Quo Vadis UU ITE

Kamis, 21 Januari 2021 - 06:15 WIB
loading...
A A A
Atas dasar itu Aqwam mendapatkan peringatan dari Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati. Komentar itu dinilai Kemenkes memuat unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Terawan Agus Putranto (saat itu menjabat sebagai menteri kesehatan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE (SAFEnet, 05/08/2020).

Sejatinya komentar tersebut adalah kritik terhadap performa Menteri Kesehatan dalam menangani Covid-19. Penyampaian kritik menjadi bagian HAM, salah satunya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Karenanya komentar itu menjadi wajar dan seharusnya dilindungi demi menjamin terjaganya demokrasi di Indonesia. Bukan justru berdalih soal pencemaran nama yang berakibat pada pemberangusan kebebasan berekspresi.

Sekali lagi, semula eksistensi pasal itu tidak dimaksudkan untuk memberangus kebebasan berekspresi. Pasal itu diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya dan demi tertatanya kebebasan berekspresi.

Selain itu sanksi yang diimplementasikan pun seharusnya bersifat primum remedium (digunakan penegakan hukum administrasi) berupa pengenaan ganti rugi atau denda. Hal ini dimaksudkan untuk membuat efek jera agar orang tidak melakukan pelanggaran yang bersifat administrasi.

Arah Penguatan
Interpretasi yuridis yang tidak ambigu penting kembali dilakukan. Prinsip kebebasan dalam HAM adalah perlu adanya sebuah kebebasan yang berkeadilan. Pemerintah harus memberikan jaminan payung hukum yang jelas dan ruang lingkup batasan dalam koridor keadilan (John Rawls) sehingga tidak memunculkan banyak korban karena produk hukum yang multitafsir.

Dalam hemat penulis, terdapat tiga wacana sebagai solusi yang menekankan pada punishment, yang bersifat preventif bukan represif. Pertama, tahapan klarifikasi, yakni pemeriksaan terhadap para pihak terkait guna mengetahui dan meluruskan apa yang dituduhkan. Hal ini sejalan dengan asas audi et alteram partem,para pihak harus didengar.

Kedua, adanya mediasi, yakni proses pemecahan masalah di mana pihak luar bersifat netral dengan para pihak yang berselisih demi membantu memperoleh kesepakatan dengan memuaskan. Para penegak hukum wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum diperiksa.

Ketiga, takedown mandiri, yaitu melibatkan sifat aktif negara untuk bersinergi pada elemen terkait. Sejalan dengan teori kedaulatan negara dari Jean Bodin (1981), dinyatakan bahwa konsep kunci negara adalah negara sebagai persekutuan hidup masyarakat. Negara hadir untuk tujuan antara lain: (1) sebagai regulator, membuat yang UU jelas, detail dan tegas sehingga tidak multitafsir; (2) negara mengharuskan provider (media) untuk screening dengan ketat konten negatif di dunia maya yang menyimpangi UU a quo; (3) user (masyarakat) dapat melaporkan melalui call center provider manakala terdapat tindakan yang menyimpang, lalu negara dapat mencabut izin manakala provider tidak menjalankan kewajibannya.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2268 seconds (0.1#10.140)