Uji Kemampuan dan Kelayakan Menuju Stabilitas Sistem Keuangan

Selasa, 02 Februari 2021 - 05:05 WIB
loading...
Uji Kemampuan dan Kelayakan Menuju Stabilitas Sistem Keuangan
Yunus Husein (Foto: Istimewa)
A A A
Yunus Husein
Pengajar Fakultas Hukum UI dan STHI Jentera

PADA 19 Januari 2021, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/KDK.03/2020 tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk tanggal 24 Agustus 2020. Ini menjadi keputusan PTUN yang menarik, mengingat yang digugat dan dimenangkan PTUN adalah sebuah keputusan mengenai penilaian atas konduite perusahaan yang sedang menjadi pemegang saham utama sebuah bank.

Kita memahami betapa vitalnya peran industri perbankan dalam perekonomian nasional, seperti yang dimuat dalam Undang-Undang Perbankan No 7/1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang No 10/1998.

Krisis ekonomi yang bermula dari krisis perbankan pada 1997–1998 juga memberikan pelajaran besar mengenai pentingnya penilaian atas kemampuan dan kelayakan (fit and proper) terhadap pihak utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK), khususnya bank. Pihak utama adalah pihak yang memiliki, mengelola, mengawasi, dan atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada LJK, yang meliputi pemegang saham pengendali, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris.

Penilaian kemampuan dan kepatutan pihak utama LJK diperlukan untuk tata kelola yang baik sehingga tercipta LJK yang sehat yang bermanfaat untuk perekonomian, negara, masyarakat, pemegang saham, pegawai, dan pihak terkait lainnya. Apalagi LJK ini berbisnis menggunakan dana dari masyarakat sehingga perlindungan dana masyarakat atau kepentingan umum mutlak diperlukan. Semua itu hanya dapat tercapai jika pihak utama LJK adalah personel atau pihak yang lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan karena memiliki kompetensi dan integritas yang baik.

Dari sisi regulasi, penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersifat new entry dan existing diatur dalam dua peraturan yang berbeda. Yang pertama diatur dalam POJK Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama LJK, dan yang kedua diatur dalam POJK Nomor 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali bagi Pihak Utama LJK.

Perlu dipahami bahwa penilaian kemampuan dan kepatutan memiliki cakupan yang luas, yang tidak hanya terbatas pada aspek administrasi hukum, melainkan juga melingkupi aspek-aspek moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak, dan prinsip kehati-hatian.

Aspek-aspek tersebut bukan hanya memegang peranan penting dalam menentukan layak atau tidaknya seorang calon untuk menjadi pihak utama LJK, melainkan menjadi hal yang wajib untuk dijadikan pertimbangan, mengingat pentingnya peran LJK.

SEMA 3/2015
Urgensi atas perlindungan keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama LJK ini sebenarnya sudah ditangkap dan sudah diberikan solusi oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 3/2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara tersebut dijelaskan bahwa keputusan fit and proper test merupakan keputusan tata usaha negara, akan tetapi, PTUN tidak berwenang untuk menguji keputusan tersebut, karena pertama, keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterbitkan oleh lembaga independen; kedua, substansinya tidak hanya berisi tindakan hukum semata akan tetapi juga aspek-aspek lain nonhukum seperti moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak (track record), dan prinsip kehati-hatian.

Diterbitkannya SEMA tersebut merupakan perwujudan dari pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung untuk memberi petunjuk kepada pengadilan (Pasal 32 ayat (4)) dan tentunya bertujuan untuk mencapai keseragaman dan konsistensi penerapan hukum apabila terjadi pengujian atas keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan.

Namun, dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 178/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan batal Keputusan Dewan Komisioner OJK tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk, majelis hakim berpendapat bahwa penilaian kembali yang diatur dalam POJK No 34/2018 tidak termasuk dalam kategori fit and proper test.

Penilaian yang didasarkan atas POJK Nomor 34/2018 itu dianggap sebagai tindakan yang didasarkan pada kewenangan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan oleh karena itu patut untuk diuji, sementara SEMA No 3/2015 hanya berlaku bagi fit and proper test yang bersifat new entry atau hanya untuk penilaian atas pihak yang baru akan menjadi calon pihak utama dalam LJK.

Sebagai upaya menghormati putusan pengadilan tersebut serta mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, saya menilai beberapa hal perlu menjadi masukan dalam penilaian PTUN tersebut. Di antaranya, penting untuk memahami proses penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama di sebuah LJK dan tidak memisahkan penilaian bagi pihak yang baru akan menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 27/2016, dengan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak yang sudah menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 34/2016 dengan menggunakan diksi “penilaian kembali”.

