Nasib Buram Buku Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - “Buku apa saja yang Anda baca selama masa pandemi ini?” demikian ucapan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam akun sosial medianya untuk menyambut Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei kemarin.
Secara tersirat melalui pernyataan tersebut mantan wali Kota Solo ini meyakini masyarakat mempunyai banyak waktu di rumah selama masa pandemi korona (Covid-19) berlangsung dan meluangkan sebagian waktu tersebut untuk lebih banyak membaca buku ketimbang hari biasa. Benarkah demikian? Inilah pertanyaannya.
Secara faktual apa yang disampaikan Jokowi benar adanya. Fakta tersebut bisa diverifikasi melalui lonjakan penjualan buku secara internasional, baik buku fisik maupun e-book, selama masa pandemi korona ini. Tapi, apakah hal tersebut serta-merta mencerminkan kondisi di Indonesia?
Jika dilihat fakta yang ada selama ini, nasib dunia perbukuan di Tanah Air masih sangat memprihatinkan. Kondisinya seiring sejalan dengan lemahnya animo membaca masyarakat. Karena itu, seluas apa pun waktu yang dimiliki, tidak akan berpengaruh signifikan karena rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Indeks Literasi Baca Masyarakat yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019 menyebut bahwa 80% provinsi Indonesia darurat literasi baca karena minimnya akses. PISA 2018 menahbiskan fakta ini dengan memberi skor 371 kepada Indonesia. Bandingkan dengan rerata kemampuan membaca negara maju yang mencapai skor 485. (Baca: Selamatkan Buku, Harus Ada Gerakan Bersama Membaca)
Terpuruknya minat membaca dan nasib buku Tanah Air diakui pengamat pendidikan Doni Koesuma dan Ketua Pusat Kreativitas Literasi dan Pembelajaran Sepanjang Hayat LPPM Universitas Negeri Yogyakarta Pangesti Wiedarti. Menurut mereka, baik buka kertas maupun digital sama-sama sepi pembacanya.
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital, tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Dia mencontohkan buku digital di grup media sosialnya. Dia mengungkapkan, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya.
“Kalau ada buku, mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, enggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Selain karena rendahnya minat baca, akses mendapatkan buku juga tidak mendukung. Menurut dia, terjadinya darurat literasi di mayoritas daerah di Indonesia terjadi karena masyarakat tidak mengakses perpustakaan, tidak baca buku, rumah tangga juga tidak menyediakan koran dan majalah.
“Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta tidak tersedianya perpustakaan. Dan, riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat. Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja enggak ada, bagaimana mau literate,” imbuh Doni.
Untuk memacu minat baca, Doni mendorong gerakan bersama masyarakat membaca. Menurut dia, selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional, tapi arahnya sebatas memberikan akses dengan bagi-bagi buku atau membuat perpustakaan keliling. Dia berharap gerakan lebih bisa mendorong budaya membaca di semua lapisan masyarakat secara konkret.
“Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat enggak ada kebiasaan membaca. Makannya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarakat itu bisa membaca,” katanya.
Pangesti Wiedarti menekankan, jika ingin memajukan multiliterasi bangsa, maka gerakan literasi masyarakat harus didukung dengan budaya baca. Menurut dia, budaya baca ini hanya akan bisa terwujud jika buku yang beredar di masyarakat beraneka ragam. “Terbitkan banyak buku, beri keleluasaan bagi penerbit untuk berkiprah,” ujarnya. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Dari Dulu Sampai Sekarang Nasib Buku Apes)
Dia juga menekankan pentingnya memperbanyak perpustakaan hingga ke tingkat RW. Dalam pandangannya, pemerintah bisa menyisihkan alokasi dana desa untuk pembelian buku yang bisa ditaruh di taman buku masyarakat sehingga warga desa dari segala usia bisa membaca buku yang diminatinya.
Pangesti juga melihat pentingnya pemberian insentif untuk industri perbukuan sehingga mereka bisa membuat buku yang terjangkau. Dia mencontohkan Pemerintah India yang membebaskan pajak buku dan mengatur harga kertas cetak agar bisa murah.
