Tangkal Pandemi dengan Biota Laut

Senin, 15 Februari 2021 - 06:19 WIB
loading...
Tangkal Pandemi dengan...
Kekayaan biota laut Indonesia banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Sejumlah peneliti Indonesia berhasil mengembangkan riset biota laut sebagai bahan suplemen imunitas . Temuan ini menjadi harapan baru karena diyakini bisa menguatkan daya tahan tubuh masyarakat di tengah tekanan pandemi Covid-19 .

Salah satu riset biota laut dikembangkan oleh peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University. Riset ini menggabungkan empat komponen biota laut sebagai bahan dasar penguat sistem imun, yakni mangrove atau bakau, makroalga berupa rumput laut, mikroalga, dan teripang. Empat komponen ini kemudian diekstraksi dan hasilnya dicampurkan dengan minyak ikan sehingga berbentuk emulsi (cairan).

Penelitian biota laut tersebut sudah sampai tahap formulasi. Suplemen penguat sistem imun yang dihasilkan diharapkan bisa segera diproduksi dan dikonsumsi masyarakat dalam waktu dekat.

“Kami sedang formulasi, setelah itu mengecek khasiatnya, fokus kami pada produk untuk imunostimulan. Mudah-mudahan sekitar dua-tiga bulan lagi sudah bisa ada hasilnya berbentuk emulsi,” ujar dosen FPIK IPB University, Kustiariyah Tarman, kepada KORAN SINDO, Sabtu (13/2).



Kustiariyah yang juga bertindak sebagai ketua tim peneliti mengaku terdorong mengembangkan produk berbasis biota laut karena banyak literatur, antara lain berbentuk publikasi ilmiah maupun pengalaman empiris masyarakat yang mengungkap manfaat hewan dan tumbuhan laut sebagai penguat sistem imun. Kandungan penting dari biota laut antara lain omega 3, peptida atau protein, vitamin, mineral, beta glukan dan senyawa bioaktif lainnya. Selain sebagai imunostimulan, suplemen yang dihasilkan nantinya diharapkan juga berfungsi sebagai antioksidan.

Riset biota laut oleh peneliti IPB didorong oleh kesadaran bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan hayati laut terbesar di dunia. Hewan dan tumbuhan laut yang ada juga sudah terbukti banyak dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit. Riset ini sekaligus merespons situasi pandemi yang menyebabkan kebutuhan akan suplemen imunitas meningkat tajam.



Produk berbahan dasar biota laut yang ada di pasaran saat ini umumnya berupa minyak ikan dengan komponen utama omega 3. Ini yang membedakan dengan suplemen yang akan dihasilkan oleh riset tim FPIK IPB. Suplemen tersebut nanti diharapkan akan memiliki efek yang lebih kuat dalam membentuk sistem imun karena hasil penggabungan minyak ikan dengan empat komponen biota laut sekaligus.

“Yang sedang kita buat ini, selain mengandung minyak ikan, virgin coconut oil (VCO), kita tambahkan empat ekstrak dari hewan dan tumbuhan laut. Kita harapkan dengan dicampur jadi satu ada efek sinergis dari masing-masing komponen sehingga ketika kita konsumsi khasiatnya jadi lebih kuat,” papar peneliti yang akrab disapa Kustia ini.

Produk herbal yang dikenal selama ini terdiri dari jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka, yakni obat dari bahan alam yang sudah dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinis. Di Indonesia sebuah hasil riset belum banyak yang menjadi produk fitofarmaka. Pemicunya perlu dukungan biaya yang besar karena harus ada penelitian lanjutan (uji klinis).

“Kami belum sampai ke sana (OHT dan fitofarmaka), ini suplemen, produk akhirnya suplemen,” tegasnya.



Demikian pula mengenai uji kemanan dan uji khasiatnya. Riset yang dilakukan Kustia dan tim peneliti IPB belum sampai pada level uji klinis. Uji khasiat yang dilakukan hanya berupa in vitro, yakni menguji di luar tubuh makhluk hidup. Meski disadari hasil uji in vivo (menguji ke hewan), hasilnya relatif lebih presisi, sehingga ketika produk dikonsumsi akan lebih meyakinkan, namun hal tersebut belum dilakukan karena pertimbangan biaya.

“Sebagai uji awal terkait khasiat kami lakukan in vitro (pengujian di laboratorium). Karena tergetnya untuk imunitas, maka kami cek bagaimana kemampuan hasil ekstraksi biota laut tersebut untuk imunostimulan, bagaimana ia menstimulasi imunitas,” papar peneliti dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) ini.

Untuk diketahui, penggabungan empat komponen biota laut untuk diekstraksi dan dibuat menjadi suplemen belum banyak dilakukan. Bahkan, bisa jadi riset peneliti IPB ini yang pertama. Kustia mengatakan, sejauh yang dia ketahui penelitian untuk produk serupa masih sebatas biota laut saja, misalnya hanya teripang dan spirulina (mikroalga).

Penelitian ini menjadi salah satu bagian dari Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 yang digelar oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN). Adapun suplemen yang dihasilkan nanti masuk dalam kategori riset dan inovasi di bidang pencegahan Covid-19.

