Rapor Merah Kinerja Antikorupsi

Rabu, 03 Februari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Rapor Merah Kinerja...
Ahmad Khoirul Umam (Foto: Istimewa)
A A A
Ahmad Khoirul Umam
Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina, Jakarta

HASIL Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) pada Kamis (28/01/2021) seolah menjadi ganjaran “rapor merah” bagi agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air. IPK 2020 Indonesia telah mengalami penurunan tajam sebesar 3 poin, dari semula 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020, pada skala 0 yang berarti sangat korup hingga 100 yang terkategori sangat bersih.

Penurunan tiga poin angka ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, nilai IPK Indonesia sendiri tidak pernah turun sejak 2008. Bahkan, jika dicermati dari sisi perolehan angkanya, IPK Indonesia 2020 sebesar 37 ini telah membawa kita mundur jauh lima tahun yang lalu, tepatnya pada 2016 di mana IPK Indonesia juga 37. Akibatnya, peringkat Indonesia yang semula di posisi 85, kini terjun drastis di posisi 102 dari 180 negara yang disurvei Transparency International. Artinya, Indonesia sedang mengalami masalah serius dalam kinerja pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Jika dicermati dari tiga klaster besar yang diisi sembilan komponen indikator penyusun IPK, baik di bidang ekonomi dan investasi, penegakan hukum dan layanan birokrasi, serta politik dan demokrasi, mayoritas mengalami penurunan dan stagnasi. Misalnya, mayoritas indikator ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha mengalami penurunan (PRS; IMD; GI; PERC), hanya WEF yang stagnan. Sementara indikator penegakan hukum (WJP-ROL) memang naik tipis, namun angkanya tetap berada di bawah rata-rata dan tidak mampu mendongkrak penurunan indikator lainnya. Adapun terkait layanan publik dan birokrasi mengalami stagnasi (BFTI; EIU). Sementara terkait indikator politik dan demokrasi (V-Dem) juga mengalami penurunan lagi.

Jika mencermati tren global, memang penurunan IPK ini memiliki korelasi dengan situasi pandemi Covid-19. Di mana kondisi pandemi telah memaksa negara untuk relaksasikan sejumlah aturan pengadaan barang dan jasa akibat pentingnya kecepatan pengambilan keputusan guna menyelamatkan anak bangsa di masa pandemi. Selanjutnya, relaksasi aturan di masa pandemi itu telah memfasilitasi terjadinya sentralisasi kekuasaan negara yang begitu mudah dibajak oleh penguasa. Karena itu, sejak awal pandemi, Transparency International (2020) telah mengingatkan bahwa situasi pandemi telah memfasilitasi bangkitnya kediktatoran dan otoritarianisme yang mengancam fondasi demokrasi.

Dalam situasi tersebut, menguatnya watak kekuasaan yang otoriter di sejumlah negara itu berimplikasi pada melemahnya kebebasan sipil. Kekuatan civil society dikebiri, dikriminalisasi, diteror, hingga membuat kapasitas pengawasan publik menjadi lemah. Ketika kritisisme dan pengawasan masyarakat melemah, pintu-pintu korupsi terbuka kembali. Karena, pada hakikatnya, korupsi adalah konsekuensi dari kekuasaan yang tidak terkendali. Akibatnya, momentum bencana dan situasi pandemi ini justru banyak dimanfaatkan untuk menjalankan praktik-praktik korup secara sistematis, terstruktur, dan masif.

Kendati demikian, korelasi antara situasi pandemi dan melemahnya pengawasan publik hanya satu faktor, yang tidak bisa digeneralisasi untuk menggambarkan kondisi politik antikorupsi di masing-masing negara. Untuk itu, kita perlu mencermati secara detail bagaimana arah pelaksanaan grand design agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi; bagaimana dinamika politik antikorupsi itu terjadi.