“Selain itu, para pemimpin negeri juga harus memberi contoh teladan membaca. Mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah harus jadi teladan membaca agar SDM Indonesia meningkat sesuai harapan Nawacita,” ujarnya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rosalina berharap pemerintah baik pusat maupun daerah lebih memberikan perhatian pada industri penerbitan buku yang terdampak cukup keras akibat wabah corona ini agar bisa segera bangkit kembali.
Rosidayati menjelaskan, dampak dari pandemi Covid-19 yang dirasakan penerbit di Indonesia beragam bentuknya. Antara lain, penjualan buku yang anjlok karena tutupnya toko-toko buku dan sekolah, produktivitas karyawan merosot karena WFH, penerbit menghentikan produksi buku, dan merumahkan karyawan untuk mengurangi beban perusahaan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian melihat perlunya pendekatan baru untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan membaca buku. Dalam pandangannya, kondisi tersebut terjadi bukan karena kurangnya perpustakaan sebab faktanya perpustakaan Indonesia terbanyak kedua di dunia setelah India.
Karena itu, sebagai solusi, dia meminta Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memikirkan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat di luar dari pembangunan perpustakaan secara fisik. “Perlu ada pendekatan-pendekatan baru yang dicoba untuk meningkatkan minat baca. Sekarang orang sudah jarang yang datang ke perpustakaan fisik, apalagi di kondisi Indonesia yang secara geografis berpulau-pulau menjadi sangat sulit,” ungkapnya.
Menurut dia, fakta bahwa hampir semua orang memiliki gadget di tangan merupakan potensi yang harus dimanfaatkan. Apalagi, dengan ada Covid-19 ini, masyarakat Indonesia sudah semakin terbiasa menggunakan teknologi.
“Kita harus beralih dari menggunakan target-target konvensional seperti jumlah perpus, rak buku, dan lain-lain ke target-target digital seperti jumlah user iPusnas, jumlah buku yang dibaca, jumlah judul yang tersedia, dan sebagainya. Akses internet yang merata tentu merupakan prasyarat agar ini berhasil,” usul wakil ketua umum Partai Golkar itu.
Kendati demikian, Hetifah juga mengakui bahwa minat baca buku digital pun rendah. Untuk itu, dia menyebut perlu pembudayaan minat baca sejak dini di keluarga.
Penjualan Naik saat Pandemi
Secara internasional penjualan buku mengalami peningkatan drastis selama lockdown atau karantina wilayah akibat pandemi korona di berbagai negara. Buku yang umumnya laris manis adalah novel dan buku pelajaran atau kuliah karena penutupan sekolah dan bekerja dari rumah.
BBC melaporkan, khusus di Inggris, penjualan buku fiksi mengalami kenaikan sepertiga, sedangkan penjualan buku pendidikan anak-anak mencapai 234%. “Data penjualan menunjukkan populasi Inggris menyiapkan diri untuk isolasi yang lama," demikian keterangan Nielsen Book.
Hal sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Analis industri buku, NPD Group, melaporkan, kenaikan penjualan buku nonfiksi anak mencapai 66%. “Isolasi diri di seluruh dunia meningkatkan tren membaca,” kata Presiden International Publishers Association (IPA) Hugo Setzer.
Ketika banyak sekolah ditutup, orang tua juga fokus menyediakan buku berbasis online ataupun cetak. NPD Group menyebutkan, kenaikan penjualan buku anak mencapai 128%, peningkatan penjualan buku pelajaran hingga 235%, dan buku sekolah mencapai 143% di AS.
