Quo Vadis UU ITE

Kamis, 21 Januari 2021 - 06:15 WIB
loading...
Quo Vadis UU ITE
Egi Purnomo Aji (Foto: Istimewa)
A A A
Egi Purnomo Aji
Kepala Departemen Keilmuan Lantern Law Community Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta

KEBEBASAN berekspresi jelas dijamin konstitusi. Namun hari-hari ini kita menyaksikan kebebasan itu mulai terusik tatkala digunakan untuk menganalisis beleid pemerintah dan aktivitas pejabat negara. Jika sekadar memuji tentu tidak masalah, tetapi jika telah mengarah pada penghinaan berbau SARA, hukum di sini mulai bertindak. Kebebasan adalah konsekuensi logis dari hakikat manusia sebagai zoon politicon, artinya manusia selalu ingin bergaul dan menjalin komunikasi dengan sesamanya kemudian mengekspresikannya.

Indonesia berprinsip negara hukum, artinya di sini negara berperan mengatur rakyatnya untuk tidak bertindak liar. Di sisi lain Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin kemerdekaan berpendapat, yakni dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Dalam konteks hak asasi manusia (HAM) dan amanat konstitusi, akan timbul kewajiban untuk menghormati dan menghargai hak orang lain. Maka pelaksanaan atas hak tersebut perlu diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kehadiran UU ITE adalah suatu keniscayaan, sebab pembangunan nasional adalah suatu proses berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti dikatakan Geeta Anand (1997: A28), “The growing public awareness of the internet is unwieldy and chaotic side has led to calls for regulation and governance (meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan perlunya peraturan dan penataan).”

Namun sebagaimana kita tahu UU ITE menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan laporan Koalisi Masyarakat Sipil, sejak 2016 sampai Februari 2020, kasus dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU a quo menunjukkan penghukumannya hingga 96,8% (744 kasus) dengan tingkat pemenjaraan mencapai 88% (676 kasus) (IJRS,04/12/2020).

Gambaran di atas menyiratkan bahwa betapa kini tidak mudah mengomunikasikan situasi, terutama jika itu terkait kebijakan rezim. Negara dengan UU ITE-nya terkesan over-kriminalisasi. Akibatnya muncul ketakutan untuk menyampaikan ekspresi. Rasa-rasanya UU a quo telah keluar dari hakikat dan tujuan ia dilahirkan.

Hakikat Lahirnya UU ITE
Momok menakutkan UU ITE harus diakhiri dan dikembalikan pada esensi dilahirkannya, yakni melakukan langkah konkret untuk (pendidikan) mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; (ekonomi) mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (e-government) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik.

Selain itu membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi secara bertanggung jawab, memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Jadi semestinya UU a quo justru menjamin rasa aman. Esensinya untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada dunia maya yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata.

Pasal Karet (Multitafsir)
Melihat implementasi UU a quo, tafsir penegakan hukumnya bersifat ultimum remedium (sanksinya telah bergeser ke target pemidanaan). Akibat dari Pasal 27, 28, dan 29 yang tidak menyebutkan secara tegas, pasti, dan limitatif tentang perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan, risikonya tidak ada kepastian hukum. Belakangan pasal itu terkesan disalahgunakan dan menjadi senjata kriminalisasi dalam memberangus kebebasan berekspresi oleh penguasa, aparat hukum, individu maupun golongan tertentu untuk menafsirkan perbuatan tertentu sebagai penghinaan atau tidak.

Kesan pemberangusan atas kebebasan berekspresi juga terjadi di masa pandemi ini. Sebagai ilustrasi, mari lihat fakta ini. Southeast Asia Freedom of Expression Network melalui pernyataannya kepada media menyoroti surat peringatan yang diunggah akun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) @kemenkesri, yang ditujukan kepada jurnalis Narasi TV Aqwam Fiazmi Hanifan (pemilik akun Twitter @aqfiazfan). Jurnalis tersebut dalam cuitannya mengomentari informasi dari Al Jazeera, @AJEnglish: “Anjing ini lebih berguna ketimbang Menteri Kesehatan kita.” Hal ini berkaitan dengan kemampuan seekor anjing di Jerman yang mampu mendeteksi orang yang terinfeksi Covid-19 dengan tingkat akurasi mencapai 94%.

Atas dasar itu Aqwam mendapatkan peringatan dari Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati. Komentar itu dinilai Kemenkes memuat unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Terawan Agus Putranto (saat itu menjabat sebagai menteri kesehatan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE (SAFEnet, 05/08/2020).

Sejatinya komentar tersebut adalah kritik terhadap performa Menteri Kesehatan dalam menangani Covid-19. Penyampaian kritik menjadi bagian HAM, salah satunya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Karenanya komentar itu menjadi wajar dan seharusnya dilindungi demi menjamin terjaganya demokrasi di Indonesia. Bukan justru berdalih soal pencemaran nama yang berakibat pada pemberangusan kebebasan berekspresi.

Sekali lagi, semula eksistensi pasal itu tidak dimaksudkan untuk memberangus kebebasan berekspresi. Pasal itu diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya dan demi tertatanya kebebasan berekspresi.

Selain itu sanksi yang diimplementasikan pun seharusnya bersifat primum remedium (digunakan penegakan hukum administrasi) berupa pengenaan ganti rugi atau denda. Hal ini dimaksudkan untuk membuat efek jera agar orang tidak melakukan pelanggaran yang bersifat administrasi.

Arah Penguatan
Interpretasi yuridis yang tidak ambigu penting kembali dilakukan. Prinsip kebebasan dalam HAM adalah perlu adanya sebuah kebebasan yang berkeadilan. Pemerintah harus memberikan jaminan payung hukum yang jelas dan ruang lingkup batasan dalam koridor keadilan (John Rawls) sehingga tidak memunculkan banyak korban karena produk hukum yang multitafsir.

Dalam hemat penulis, terdapat tiga wacana sebagai solusi yang menekankan pada punishment, yang bersifat preventif bukan represif. Pertama, tahapan klarifikasi, yakni pemeriksaan terhadap para pihak terkait guna mengetahui dan meluruskan apa yang dituduhkan. Hal ini sejalan dengan asas audi et alteram partem,para pihak harus didengar.

Kedua, adanya mediasi, yakni proses pemecahan masalah di mana pihak luar bersifat netral dengan para pihak yang berselisih demi membantu memperoleh kesepakatan dengan memuaskan. Para penegak hukum wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum diperiksa.

Ketiga, takedown mandiri, yaitu melibatkan sifat aktif negara untuk bersinergi pada elemen terkait. Sejalan dengan teori kedaulatan negara dari Jean Bodin (1981), dinyatakan bahwa konsep kunci negara adalah negara sebagai persekutuan hidup masyarakat. Negara hadir untuk tujuan antara lain: (1) sebagai regulator, membuat yang UU jelas, detail dan tegas sehingga tidak multitafsir; (2) negara mengharuskan provider (media) untuk screening dengan ketat konten negatif di dunia maya yang menyimpangi UU a quo; (3) user (masyarakat) dapat melaporkan melalui call center provider manakala terdapat tindakan yang menyimpang, lalu negara dapat mencabut izin manakala provider tidak menjalankan kewajibannya.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1969 seconds (0.1#10.140)