Pandemi, Perubahan UU Pemilu Dinilai Masih Belum Diperlukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak perlu meneruskan revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum pada Prolegnas tahun 2021 ini. UU Pemilu masih bisa diwadahi dalam undang-undang pemilu sebelumnya yakni UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
“Energi kita sebaiknya kita curahkan sepenuhnya menghadapi pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. UU Pemilu sebelumnya masih kompatibel dalam kondisi sekarang,” ujar Ketua Network for Indonesia Democratic Society (NETFID) Dahliah Umar di Jakarta, Kamis (28/01/21). Baca juga : Ingin Ganti Mobil, Ini Daftar Harga Mobil China Januari-2021
(Baca juga: Revisi UU Pemilu, Jimly: Bukalah Ruang Lebih dari Dua Paslon di Pilpres 2024 )
Dahliah menambahkan, selain penanganan wabah Covid-19, agenda pemulihan ekonomi nasional dirasa lebih penting daripada melakukan revisi UU Pemilu. Selain itu, akan terjadi debat panjang di parlemen yang menguras energi dan bisa mengalihkan fokus utama bangsa. Baca Juga: Siap-Siap, Relaksasi Iuran BPJAMSOSTEK Akan Segera Berakhir
“Jika tujuannya adalah mengatur keserentakan pemilu, UU yang ada sudah mengaturnya, yakni serentak pada 2024,” ujar Dahliah.
(Baca juga: Pilkada 2022 dan 2023 Ditiadakan, Parpol Tak Bisa Ukur Kekuatan Jelang Pemilu 2024 )
Bahkan, tambah Dahliah, proses transisi menuju 2024 telah disiapkan dan diatur oleh UU. Apalagi Pilkada 2024 sebagaimana diamanatkan UU No.10 tahun 2016 belum dilaksanakan. Selain itu, keserentakan dalam satu tahun pemilu justru dapat meraih dua keuntungan sekaligus. Keuntungan itu berupa, kontestasi dan konflik politik pemilu hanya terjadi dalam satu tahun pemilu saja, yakni 2024. Kedua, akan menghemat anggaran yang sangat signifikan.
Selain itu, kata dia, jika DPR meneruskan pembahasan revisi UU Pemilu akan membuat produk legislasi yang tidak sempurna.
“Membuat undang-undang yang terburu-buru tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menyimpan masalah. Pada akhirnya yang muncul adalah gugatan uji materi ke MK yang tak kunjung selesai,” ujar pegiat pemilu ini.
(Baca juga: Jejak Megawati dan JK dari Pilpres ke Pilpres )
Menurutnya, revisi UU Pemilu yang terburu-buru juga memiliki sejumlah konsekuensi yang berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Konsekuensiitu berupa, pengulangan situasi politik saat pembahasan perubahan UU pemilu.
Sejumlah isu krusial seperti sistem pemilu, sistem konversi suara, ambang batas parlemen, maupun soal pencalonan presiden akan menemui jalan buntu. “Pasti ada perdebatan panjang antarfraksi. Karena tidak ada kata sepakat, produk legislasinya nanti akan abai terhadap sejumlah isu krusial,” tukas Dahliah.
Karenanya, dia menyarankan, terhadap isu-isu krusial pengaturan pemilu, sebaiknya masih tetap menggunakan apa yang diatur dalam UU yang ada yakni UU No.7 tahun 2017. Sementara terhadap isu-isu krusial lain yang tidak diatur dalam UU, masih dapat diatur dalam peraturan-peraturan di bawah UU.
“Bahkan jika mendesak dan diperlukan pengaturan setingkat UU, PERPPU dapat diterbitkan untuk menjadi alternatif pilihan,” ucap Dahliah.
“Energi kita sebaiknya kita curahkan sepenuhnya menghadapi pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. UU Pemilu sebelumnya masih kompatibel dalam kondisi sekarang,” ujar Ketua Network for Indonesia Democratic Society (NETFID) Dahliah Umar di Jakarta, Kamis (28/01/21). Baca juga : Ingin Ganti Mobil, Ini Daftar Harga Mobil China Januari-2021
(Baca juga: Revisi UU Pemilu, Jimly: Bukalah Ruang Lebih dari Dua Paslon di Pilpres 2024 )
Dahliah menambahkan, selain penanganan wabah Covid-19, agenda pemulihan ekonomi nasional dirasa lebih penting daripada melakukan revisi UU Pemilu. Selain itu, akan terjadi debat panjang di parlemen yang menguras energi dan bisa mengalihkan fokus utama bangsa. Baca Juga: Siap-Siap, Relaksasi Iuran BPJAMSOSTEK Akan Segera Berakhir
“Jika tujuannya adalah mengatur keserentakan pemilu, UU yang ada sudah mengaturnya, yakni serentak pada 2024,” ujar Dahliah.
(Baca juga: Pilkada 2022 dan 2023 Ditiadakan, Parpol Tak Bisa Ukur Kekuatan Jelang Pemilu 2024 )
Bahkan, tambah Dahliah, proses transisi menuju 2024 telah disiapkan dan diatur oleh UU. Apalagi Pilkada 2024 sebagaimana diamanatkan UU No.10 tahun 2016 belum dilaksanakan. Selain itu, keserentakan dalam satu tahun pemilu justru dapat meraih dua keuntungan sekaligus. Keuntungan itu berupa, kontestasi dan konflik politik pemilu hanya terjadi dalam satu tahun pemilu saja, yakni 2024. Kedua, akan menghemat anggaran yang sangat signifikan.
Selain itu, kata dia, jika DPR meneruskan pembahasan revisi UU Pemilu akan membuat produk legislasi yang tidak sempurna.
“Membuat undang-undang yang terburu-buru tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menyimpan masalah. Pada akhirnya yang muncul adalah gugatan uji materi ke MK yang tak kunjung selesai,” ujar pegiat pemilu ini.
(Baca juga: Jejak Megawati dan JK dari Pilpres ke Pilpres )
Menurutnya, revisi UU Pemilu yang terburu-buru juga memiliki sejumlah konsekuensi yang berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Konsekuensiitu berupa, pengulangan situasi politik saat pembahasan perubahan UU pemilu.
Sejumlah isu krusial seperti sistem pemilu, sistem konversi suara, ambang batas parlemen, maupun soal pencalonan presiden akan menemui jalan buntu. “Pasti ada perdebatan panjang antarfraksi. Karena tidak ada kata sepakat, produk legislasinya nanti akan abai terhadap sejumlah isu krusial,” tukas Dahliah.
Karenanya, dia menyarankan, terhadap isu-isu krusial pengaturan pemilu, sebaiknya masih tetap menggunakan apa yang diatur dalam UU yang ada yakni UU No.7 tahun 2017. Sementara terhadap isu-isu krusial lain yang tidak diatur dalam UU, masih dapat diatur dalam peraturan-peraturan di bawah UU.
“Bahkan jika mendesak dan diperlukan pengaturan setingkat UU, PERPPU dapat diterbitkan untuk menjadi alternatif pilihan,” ucap Dahliah.
(ynt)