“Interaktivitas dan nilai lebih merupakan karakteristik dari buku,” ujar Kristen McLean, analis industri buku NPD Group. “Sekolah di rumah juga mengakibatkan penjualan buku,” ucapnya. Peningkatan penjualan itu justru terjadi ketika kebanyakan toko buku di dunia tutup dan perusahaan penerbitan menurunkan performa karena mengantisipasi dampak pandemi. (Baca juga: Pembukaan Sekolah Sebaiknya Setelah Kasus Covid-19 Turun Drastis)
Di tengah era digital, penjualan buku fisik juga tidak kalah meskipun penjualan e-book memang mengalami kenaikan drastis. “Penerbit membuat buku yang menarik, terutama desain yang cantik,” kata Direktur Operasional Asosiasi Penjual Buku di Inggris Meryl Halls, dilansir CNBC.
Apalagi, kata Halls, orang cenderung menyukai buku-buku yang pernah dia baca. “Pencinta buku cenderung merekam apa yang pernah dia baca. Mereka juga menjadi buku sebagai bagian penting dalam dekorasi rumah dan koleksinya,” katanya.
Untuk tren e-book dengan kehadiran Amazon meluncurkan Kindle, menurut Halls, banyak orang tetap ingin melarikan diri dari layar. Pasar industri buku di seluruh dunia, dalam catatan IbisWorld, mencapai USD119 miliar dengan pelaku bisnisnya mencapai 16.395 industri. Sebanyak 315.579 orang bekerja di sektor tersebut.
Khusus di AS, sebanyak 675 juta buku cetak dijual pada 2018. Sedangkan pendapatan penjualan e-book secara global mencapai USD12,32 miliar. Di AS penjualan e-book mencapai 162 juta, sedangkan audiobook mencapai USD940 juta. Secara total pendapatan industri buku di AS mencapai 25,82 miliar pada 2018. (Kiswondari/Neneng Zubaidah/Andika H Mustaqim)
Secara tersirat melalui pernyataan tersebut mantan wali Kota Solo ini meyakini masyarakat mempunyai banyak waktu di rumah selama masa pandemi korona (Covid-19) berlangsung dan meluangkan sebagian waktu tersebut untuk lebih banyak membaca buku ketimbang hari biasa. Benarkah demikian? Inilah pertanyaannya.
Secara faktual apa yang disampaikan Jokowi benar adanya. Fakta tersebut bisa diverifikasi melalui lonjakan penjualan buku secara internasional, baik buku fisik maupun e-book, selama masa pandemi korona ini. Tapi, apakah hal tersebut serta-merta mencerminkan kondisi di Indonesia?
Jika dilihat fakta yang ada selama ini, nasib dunia perbukuan di Tanah Air masih sangat memprihatinkan. Kondisinya seiring sejalan dengan lemahnya animo membaca masyarakat. Karena itu, seluas apa pun waktu yang dimiliki, tidak akan berpengaruh signifikan karena rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Indeks Literasi Baca Masyarakat yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019 menyebut bahwa 80% provinsi Indonesia darurat literasi baca karena minimnya akses. PISA 2018 menahbiskan fakta ini dengan memberi skor 371 kepada Indonesia. Bandingkan dengan rerata kemampuan membaca negara maju yang mencapai skor 485. (Baca: Selamatkan Buku, Harus Ada Gerakan Bersama Membaca)
Terpuruknya minat membaca dan nasib buku Tanah Air diakui pengamat pendidikan Doni Koesuma dan Ketua Pusat Kreativitas Literasi dan Pembelajaran Sepanjang Hayat LPPM Universitas Negeri Yogyakarta Pangesti Wiedarti. Menurut mereka, baik buka kertas maupun digital sama-sama sepi pembacanya.
“Jadi, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti begini, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang baca buku. Buku sudah beralih ke digital, tidak banyak tuh yang baca,” kata Doni saat dihubungi SINDO Media kemarin.
Dia mencontohkan buku digital di grup media sosialnya. Dia mengungkapkan, saat ada yang mengirimkan koran ataupun e-book, tidak ada yang membaca itu, kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Kalau tidak ada yang memantik diskusi terkait buku itu, tidak ada yang mau membacanya. Banyak juga yang ingin tahu isinya tanpa ingin membaca bukunya.
