Kelompencapir dan Konvergensi Media (Hari Radio Sedunia 13 Februari)
loading...
A
A
A
Eddy Koko
Pemred Radio Trijaya Network 2009 - 2014, Pengajar Jurnalistik di FISIP Unsri Palembang
SUATU hari ada diskusi kecil dengan Prof Alfitri dari FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang membahas radio siaran dalam era digital. Ada Jurusan Broadcasting (radio dan televisi) di fakultas tersebut yang, ternyata, banyak calon mahasiswa berminat pada bidang ini. Dua tahun lalu, saya juga terlibat diskusi dengan sahabat Andri Herdiansyah, praktisi radio dari Bandung membahas kegiatan Kelompencapir zaman Orde Baru. Kelompencapir singkatan dari Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa, gabungan antara acara radio, media cetak dan televisi. Konsep itu pada era digital sekarang muncul, antara lain, dalam bentuk konvergensi media di mana siaran radio di-YouTube-kan dan materinya ditulis pada media online (baca). Ketika sekarang banyak orang membahas era baru konvergensi media, sejatinya, Indonesia sudah melakukan konsep tersebut sejak tahun delapan puluhan melalui Kelompencapir.
Generasi sekarang tidak mengenal acara Kelompencapir tetapi generasi kami sangat mengenal karena itu acara yang membosankan dan lama durasinya. Siaran dilakukan bersama Radio Republik Indonesia (RRI) dengan TVRI (belum ada televisi lain) kemudian diberitakan Koran Masuk Desa proyek Departemen Penerangan (sekarang Kominfo), menghadirkan para petani yang, katanya, suka menyimak media tersebut. Peserta acara Kelompencapir seakan diskusi “panas” tetapi, konon, materi dan pertanyaannya sudah disiapkan panitia agar terkesan tampak hidup.
Pak Harto tampak senang menonton acara ini sehingga proyek Kelompencapir jalan terus. Koran Masuk Desa yang dananya cekak, saya sempat ikut mengelola, lanjut terus, mendompleng koran nasional yang terbit di daerah. Begitu Orde Baru bubar Kelompencapir pun tidak terdengar.
Tanggal 13 Februari dicanangkan sebagai Hari Radio Sedunia oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang pada 2021 merupakan tahun kesepuluh setelah diproklamirkan oleh negara yang tergabung dalam organisisasi ini. Alasan UNESCO membuat Hari Radio Sedunia (World Radio Day) menilai, radio merupakan media mampu menyatukan manusia dalam keberagaman agama, bangsa dan sebagainya termasuk menjadi alat demokrasi. Radio merupakan media paling banyak dikonsumi umat manusia dengan kemampuan uniknya dalam menjangkau pendengar di seluruh belahan dunia. Stasiun radio dikenal mampu melayani berbagai komunitas, menawarkan bermacam program, sudut pandang dan konten serta mencerminkan keragaman pendengar dalam organisasi melalui siarannya. Tema Hari Radio Sedunia tahun ini adalah Evolusi, Inovasi dan Koneksi.
UNESCO memandang radio pada era digital, saat ini, harus berevolusi, menyelaraskan diri agar bertahan pada perubahan zaman. Dengan demikian maka perlu melakukan inovasi-inovasi beradaptasi dengan teknologi baru menjadi media yang mampu diakses manusia di berbagai tempat, tentu, untuk semua orang. Dunia sudah berubah tetapi radio harus tetap menghubungkan antara pihak satu dengan lainnya terutama antara pengambil kebijakan dengan masyarakat dalam membantu mengatasi berbagai persoalan seperti bencana alam, krisis sosial ekonomi, epedemi dan sebagainya. Pendeknya, kata Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, manusia membutuhkan media humanis universal, menuju suatu kebebasan. Tanpa radio, hak atas informasi, kebebasan berekspresi dan kebebasan fundamental akan melemah, seperti keanekaragaman budaya karena stasiun radio merupakan suara dari mereka yang tidak bersuara.