Sejumlah riset kajian antikorupsi di kawasan Asia Pasifik (Rama dan Lester, 2019; Umam, 2020; Brown, 2019; Graycar, 2017; Quah, 2012) telah mengonfirmasi bahwa efektivitas kinerja antikorupsi di suatu negara sejatinya tidak semata-mata ditentukan oleh kerja-kerja reformasi teknokratik administratif, melainkan lebih ditentukan oleh dinamika politik, pola relasi, dan pilihan cara pandang para elitenya dalam menjalankan tradisi politik dan kekuasaan itu sendiri. Pandangan ini juga selaras dengan teori ekonomi-politik strukturalis, yang meyakini bahwa korupsi politik merupakan induk dari segala bentuk korupsi di dalam struktur negara (Hadiz, 2005; Robison, 2013, Winters, 2009).

Dalam konteks Indonesia, problem penurunan dan stagnasi kinerja antikorupsi kita selama ini terletak pada realitas timpangnya kualitas transparansi, akuntabilitas, dan integritas pilar-pilar Sistem Integritas Nasional (SIN) yang ada. Jika mengacu pada skema SIN, praktis hanya pilar masyarakat sipil dan media yang relatif sehat dari praktik korupsi. Namun, dua kekuatan itu juga belakangan mulai terfragmentasi dan terpolarisasi akibat dari faksionalisme dan intervensi kepentingan korporasi dengan politik praktis. Selebihnya, hampir semua pilar SIN di jajaran eksekutif, yudikatif, terlebih legislatif masih mempertahankan tradisi korupnya.

Di tengah kekeringan integritas itu, peran KPK begitu sentral dalam menjaga marwah dan martabat pemerintah dalam kinerja pemberantasan dan pencegahan korupsi. Nilai IPK Indonesia selama ini tidak lepas dari kontribusi besar KPK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kendati demikian, agenda antikorupsi adalah kerja tim besar pemerintahan, bukan semata-mata tanggung jawab KPK.

Problemnya, Presiden Joko Widodo sebagai panglima tertinggi pemberantasan korupsi yang seharusnya melindungi KPK, justru lebih memilih untuk membiarkan KPK dikeroyok beramai-ramai oleh aliansi kepentingan yang menghendaki pelemahan KPK, melalui revisi UU KPK di pengujung 2019 lalu. Situasi itu belum tergambar dalam penilaian IPK 2019, yang dirilis pada awal 2020 lalu. Dengan kata lain, penurunan IPK 2020 yang dirilis di awal 2021 ini tak ubahnya merupakan koreksi telak bagi kinerja antikorupsi di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Sebagian pihak barangkali ada yang menilai bahwa revisi UU KPK tidak berdampak signifikan kepada KPK. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P Batubara. Tetapi, patut dicermati bahwa penangkapan itu dijalankan oleh para “The Last Samurai”, atau tim penyidik senior berkualitas KPK yang telah bersiap-siap tereduksi kapasitasnya saat sistem kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN) diberlakukan di dalam lembaga KPK.

Saat momentum itu datang, KPK dengan mudah akan dipaksa tunduk kepada supremasi kepentingan bisnis yang telah berselingkuh dengan kekuatan politik, yang belakangan telah terfasilitasi melalui revisi UU KPK, UU Minerba dan juga UU Cipta Kerja. Jika episode KPK berubah menjadi ‘macan ompong’ itu dimulai, skor IPK Indonesia terancam semakin terjun bebas, bersamaan dengan tren mundurnya kualitas demokrasi.

Untuk itu, koreksi atas kinerja antikorupsi tahun ini harus benar-benar diperhatikan secara serius oleh Presiden sebagai panglima tertinggi agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air. Kewenangan Presiden yang begitu besar merupakan sumber kekuatan yang harus dimanfaatkan (exercised) untuk mengonstruksi dan mengharmonikan elemen-elemen kekuatan integritas di semua struktur kekuasaan negara. Ke depan, Presiden Jokowi masih punya kesempatan besar untuk mengubah catatan suram kinerja antikorupsi ini. Dengan ikhtiar optimal untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas, rakyat akan mengapresiasi setiap legasi pemerintah ini.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1737 seconds (0.1#10.140)