“Kalau ada buku, mereka tanya dari orang lain apa sih isi buku itu, enggak mau baca sendiri, maunya tahu dari orang lain. Situasi literasi kita memang seperti itu,” ujarnya.
Selain karena rendahnya minat baca, akses mendapatkan buku juga tidak mendukung. Menurut dia, terjadinya darurat literasi di mayoritas daerah di Indonesia terjadi karena masyarakat tidak mengakses perpustakaan, tidak baca buku, rumah tangga juga tidak menyediakan koran dan majalah.
“Lalu, tingkat lamanya sekolah anak-anak juga berpengaruh pada kemampuan membaca serta tidak tersedianya perpustakaan. Dan, riset ini belum menyentuh pada kualitas membaca masyarakat. Jadi, riset Kemendikbud itu lebih pada akses dulu. Jadi kalau aksesnya aja enggak ada, bagaimana mau literate,” imbuh Doni.
Untuk memacu minat baca, Doni mendorong gerakan bersama masyarakat membaca. Menurut dia, selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional, tapi arahnya sebatas memberikan akses dengan bagi-bagi buku atau membuat perpustakaan keliling. Dia berharap gerakan lebih bisa mendorong budaya membaca di semua lapisan masyarakat secara konkret.
“Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat enggak ada kebiasaan membaca. Makannya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarakat itu bisa membaca,” katanya.
Pangesti Wiedarti menekankan, jika ingin memajukan multiliterasi bangsa, maka gerakan literasi masyarakat harus didukung dengan budaya baca. Menurut dia, budaya baca ini hanya akan bisa terwujud jika buku yang beredar di masyarakat beraneka ragam. “Terbitkan banyak buku, beri keleluasaan bagi penerbit untuk berkiprah,” ujarnya. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Dari Dulu Sampai Sekarang Nasib Buku Apes)
Dia juga menekankan pentingnya memperbanyak perpustakaan hingga ke tingkat RW. Dalam pandangannya, pemerintah bisa menyisihkan alokasi dana desa untuk pembelian buku yang bisa ditaruh di taman buku masyarakat sehingga warga desa dari segala usia bisa membaca buku yang diminatinya.
Pangesti juga melihat pentingnya pemberian insentif untuk industri perbukuan sehingga mereka bisa membuat buku yang terjangkau. Dia mencontohkan Pemerintah India yang membebaskan pajak buku dan mengatur harga kertas cetak agar bisa murah.
“Selain itu, para pemimpin negeri juga harus memberi contoh teladan membaca. Mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah harus jadi teladan membaca agar SDM Indonesia meningkat sesuai harapan Nawacita,” ujarnya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rosalina berharap pemerintah baik pusat maupun daerah lebih memberikan perhatian pada industri penerbitan buku yang terdampak cukup keras akibat wabah corona ini agar bisa segera bangkit kembali.
Rosidayati menjelaskan, dampak dari pandemi Covid-19 yang dirasakan penerbit di Indonesia beragam bentuknya. Antara lain, penjualan buku yang anjlok karena tutupnya toko-toko buku dan sekolah, produktivitas karyawan merosot karena WFH, penerbit menghentikan produksi buku, dan merumahkan karyawan untuk mengurangi beban perusahaan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian melihat perlunya pendekatan baru untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan membaca buku. Dalam pandangannya, kondisi tersebut terjadi bukan karena kurangnya perpustakaan sebab faktanya perpustakaan Indonesia terbanyak kedua di dunia setelah India.
Karena itu, sebagai solusi, dia meminta Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memikirkan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat di luar dari pembangunan perpustakaan secara fisik. “Perlu ada pendekatan-pendekatan baru yang dicoba untuk meningkatkan minat baca. Sekarang orang sudah jarang yang datang ke perpustakaan fisik, apalagi di kondisi Indonesia yang secara geografis berpulau-pulau menjadi sangat sulit,” ungkapnya.