Hal ini dikarenakan POJK 27/2016 dan POJK 34/2016 sama-sama bersumber dari PBI No 12/2010, yang mengakui dan mengatur penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing ke dalam rezim penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut. Selain itu, apabila diteliti dan dibandingkan antara POJK No 34/2018, POJK No 27/2016 dan PBI No 12/2010, dapat dengan jelas dilihat bahwa poin-poin yang dijadikan indikator penilaian kemampuan dan kepatutan pada dasarnya memuat substansi yang sama.

Yurisprudensi perkara ini sebenarnya ada dalam putusan PTUN pada 2017. Dalam putusan No 79 PK/TUN/2017 itu majelis hakim mempertimbangkan bahwa substansi objek sengketa yang merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan (existing) bukan menjadi wewenang peradilan tata usaha negara untuk menilainya.

Penerapan hukum tersebut juga diterapkan pada putusan 162/G/2017/PTUN-JKT. Dalam perkara tersebut, penggugat selaku pemegang saham pengendali bank perkreditan rakyat dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Majelis hakim dalam sidang gugatan di atas mempertimbangkan bahwa fit and proper test dilakukan oleh sebuah panitia yang independen dan juga mempertimbangkan kualitas integritas, moralitas, kelayakan keuangan dan menjaga prinsip-prinsip prudent (kepercayaan) dan kehatian-hatian dalam mengelola keuangan publik. Majelis Hakim juga menilai bahwa OJK di dalam melakukan fit and proper pengelola dan pemilik test calon pemimpin bank harus diberikan kekebalan profesi (immunity profession).

Keputusan PTUN dalam kasus gugatan Bosowa ini juga, kurang tepat jika mendalilkan bahwa penilaian kembali oleh OJK adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan OJK sehingga beralasan untuk melakukan pengujian atas keputusan tersebut. Untuk memahami persoalan ini, perhatikan konsiderans POJK No 34/2018 poin C, POJK No 27/2016 poin D dan PBI No 12/2010 Poin C dan D.

Dari poin-poin konsiderans tersebut dapat dilihat jelas bahwa masing-masing aturan tersebut dibuat dalam rangka menjalankan kewenangan pengawasan. Oleh karena itu, tidak logis apabila mengualifikasikan hasil penilaian kembali yang didasarkan pada POJK No 34/2018 sebagai keputusan yang dapat diuji dan hasil penilaian yang didasarkan pada POJK No 27/2018 sebagai keputusan yang tidak dapat diuji karena kedua-duanya sama-sama merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi pengawasan dan bersumber dari aturan yang sama (PBI No 12/2010).

Kemudian, tidak tepat pula mengecualikan POJK No 34/2010 dari kualifikasi objek tata usaha negara yang dikecualikan dalam SEMA No 3/2015 dengan alasan bahwa SEMA tersebut hanya berlaku bagi penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersifat new entry atau hanya bagi calon baru yang akan menjadi pihak utama LJK.

Secara gramatikal, penafsiran ini tidak tepat karena dalam SEMA tersebut, frase yang digunakan adalah “keputusan hasil fit and proper test”. Oleh karena itu, SEMA tersebut semestinya dipahami mencakup fit and proper test yang bersifat new entry dan existing (penilaian kembali).

Pemahaman mengenai maksud dari SEMA tersebut juga dapat dikaji dari sudut pandang historis. Bahwa SEMA ini dikeluarkan berkaitan dengan mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan dalam PBI No 12/2010, yang justru mengenal dan mengatur rezim penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing sekaligus.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, seharusnya Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/KDK.03/2020 tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk tanggal 24 Agustus 2020 tidak dapat menjadi objek gugatan di PTUN Jakarta dan gugatan PT Bosowa Korporindo seharusnya tidak dapat diterima oleh PTUN Jakarta.

Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ada kepentingan umum yang lebih besar yang wajib dilindungi oleh OJK melalui tindakan penilaian terhadap pihak utama di sebuah LJK. Karena jika tidak, dikhawatirkan LJK akan diisi oleh orang-orang yang kurang memiliki kompetensi dan integritas sehingga nasib banyak nasabah bank akan dirugikan dan stabilitas sistem keuangan akan terganggu. Perekonomian nasional pun bisa menjadi korban.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3161 seconds (0.1#10.140)