Kustia berharap tahapan pengembangan suplemen imunitas dari biota laut itu segera selesai dengan harapan bisa dikonsumsi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Total waktu penelitian dari formulasi hingga pengembangan sekitar enam bulan. Setelah itu diharapkan produk suplemen sudah layak konsumsi. Pihaknya juga sudah memiliki mitra industri untuk produksi suplemen. Industri diyakini tidak memiliki kendala karena sebelumnya sudah mengantongi izin berupa produksi obat tradisional. Mitra industri yang dipilih juga memiliki kemampuan teknologi produksi emulsi.

“Kami berharap hasil riset ini sesuai prediksi. Penggabungan berbagai komponen biota laut menjadi suplemen juga diharapkan betul-betul dapat meningkatkan imunitas, dengan begitu kami bisa ikut berkontribusi bagi kesehatan masyarakat secara luas,” tandasnya.

Tantangan Menuju Fitofarmaka
Peneliti pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yunovilsa Putra mengatakan, produk alami dan turunan dari tanaman serta organisme laut mewakili lebih dari 50% dari semua obat dalam terapi modern.

Bahkan, terdapat lebih dari 100 senyawa laut telah diisolasi dari organisme laut Indonesia, seperti spons, soft coral, tunicate, algae, dan itu dilaporkan di lebih dari 70 publikasi. Organisme laut seperti bakteri, jamur, mikroalga, makroalga, cyanobacteria, dan invertebrata laut itu menghasilkan zat dengan berbagai aktivitas biologis, misalnya antikanker, antibakteri, dan antivirus.

Bcaa juga: Jadi Ketakutan Dunia, SROCC Ungkap Air Laut di Indonesia Terancam Jadi Asam

Hanya, menurut dia, memang belum banyak hasil dari biota laut yang bisa menjadi obat herbal terstandar (OHT) maupun fitofarmaka. Biota laut sejauh ini diakui belum banyak difokuskan untuk penelitian yang tujuannya sebagai zat pemacu imun (immunomodulator). Produksi dari biota laut masih sebatas sebagai obat herbal.

“Untuk produk-produk herbal kita sudah banyak di pasaran. Meski untuk menjadi fitofarmaka masih sangat sedikit sekali,” ujarnya.

Salah satu hambatan mengembangkan riset ke level fitofarmaka atau teruji keamanan dan khasiatnya secara ilmiah adalah bahan kimia untuk riset yang masih impor. Selain itu, faktor paling mendasar adalah pendanaan uji klinis untuk menjadi fitofarmaka. Kebanyakan industri dalam negeri masih ragu untuk berinvestasi karena butuh biaya yang besar.

“Sedangkan untuk infrastruktur lembaga pemerintahan dan universitas sebenarnya sudah mampu mengembangkannya,” ujarnya.

Masteria mengatakan saat ini Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sedang fokus riset teripang sebagai imunomodulator. Dia berharap hasil riset berupa ekstraksi dari body wall teripang tidak hanya berfungsi sebagai imunomodulator tetapi juga antibakteri, antikanker, dan antioksidan. Targetnya dalam dua tahun riset ekstraksi teripang itu sudah bisa menjadi obat herbal terstandar. “Apakah nanti akan menjadi fitofarmaka, tergantung komitmen industri,” katanya.

Butuh Kolaborasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengapresiasi penelitian yang dilakukan sejumlah perguruan tinggi di masa pandemi ini. Termasuk penelitian biota laut untuk imunitas yang dikembangkan Kustiariyah dari FPIK IPB University.

“Kami berharap penelitian tersebut sukses. Riset biota laut masih belum banyak digarap dari sisi biodiversitas maupun bioteknologinya. Padahal potensi kekayaan hayatinya sangat luar biasa,” ujar Akhmad Saikhu, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Balitbangkes, Kemenkes, kepada KORAN SINDO, kemarin.

Balitbangkes Kemenkes juga mengintensifkan penelitian di masa pandemi ini. Salah satu fokusnya adalah pencegahan dengan cara meningkatkan stamina tubuh agar tidak mudah terserang virus. Riset yang sudah dilaksanakan antara lain penelitian saintifikasi jamu untuk kebugaran.

“Tahun ini kami akan uji cobakan ramuan jamu saintifik kepada pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang,” jelas Saikhu.

Dia mengungkapkan, penelitian dilakukan dengan memadukan pengetahuan dan praktik yang sebenarnya secara tradisional sudah dilakukan turun temurun dengan pembuktian secara ilmiah melalui uji praklinik maupun uji klinik untuk mendapatkan bukti keamanan dan khasiat ramuan. Tujuan penelitian adalah untuk mengukur ramuan jamu peningkat daya tahan tubuh tersebut terhadap waktu hilangnya gejala klinis dan lama perawatan pasien Covi-19 dengan gejala ringan-sedang.

Balitbangkes Kemenkes juga menyadari pentingnya kolaborasi penelitian di masa pandemi ini. Penelitian jamu tersebut bekerja sama dengan komisi saintifikasi jamu nasional yang anggotanya berasal dari lintas kementerian, lembaga, universitas dan industri. “Juga melibatkan institusi rumah sakit dan para dokter saintifikasi jamu,” ujarnya.

Saikhu berharap ke depan makin banyak penelitian di bidang kesehatan yang dilakukan sehingga memberi manfaat bagi masyarakat sekaligus membangun ketahanan bangsa di bidang kesehatan.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2238 seconds (0.1#10.140)