Kalau UNESCO optimistis mengapa pengelola radio harus pesimis dalam menghadapi perubahan zaman? Jika mencermati perkembangan di Indonesia semangat mempertahankan radio siaran agar tetap dapat dinikmati dan melayani masyarakat sebetulnya sungguh luar biasa. Radio siaran di tangan anak-anak muda terus bergerak bersama lajunya perkembangan komunikasi yang begitu dasyat. Pada bagian lain ada masyarakat menganggap, radio siaran adalah media kuno. Namun banyak anak muda, bahkan di kota besar di mana mereka berada dalam lingkungan modern, tetap mengelola dan menikmati dunia radio siaran. Anak-anak muda ini tidak memasukkan radio siaran dalam museum tetapi dengan berani menantang perubahan zaman sehingga radio siaran tetap berkibar. Gelombang perubahan yang begitu dasyat saat ini disambut dengan ceria oleh anak-anak muda yang dengan cerdas mendomplengkan radionya pada perubahan itu sendiri.
Contohnya, siaran radio dikembangkan melalui sistem streaming sehingga orang bisa menikmati melalui laptop dan pesawat smartphone di mana bisa dikatakan “semua” orang, terutama orang kota, memiliki alat tersebut. Sudah terjadi, pendengar siaran radio FM banyak mendengarkan melalui pesawat handphone (HP) baik menggunakan data internet dan ada juga tanpa data alias HP berfungsi langsung sebagai pesawat radio. Radio dalam genggaman banyak orang sehingga tidak lagi repot menenteng radio transistor. Banyak pengelola radio siaran termasuk masyarakat tidak menyadari kemajuan ini. Pengembangan juga masuk pada ranah YouTube, siaran ditayangkan melalui media ini sehingga pendengar dapat melihat wajah penyiar kesayangannya. Anak-anak muda pengelola stasiun siaran juga membangun portal sebagai web dari radionya yang isinya materi kata siaran mereka dituangkan dalam tulisan. Kepada mereka yang tidak sempat mendengarkan siaran pada jam tayang dapat menikmati siaran tunda melalui media baru bernama Ipod Broadcasting (PodCast).
Bersatu Dalam Perubahan
Model Kelompencapir modern ini menandakan radio di Indonesia terus bergerak mengikuti zaman dengan nyaman. Bagaimana dengan fakta banyak radio siaran sekarang mati? Itu bukan karena dilibas zaman semata tetapi pengelolanya tidak kreatif karena kuno. Mengelola radio siaran dituntut kreativitas tinggi dan harus terus menyelaraskan dengan perubahan zaman serta pola pendengar . Jika dikelola dengan manajemen ngeyel, merasa konsepnya selalu betul, hasilnya akan amburadul.
Meskipun menyelaraskan dengan perubahan zaman tetapi harus diingat bahwa sifat radio adalah suara. Radio merupakan media yang dapat dinikmati sambil beraktivitas dengan kemampuan menembus batas wilayah dengan cepat di mana media lain sulit menjangkau. Sistem radio streaming bisa diterima karena masih sesuai dengan karakter radio sebagai media suara. Jika pernah mendengar acara radio siaran seperti sandiwara radio, laporan pandangan mata, feature, diskusi dan sebagainya orang dapat membayangkan kesedihan, kegembiran, keindahan, dramatis karena suara radio menciptakan imajinasi atau theatre of mind. Seharusnya ini dipertahankan dengan cara mengelola dan mengolah setiap program radio. Memakai kanal YouTube atau Podcast anggaplah, seperti sekarang banyak dijual di toko oleh-oleh, singkong rasa keju, rasa coklat, rasa pedas, natural dan sebagainya tetapi aslinya adalah tetap singkong. Itu taktik memenuhi selera pasar. Yang aneh adalah jika radio ditelevisikan atau singkong buat getok kepala orang. Bisa, tapi berbahaya. Jika ”mentelevisikan” radio akan menghapus karakter radio dengan theatre of mind-nya dan tidak dapat lagi dinikmati sambil beraktivitas. Tidak ada cerita masakan gosong karena ibu-ibu menggoreng seraya mendengarkan radio.
Perkembangan radio masih panjang. Sistem analog membuat banyak orang ingin membangun stasiun radio terhambat karena kanal frekuensi habis. Kondisi tersebut menyebabkan harga stasiun radio, selama ini, mencapai miliaran bahkan belasan miliar di Jakarta. Itu hanya izin saja tidak termasuk peralatan atau gedung yang ditinggalkan, padahal frekuensi yang diperjualbelikan tersebut milik negara. Dalam waktu dekat sistem analog akan dimatikan diganti dengan radio digital di mana satu frekuensi radio analog (sekarang ini) mampu menampung lebih sepuluh stasiun radio. Artinya ke depan sangat mungkin dan terbuka muncul banyak radio siaran baru pada sistem digital yang lebih mudah, murah dengan jangkauan ke penjuru dunia. Sekali di udara terus melayani dunia.