Menurut dia, fakta bahwa hampir semua orang memiliki gadget di tangan merupakan potensi yang harus dimanfaatkan. Apalagi, dengan ada Covid-19 ini, masyarakat Indonesia sudah semakin terbiasa menggunakan teknologi.
“Kita harus beralih dari menggunakan target-target konvensional seperti jumlah perpus, rak buku, dan lain-lain ke target-target digital seperti jumlah user iPusnas, jumlah buku yang dibaca, jumlah judul yang tersedia, dan sebagainya. Akses internet yang merata tentu merupakan prasyarat agar ini berhasil,” usul wakil ketua umum Partai Golkar itu.
Kendati demikian, Hetifah juga mengakui bahwa minat baca buku digital pun rendah. Untuk itu, dia menyebut perlu pembudayaan minat baca sejak dini di keluarga.
Penjualan Naik saat Pandemi
Secara internasional penjualan buku mengalami peningkatan drastis selama lockdown atau karantina wilayah akibat pandemi korona di berbagai negara. Buku yang umumnya laris manis adalah novel dan buku pelajaran atau kuliah karena penutupan sekolah dan bekerja dari rumah.
BBC melaporkan, khusus di Inggris, penjualan buku fiksi mengalami kenaikan sepertiga, sedangkan penjualan buku pendidikan anak-anak mencapai 234%. “Data penjualan menunjukkan populasi Inggris menyiapkan diri untuk isolasi yang lama," demikian keterangan Nielsen Book.
Hal sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Analis industri buku, NPD Group, melaporkan, kenaikan penjualan buku nonfiksi anak mencapai 66%. “Isolasi diri di seluruh dunia meningkatkan tren membaca,” kata Presiden International Publishers Association (IPA) Hugo Setzer.
Ketika banyak sekolah ditutup, orang tua juga fokus menyediakan buku berbasis online ataupun cetak. NPD Group menyebutkan, kenaikan penjualan buku anak mencapai 128%, peningkatan penjualan buku pelajaran hingga 235%, dan buku sekolah mencapai 143% di AS.
“Interaktivitas dan nilai lebih merupakan karakteristik dari buku,” ujar Kristen McLean, analis industri buku NPD Group. “Sekolah di rumah juga mengakibatkan penjualan buku,” ucapnya. Peningkatan penjualan itu justru terjadi ketika kebanyakan toko buku di dunia tutup dan perusahaan penerbitan menurunkan performa karena mengantisipasi dampak pandemi. (Baca juga: Pembukaan Sekolah Sebaiknya Setelah Kasus Covid-19 Turun Drastis)
Di tengah era digital, penjualan buku fisik juga tidak kalah meskipun penjualan e-book memang mengalami kenaikan drastis. “Penerbit membuat buku yang menarik, terutama desain yang cantik,” kata Direktur Operasional Asosiasi Penjual Buku di Inggris Meryl Halls, dilansir CNBC.
Apalagi, kata Halls, orang cenderung menyukai buku-buku yang pernah dia baca. “Pencinta buku cenderung merekam apa yang pernah dia baca. Mereka juga menjadi buku sebagai bagian penting dalam dekorasi rumah dan koleksinya,” katanya.
Untuk tren e-book dengan kehadiran Amazon meluncurkan Kindle, menurut Halls, banyak orang tetap ingin melarikan diri dari layar. Pasar industri buku di seluruh dunia, dalam catatan IbisWorld, mencapai USD119 miliar dengan pelaku bisnisnya mencapai 16.395 industri. Sebanyak 315.579 orang bekerja di sektor tersebut.
Khusus di AS, sebanyak 675 juta buku cetak dijual pada 2018. Sedangkan pendapatan penjualan e-book secara global mencapai USD12,32 miliar. Di AS penjualan e-book mencapai 162 juta, sedangkan audiobook mencapai USD940 juta. Secara total pendapatan industri buku di AS mencapai 25,82 miliar pada 2018. (Kiswondari/Neneng Zubaidah/Andika H Mustaqim)
(ysw)