Begini Cerita Revisi UU ITE Era Jokowi, Kenapa Pasal Karet Masih Ada?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP, Saifullah Tamliha menceritakan mengenai proses revisi 2 pasal yang dianggap pasal karet dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 ( UU ITE ) pada DPR periode 2014-2019. Menurutnya, kala itu inisiatif revisi ada di pemerintah dan hanya menyangkut 2 pasal yang dianggap pasal karet saja.
“Ketika kami anggota Komisi I periode 2014-2019 membahas revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berasal dari RUU pihak pemerintah hanya merevisi 2 pasal saja,” ujar Tamliha saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Menurut mantan Anggota Panja RUU ITE itu, revisi dengan tujuan yang baik hanya menyangkut minimum dan maksimum jumlah masa penahanan untuk kasus tertentu, tidak maksimal lebih dari 5 tahun sehingga seseorang yang diduga melanggar UU ITE tidak mesti harus ditahan saat menjalani penyelidikan dan atau penyidikan.
“Karena yang direvisi sangat terbatas dan pemerintah diwakili Menkominfo saat itu Rudiantara tidak mau memperlebar revisi, maka memang berakibat masih terdapat beberapa pasal karet yang perlu direvisi lagi,” terangnya.
Politikus PPP ini mengatakan UU Nomor 19 Tahun 2016 hasil revisi tersebut pun seperti yang diduga sebelumnya akan menjadi masalah bagi kebebasan mengemukakan pendapat melalui transaksi elektronik. Pasal karet tersebut sudah ada saat UU ITE belum direvisi dan dibuat pada era Presiden SBY.
Oleh karena itu, Tamliha mengaku sangat setuju atas gagasan Presiden Jokowi untuk kembali merevisi UU tersebut, sekaligus untuk menjawab pertanyaan mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) tentang bagaimana menyampaikan kritik agar tidak dipanggil polisi.
“Ide dan gagasan Presiden Jokowi tersebut kita sambut hangat bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik,” imbuh Tamliha.
Adapun pasal karet yang sering diketahui selama ini, kata Tamliha, meliputi pasal tentang dugaan pencemaran nama baik, penghinaan yang berbau SARA, tata cara intersepsi dan bukti elektronik. Baca juga: Fraksi PAN Minta Revisi UU ITE Perhatikan 2 Hal Ini
“Pasal karet tersebut diatur secara rinci di dalam UU ITE, bukan selalu akan diatur oleh PP yang bisa menjadi bias dalam intrepretasi penyidik,” tandasnya.
“Ketika kami anggota Komisi I periode 2014-2019 membahas revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berasal dari RUU pihak pemerintah hanya merevisi 2 pasal saja,” ujar Tamliha saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Menurut mantan Anggota Panja RUU ITE itu, revisi dengan tujuan yang baik hanya menyangkut minimum dan maksimum jumlah masa penahanan untuk kasus tertentu, tidak maksimal lebih dari 5 tahun sehingga seseorang yang diduga melanggar UU ITE tidak mesti harus ditahan saat menjalani penyelidikan dan atau penyidikan.
“Karena yang direvisi sangat terbatas dan pemerintah diwakili Menkominfo saat itu Rudiantara tidak mau memperlebar revisi, maka memang berakibat masih terdapat beberapa pasal karet yang perlu direvisi lagi,” terangnya.
Politikus PPP ini mengatakan UU Nomor 19 Tahun 2016 hasil revisi tersebut pun seperti yang diduga sebelumnya akan menjadi masalah bagi kebebasan mengemukakan pendapat melalui transaksi elektronik. Pasal karet tersebut sudah ada saat UU ITE belum direvisi dan dibuat pada era Presiden SBY.
Oleh karena itu, Tamliha mengaku sangat setuju atas gagasan Presiden Jokowi untuk kembali merevisi UU tersebut, sekaligus untuk menjawab pertanyaan mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) tentang bagaimana menyampaikan kritik agar tidak dipanggil polisi.
“Ide dan gagasan Presiden Jokowi tersebut kita sambut hangat bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik,” imbuh Tamliha.
Adapun pasal karet yang sering diketahui selama ini, kata Tamliha, meliputi pasal tentang dugaan pencemaran nama baik, penghinaan yang berbau SARA, tata cara intersepsi dan bukti elektronik. Baca juga: Fraksi PAN Minta Revisi UU ITE Perhatikan 2 Hal Ini
“Pasal karet tersebut diatur secara rinci di dalam UU ITE, bukan selalu akan diatur oleh PP yang bisa menjadi bias dalam intrepretasi penyidik,” tandasnya.
(kri)