacam perlindungan sosial tampaknya bisa menjadi solusi alternatif dalam menekan dan meminimalisasi dampak yang ditimbulkan akibat pandemi.

Kedua, komitmen politik kesejahteraan harus dimulai dengan pemenuhan hak dasar warga negara melalui pembangunan berbasis sumber daya produktif perekonomian sebagai penopang sistem jaminan sosial. Catatan utamanya, sebagai agen pembangunan negara tidak boleh hanya mendorong equality of opportunity (pemberian kesempatan yang sama) tetapi juga harus aktif menegakkan keadilan sosial.

Ketiga, prinsip utama dalam politik kesejahteraan selalu berpijak pada asas bahwa pertumbuhan ekonomi beserta hasil-hasil pembangunan yang dilahirkan harus berorientasi pada pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Komitmen ini penting karena melalui prinsip inilah kemungkinan terjadinya malapraktik pembangunan bisa dicegah.

Keempat, menciptakan pemerintahan yang kuat dan responsif terhadap persoalan-persoalan publik. Langkah ini bisa dimulai dengan penciptaan inovasi-inovasi pelayanan publik yang tidak hanya berhenti pada standar pelayanan minimum dalam altar birokrasi negara, tetapi bergerak maju menuju apa yang disebut dengan publik servis.

Beberapa langkah fundamental di atas ingin menegaskan tentang arah baru, serta pentingnya membangun kembali politik kesejahteraan. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan kembali peran negara sebagai institusi yang memang bertanggung jawab melindungi rakyatnya melalui serangkaian kebijakan yang memberi nisbah dan daya hidup kepada mereka.

Sebagai salah satu wujud nyata pengejawantahan politik kesejahteraan di era pandemi, komitmen tersebut oleh negara setidaknya telah dimulai melalui pengalokasian anggaran sebagai pelapis atas dampak pandemi. Negara, misalnya, pada 2020 telah menganggarkan Rp203,3 triliun untuk perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak, Rp123,46 triliun untuk sektor UMKM, serta Rp120,61 triliun bagi dunia usaha agar mampu bertahan dan tidak menimbulkan gejolak baru.

Semua hal di atas ingin menegaskan bahwa nilai strategis sebuah kebijakan yang berporos pada visi politik kesejahteraan terletak pada setidaknya 3 (tiga) hal. Pertama, ia akan mengarahkan pada sebuah strategi kebijakan yang memberi daya hidup secara proporsional terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Kedua, mengarahkan pengambil kebijakan di semua level untuk menciptakan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian warga yang tersisih dalam proses pembangunan. Dan ketiga, dari situlah akan lahir anggaran negara sebagai instrumen yang mampu memberi bobot keseimbangan pada neraca sosial pembangunan.

Karena itu, mewujudkan politik kesejahteraan membutuhkan kemampuan sebuah sistem politik yang bisa dengan cepat merespons tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Dibutuhkan sebuah institusi yang dapat mengelola kesejahteraan secara efektif.

Untuk itu, parlemen bersama pemerintah terus dan sedang berupaya melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjadikan keadilan sosial sebagai tujuan utama dari seluruh cita-cita yang dicanangkan. Selain itu melakukan upaya-upaya politisasi dalam pengertian membangun nilai-nilai yang ada di masyarakat paralel dengan nilai-nilai yang ada dalam pemerintahan.

Dalam konteks itu semua, saya melihat bahwa sebuah arah baru politik kesejahteraan hanya bisa diwujudkan dengan cara menggerakkan bandul pendulum kebijakan yang dilahirkan baik oleh pemerintah, parlemen, bahkan partai politik, ke arah perubahan terhadap kesejahteraan hidup masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diproduksi harus bersinggungan langsung dengan kondisi riil masyarakat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1481 seconds (0.1#10.140)