Alam Mengamuk: Krisis Multidimensi

Rabu, 20 Januari 2021 - 19:11 WIB
loading...
A A A
Keharmonisan Hubungan Alam - Manusia
Dalam perspektif agama, Allah memerintahkan umat manusia berhubungan harmonis dengan lingkungan alam sekitar, bukan sebaliknya: merusak apalagi melampaui batas (Q.S. Al-Baqarah: 11 – 12 dan 60).

Hal ini berkonsekuensi langsung agar umat manusia manapun, dari agama apapun, beretnik dan berstrata apapun diharapkan untuk menghormati hak-hak alam. Alam semesta – temasuk lingkungan botanika – bukanlah makhluk mati. Mereka hidup dan berhak mengembangkan diri: bernapas dan istirahat.

Karenanya, eksistensi hidupnya haruslah dihormati. Mereka juga “sadar diri” bahwa keberadaannya dipersilakan untuk kemanfaatan manusia. Tapi, bukan eksploitatif, sehingga tetap terjaga eksosistem yang konstruktif bagi kepentingan bersama.

Cara pandang dan prinsip hidup kalangan botanik sesungguhnya untuk kepentingan regenerasi. Dan itu sungguh memberikan manfaat konstruktif bagi kepentingan umat manusia. Di sinilah urgensinya pelestarian alam, bukan pemerkosaan tanpa batas.
Kini, berkaca pada panorama reaksi atau amuk alam, menjadikan urgensi pengejawantahan titah Yang Maha Pencipta itu.

Dalam setiap diri manusia sudah saatnya terpateri spiritualitas yang dititahkan itu dalam konteks menghormati hak-hak hidup lingkungan. Hal ini akan jauh lebih bermakna jika titah itu terkejewantahkan pada setiap insan yang punya kekuasaan, dari level tertinggi hingga penguasa di lapangan.

Dalam konteks regulasi (UU, Perda, dan lainnya), mereka akan selalu ingat titah Sang Pencipta, sehingga output regulasi atau kebijakannya tak akan pernah lepas dari sikap bagaimana menghormati ekosistem. Mindset yang selalu ada pada benak dan pikiran para desainer kebijakan itu selalu pada bagaimana mengimplementasikan sikap membangun keharmonisan dengan alam lingkungan.

Begitu juga, ketika para pejabat akan menandatangani kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan alam, ia akan
selalu berfikir: apakah akan terjadi proses perusakan alam atau tetap terjaga. Dua hal ini – positif-negatif – akan menjadi pertimbangan utama. Bagi insan beragama dan cukup religius, ia atau mereka akan takut jika tanda tangannya akan berdampak pada proses penghancuran alam.

Sementara itu, masyarakat pun ikut berpartisipasi pro lingkungan dalam ragam “lihat sampah, langsung ambil”. Atau, bergerak dalam aksi penanaman pohon sebagai program.

Lebih dari itu, sebagai insan religius, ia pun senantiasa berpikir: bagaimana menghindari dosa yang dijalani jika menabrak hak-hak atau kepentingan eksosistem alam? Ketika spiritualitas religius itu ada dalam dada sang pengambil kebijakan, ia tak akan pernah berani melakukan tindakan (menandatangani) kebijakan kontraproduktif bagi kepentingan lingkungan.

Ia juga tak akan pernah rela diajak kolusi atau bersokongkol untuk upaya “memperkosa” alam lingkungan. Kini, ada satu urgensi kuat bagaimana membangun “perdamaian” dengan alam. Agar alam tidak mengamuk lagi. Agar penderitaan tidak selalu datang
setiap saat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1795 seconds (0.1#10.140)