Polemik SKB Tiga Menteri, Anggota DPD Soroti Sisi Kepentingan Siswa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mengatur tentang ketentuan pengguaan seragam dan atribut agama di lingkungan pendidikan dasar dan menengah. Aturan tersebut menjadi polemik, khususnya terkait pelarangan mewajibkan mengenakan jilbab. Berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, DPR pendidik, tokoh agama ikut mengomentari SKB tersebut.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha ikut menyoroti aturan yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) itu.
Abdul Rachman mengatakan terkait SKB 3 Menteri itu, tampaknya ada beberapa persoalan utamanya terkait diktum kesatu, kedua dan ketiga. Dia menjelaskan, pada diktum kesatu dan kedua, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih untuk mengenakan pakaian seragam dan seragam tanpa maupun dengan kekhasan agama tertentu.
Diktum kedua mempertegas diktum kesatu, yakni memberikan kebebasan kepada ketiga subjek tersebut. Diktum ketiga, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Abdul Rachman juga menyoroti adanya kritikan terhadap SKB 3 Menteri, terutama kalangan yang memandang SKB tersebut tidak mendukung pendidikan agama bagi peserta didik.
"Saya sendiri melihat bahwa masalah pada SKB tidak terlepas dari rumusan pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Pasal dimaksud mencantumkan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban'. Selengkapnya, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'," kata Abdul Rachman dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/2/2021).
Menurut dia, diksi “kemerdekaan” pada pasal tersebut memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Sampai di situ, "kemerdekaan” mengandung nilai bijak yang tak terbantahkan.
Namun jika ditelaah secara lebih mendalam, lanjut dia, kata “kemerdekaan” justru berpotensi mendatangkan kompleksitas jika diterapkan secara pukul rata pada segala usia, yakni apabila ditafsirkan secara semena-mena, kata "kemerdekaan" bisa menyediakan jaminan perlindungan kepada peserta didik tingkat dasar dan menengah bahwa mereka bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri.
"Peserta didik, berlandaskan pada kata 'kemerdekaan', seolah memiliki justifikasi untuk mengenakan busana yang tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing. Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab," tuturnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha ikut menyoroti aturan yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) itu.
Abdul Rachman mengatakan terkait SKB 3 Menteri itu, tampaknya ada beberapa persoalan utamanya terkait diktum kesatu, kedua dan ketiga. Dia menjelaskan, pada diktum kesatu dan kedua, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih untuk mengenakan pakaian seragam dan seragam tanpa maupun dengan kekhasan agama tertentu.
Diktum kedua mempertegas diktum kesatu, yakni memberikan kebebasan kepada ketiga subjek tersebut. Diktum ketiga, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Abdul Rachman juga menyoroti adanya kritikan terhadap SKB 3 Menteri, terutama kalangan yang memandang SKB tersebut tidak mendukung pendidikan agama bagi peserta didik.
"Saya sendiri melihat bahwa masalah pada SKB tidak terlepas dari rumusan pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Pasal dimaksud mencantumkan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban'. Selengkapnya, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'," kata Abdul Rachman dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/2/2021).
Menurut dia, diksi “kemerdekaan” pada pasal tersebut memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Sampai di situ, "kemerdekaan” mengandung nilai bijak yang tak terbantahkan.
Namun jika ditelaah secara lebih mendalam, lanjut dia, kata “kemerdekaan” justru berpotensi mendatangkan kompleksitas jika diterapkan secara pukul rata pada segala usia, yakni apabila ditafsirkan secara semena-mena, kata "kemerdekaan" bisa menyediakan jaminan perlindungan kepada peserta didik tingkat dasar dan menengah bahwa mereka bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri.
"Peserta didik, berlandaskan pada kata 'kemerdekaan', seolah memiliki justifikasi untuk mengenakan busana yang tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing. Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab," tuturnya.