Alam Mengamuk: Krisis Multidimensi

Rabu, 20 Januari 2021 - 19:11 WIB
loading...
Alam Mengamuk: Krisis Multidimensi
Farhat Abbas, Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

SUDAH sering terjadi dan sungguh memilukan. Itulah bencana alam, dalam bentuk gempa, banjir, longsor dan lainnya. Dan kini, bencana alam itu – dalam bentuk gempa – terjadi di Mamuju dan Majene (Sulawesi Barat), banjir bandang di Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan), serta longsor di Sumedang, Garut dan Bogor (Jawa Barat).

Sementara La Nina sudah menghampiri, menghembus super ekstrem dari wilayah Samudera Atlantik dan Pasifik. Belahan dunia daratan seperti “terkepung” oleh angin raksasa, yang siap menerjang apapun, siapapun, di manapun. Pasti akan menyesengsarakan umat manusia yang luar biasa. Agresi La Nina diperkirakan akan membuat bencana alam kali ini akan jauh lebih dahsyat.

Sebuah renungan, apakah panorama alam mengamuk bersifat natural? Dan yang lebih mendasar lagi, apakah sejumlah kekuatan alam destruktif itu tak bisa dirancang untuk “berdamai”? Apa dan siapakah yang menjadi faktor determinan gerakan penghancuran oleh kekuatan alam itu? Lalu, adakah jalan keluar sistimatisnya?

Beberapa variabel tersebut sungguh urgent untuk dilontarkan. Arahnya jelas: mengembalikan tatanan alam yang saling memberikan kontribusi konstruktif bagi kepentingan sasama makhluk. Bukan, pergolakan yang mengakibatkan kehancuran antarsesama. Tiada kedamaian bagi eksistensi kedidupan masing-masing.

Secara meteriologis, apa yang diperlihatkan oleh alam semesta terkategori natural. Sudah menjadi karakter alamiah, apapun dan siapapun yang ada di jagad raya ini pasti akan mengalami kerusakan. Fitrah. Semuanya ada kepastian siklus yang menimbulkan kejadian yang tak diharapkan. Dan itulah peristiwa alam yang tak bisa dihindari.

Namun demikian, natualitas peristiwa alam juga berkorelasi pada perilaku umat manusia, sebagai faktor determinan yang mengakibatkan kerusakan masif dan tak terkendali. Melampaui batas. Perilaku umat manusia yang melampaui batas itu mengakibatkan kerusakan ekosistem alam yang cukup parah.

Ketika ulah manusia “memperkosa” tatanan alam lingkungan yang ada di permukaan dalam skala masif – katakanlah terhadap hutan – maka, reduksi pepohonan (penggundulan) dalam skala ekstensif itu mengakibatkan keterbatasan alam hutan menyerap debit air dalam volume signifikan. Akibatnya, curah hujan ekstrem tak bisa terserap oleh lapisan tanah secara memadahi.

Maka, di depan mata dan hal ini sudah sering terjadi, kita saksikan dua pemandangan miris. Yaitu – pertama – untuk wilayah berdataran miring, mudah terjadi longsor. Dampaknya bukan semata-mata ambrolnya struktur tanah, tapi juga menimpa dataran rendah.

Jika arealnya berpenduduk, maka bukan hanya umat manusia yang menjadi korban, tapi infrastukturnya (rumah dan lainnya seperti gedung perkantoran, pertokoan) ikut tertimbun atau rusak parah. Nilai kerugiannya bukan hanya material yang relatif bisa dihitung nilainya. Tapi, juga kerugian imaterial, yang sangat subjektif.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2108 seconds (0.1#10.140)