Selamat Hari Radio Sedunia!
Pemred Radio Trijaya Network 2009 - 2014, Pengajar Jurnalistik di FISIP Unsri Palembang
SUATU hari ada diskusi kecil dengan Prof Alfitri dari FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang membahas radio siaran dalam era digital. Ada Jurusan Broadcasting (radio dan televisi) di fakultas tersebut yang, ternyata, banyak calon mahasiswa berminat pada bidang ini. Dua tahun lalu, saya juga terlibat diskusi dengan sahabat Andri Herdiansyah, praktisi radio dari Bandung membahas kegiatan Kelompencapir zaman Orde Baru. Kelompencapir singkatan dari Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa, gabungan antara acara radio, media cetak dan televisi. Konsep itu pada era digital sekarang muncul, antara lain, dalam bentuk konvergensi media di mana siaran radio di-YouTube-kan dan materinya ditulis pada media online (baca). Ketika sekarang banyak orang membahas era baru konvergensi media, sejatinya, Indonesia sudah melakukan konsep tersebut sejak tahun delapan puluhan melalui Kelompencapir.
Generasi sekarang tidak mengenal acara Kelompencapir tetapi generasi kami sangat mengenal karena itu acara yang membosankan dan lama durasinya. Siaran dilakukan bersama Radio Republik Indonesia (RRI) dengan TVRI (belum ada televisi lain) kemudian diberitakan Koran Masuk Desa proyek Departemen Penerangan (sekarang Kominfo), menghadirkan para petani yang, katanya, suka menyimak media tersebut. Peserta acara Kelompencapir seakan diskusi “panas” tetapi, konon, materi dan pertanyaannya sudah disiapkan panitia agar terkesan tampak hidup.
Pak Harto tampak senang menonton acara ini sehingga proyek Kelompencapir jalan terus. Koran Masuk Desa yang dananya cekak, saya sempat ikut mengelola, lanjut terus, mendompleng koran nasional yang terbit di daerah. Begitu Orde Baru bubar Kelompencapir pun tidak terdengar.
Tanggal 13 Februari dicanangkan sebagai Hari Radio Sedunia oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang pada 2021 merupakan tahun kesepuluh setelah diproklamirkan oleh negara yang tergabung dalam organisisasi ini. Alasan UNESCO membuat Hari Radio Sedunia (World Radio Day) menilai, radio merupakan media mampu menyatukan manusia dalam keberagaman agama, bangsa dan sebagainya termasuk menjadi alat demokrasi. Radio merupakan media paling banyak dikonsumi umat manusia dengan kemampuan uniknya dalam menjangkau pendengar di seluruh belahan dunia. Stasiun radio dikenal mampu melayani berbagai komunitas, menawarkan bermacam program, sudut pandang dan konten serta mencerminkan keragaman pendengar dalam organisasi melalui siarannya. Tema Hari Radio Sedunia tahun ini adalah Evolusi, Inovasi dan Koneksi.
UNESCO memandang radio pada era digital, saat ini, harus berevolusi, menyelaraskan diri agar bertahan pada perubahan zaman. Dengan demikian maka perlu melakukan inovasi-inovasi beradaptasi dengan teknologi baru menjadi media yang mampu diakses manusia di berbagai tempat, tentu, untuk semua orang. Dunia sudah berubah tetapi radio harus tetap menghubungkan antara pihak satu dengan lainnya terutama antara pengambil kebijakan dengan masyarakat dalam membantu mengatasi berbagai persoalan seperti bencana alam, krisis sosial ekonomi, epedemi dan sebagainya. Pendeknya, kata Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, manusia membutuhkan media humanis universal, menuju suatu kebebasan. Tanpa radio, hak atas informasi, kebebasan berekspresi dan kebebasan fundamental akan melemah, seperti keanekaragaman budaya karena stasiun radio merupakan suara dari mereka yang tidak bersuara.
Kalau UNESCO optimistis mengapa pengelola radio harus pesimis dalam menghadapi perubahan zaman? Jika mencermati perkembangan di Indonesia semangat mempertahankan radio siaran agar tetap dapat dinikmati dan melayani masyarakat sebetulnya sungguh luar biasa. Radio siaran di tangan anak-anak muda terus bergerak bersama lajunya perkembangan komunikasi yang begitu dasyat. Pada bagian lain ada masyarakat menganggap, radio siaran adalah media kuno. Namun banyak anak muda, bahkan di kota besar di mana mereka berada dalam lingkungan modern, tetap mengelola dan menikmati dunia radio siaran. Anak-anak muda ini tidak memasukkan radio siaran dalam museum tetapi dengan berani menantang perubahan zaman sehingga radio siaran tetap berkibar. Gelombang perubahan yang begitu dasyat saat ini disambut dengan ceria oleh anak-anak muda yang dengan cerdas mendomplengkan radionya pada perubahan itu sendiri.
