Polemik SKB Tiga Menteri, Anggota DPD Soroti Sisi Kepentingan Siswa
loading...
A
A
A
Untuk menutup celah bagi interpretasi menyimpang itu, kata dia, perlu dilakukan perumusan ulang atas Pasal 29 Ayat 2 UUD. Alternatif lain, perlu diberikan penjelasan terhadap kata “kemerdekaan”, yaitu seberapa jauh penerapan kemerdekaan itu pada peserta didik yang notabene masih berusia anak-anak.
Dia menuturkan ketika UUD menggunakan kata “kemerdekaan”, kesan liberalisasi terhadap perilaku peserta didik semakin kuat karena SKB 3 Menteri dimaksud memuat frasa "memberikan kebebasan kepada peserta didik".
"Meski terkesan indah, namun frasa tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak-anak diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat keputusannya sendiri," tuturnya.
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dikatakannya memang menjamin anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Namun pada saat yang sama tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut.
Menurut dia, konstruksi pasal sedemikian rupa dalam UU Perlindungan Anak memperlihatkan bahwa setelah diperhatikan dengan seksama, pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu dilakukan secara bertanggung jawab, yaitu semata-mata demi mendukung terealisasinya kepentingan terbaik anak. Siapa pun bisa mengesampingkan kehendak anak sepanjang pengesampingan itu justru menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
"Terus-menerus memenuhi setiap pendapat atau kehendak anak bukanlah bentuk pengasuhan atau pendidikan yang realistis. Perlakuan sedemikian rupa justru tidak ramah anak, yaitu tidak mendukung proses tumbuh kembang anak secara optimal. Termasuk pematangan moral spiritual anak sebagai dimensi perkembangan yang bersangkut paut dengan nilai-nilai kebenaran," tuturnya.
Dari situ bisa dibayangkan sebuah ilustrasi. Ketika seorang anak menyatakan bahwa ia menolak mengenakan busana yang sesungguhnya diwajibkan oleh kaidah agamanya, SKB dapat dipakai anak itu untuk mendukung sikapnya.
"Jika pilihan anak tersebut dipenuhi, maka itu justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikannya sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia," paparnya.
Sebaliknya, ketika sikap peserta didik tersebut ditentang dan dia diwajibkan untuk menjalankan kewajiban berbusana sesuai ketentuan agamanya, maka perlakuan seperti itu justru akan lebih memungkinkan terealisasinya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan kata lain, tetap mewajibkan peserta didik berbusana sesuai kewajiban agamanya, betapa pun bertentangan dengan pendapat atau kehendak anak, senyatanya lebih mendukung terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
Dia menuturkan ketika UUD menggunakan kata “kemerdekaan”, kesan liberalisasi terhadap perilaku peserta didik semakin kuat karena SKB 3 Menteri dimaksud memuat frasa "memberikan kebebasan kepada peserta didik".
"Meski terkesan indah, namun frasa tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak-anak diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat keputusannya sendiri," tuturnya.
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dikatakannya memang menjamin anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Namun pada saat yang sama tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut.
Menurut dia, konstruksi pasal sedemikian rupa dalam UU Perlindungan Anak memperlihatkan bahwa setelah diperhatikan dengan seksama, pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu dilakukan secara bertanggung jawab, yaitu semata-mata demi mendukung terealisasinya kepentingan terbaik anak. Siapa pun bisa mengesampingkan kehendak anak sepanjang pengesampingan itu justru menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
"Terus-menerus memenuhi setiap pendapat atau kehendak anak bukanlah bentuk pengasuhan atau pendidikan yang realistis. Perlakuan sedemikian rupa justru tidak ramah anak, yaitu tidak mendukung proses tumbuh kembang anak secara optimal. Termasuk pematangan moral spiritual anak sebagai dimensi perkembangan yang bersangkut paut dengan nilai-nilai kebenaran," tuturnya.
Dari situ bisa dibayangkan sebuah ilustrasi. Ketika seorang anak menyatakan bahwa ia menolak mengenakan busana yang sesungguhnya diwajibkan oleh kaidah agamanya, SKB dapat dipakai anak itu untuk mendukung sikapnya.
"Jika pilihan anak tersebut dipenuhi, maka itu justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikannya sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia," paparnya.
Sebaliknya, ketika sikap peserta didik tersebut ditentang dan dia diwajibkan untuk menjalankan kewajiban berbusana sesuai ketentuan agamanya, maka perlakuan seperti itu justru akan lebih memungkinkan terealisasinya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan kata lain, tetap mewajibkan peserta didik berbusana sesuai kewajiban agamanya, betapa pun bertentangan dengan pendapat atau kehendak anak, senyatanya lebih mendukung terpenuhinya kepentingan terbaik anak.