Contohnya, siaran radio dikembangkan melalui sistem streaming sehingga orang bisa menikmati melalui laptop dan pesawat smartphone di mana bisa dikatakan “semua” orang, terutama orang kota, memiliki alat tersebut. Sudah terjadi, pendengar siaran radio FM banyak mendengarkan melalui pesawat handphone (HP) baik menggunakan data internet dan ada juga tanpa data alias HP berfungsi langsung sebagai pesawat radio. Radio dalam genggaman banyak orang sehingga tidak lagi repot menenteng radio transistor. Banyak pengelola radio siaran termasuk masyarakat tidak menyadari kemajuan ini. Pengembangan juga masuk pada ranah YouTube, siaran ditayangkan melalui media ini sehingga pendengar dapat melihat wajah penyiar kesayangannya. Anak-anak muda pengelola stasiun siaran juga membangun portal sebagai web dari radionya yang isinya materi kata siaran mereka dituangkan dalam tulisan. Kepada mereka yang tidak sempat mendengarkan siaran pada jam tayang dapat menikmati siaran tunda melalui media baru bernama Ipod Broadcasting (PodCast).
Bersatu Dalam Perubahan
Model Kelompencapir modern ini menandakan radio di Indonesia terus bergerak mengikuti zaman dengan nyaman. Bagaimana dengan fakta banyak radio siaran sekarang mati? Itu bukan karena dilibas zaman semata tetapi pengelolanya tidak kreatif karena kuno. Mengelola radio siaran dituntut kreativitas tinggi dan harus terus menyelaraskan dengan perubahan zaman serta pola pendengar . Jika dikelola dengan manajemen ngeyel, merasa konsepnya selalu betul, hasilnya akan amburadul.
Meskipun menyelaraskan dengan perubahan zaman tetapi harus diingat bahwa sifat radio adalah suara. Radio merupakan media yang dapat dinikmati sambil beraktivitas dengan kemampuan menembus batas wilayah dengan cepat di mana media lain sulit menjangkau. Sistem radio streaming bisa diterima karena masih sesuai dengan karakter radio sebagai media suara. Jika pernah mendengar acara radio siaran seperti sandiwara radio, laporan pandangan mata, feature, diskusi dan sebagainya orang dapat membayangkan kesedihan, kegembiran, keindahan, dramatis karena suara radio menciptakan imajinasi atau theatre of mind. Seharusnya ini dipertahankan dengan cara mengelola dan mengolah setiap program radio. Memakai kanal YouTube atau Podcast anggaplah, seperti sekarang banyak dijual di toko oleh-oleh, singkong rasa keju, rasa coklat, rasa pedas, natural dan sebagainya tetapi aslinya adalah tetap singkong. Itu taktik memenuhi selera pasar. Yang aneh adalah jika radio ditelevisikan atau singkong buat getok kepala orang. Bisa, tapi berbahaya. Jika ”mentelevisikan” radio akan menghapus karakter radio dengan theatre of mind-nya dan tidak dapat lagi dinikmati sambil beraktivitas. Tidak ada cerita masakan gosong karena ibu-ibu menggoreng seraya mendengarkan radio.
Perkembangan radio masih panjang. Sistem analog membuat banyak orang ingin membangun stasiun radio terhambat karena kanal frekuensi habis. Kondisi tersebut menyebabkan harga stasiun radio, selama ini, mencapai miliaran bahkan belasan miliar di Jakarta. Itu hanya izin saja tidak termasuk peralatan atau gedung yang ditinggalkan, padahal frekuensi yang diperjualbelikan tersebut milik negara. Dalam waktu dekat sistem analog akan dimatikan diganti dengan radio digital di mana satu frekuensi radio analog (sekarang ini) mampu menampung lebih sepuluh stasiun radio. Artinya ke depan sangat mungkin dan terbuka muncul banyak radio siaran baru pada sistem digital yang lebih mudah, murah dengan jangkauan ke penjuru dunia. Sekali di udara terus melayani dunia.
Selamat Hari Radio Sedunia!
(bmm)