Pemerintah Dinilai Tak Serius Hadapi Uji Materi, MK Diminta Tolak UU Ciptaker

Rabu, 20 Januari 2021 - 13:53 WIB
loading...
Pemerintah Dinilai Tak Serius Hadapi Uji Materi, MK Diminta Tolak UU Ciptaker
Tim Buruh Menggugat menyayangkan sikap DPR dan Pemerintah yang tidak siap menjawab permohonan penggugat dalam sidang judicial review UU Ciptaker. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Sidang Gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memasuki sidang ke empat. Tim Buruh Menggugat menyayangkan sikap DPR dan Pemerintah yang tidak siap menjawab permohonan penggugat dalam sidang tersebut.

Ketua Tim Buruh Menggugat, Hotma Sitompul sangat menyesalkan pemerintah dan DPR tidak siap menjawab permohonan penggugat. Menurutnya, hal itu sungguh menunjukan ketidakseriusan DPR dan Pemerintah dalam menangani judicial review Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. "Kami harap Presiden Joko Widodo menegur wakilnya. Perhatikanlah rakyat kecil. Mudah mudahan ini bisa menggugah hati mereka para pemangku kepentingan penguasa ini," kata Hotma dalam tayangan video YouTube yang beredar, Rabu (20/1/2021).

Anggota Tim Buruh Menggugat lainnya, Nasep menjelaskan, keterangan Pemerintah dan DPR yang disampaikan sudah lewat tenggang waktu. Sebab, didalam peraturan MK pasal 13 ayat 2 jelas dinyatakan bahwa keterangan pemerintah dan DPR itu disampaikan maksimal tujuh hari setelah adanya permohonan di Majelis.

Tim, kata Nasep sudah mengajukan dari November 2020. Bahkan dibuat 12 rangkap yang artinya draft permohonan dibagi dua. Satu untuk DPR dan satu untuk pemerintah. Belum lagi situs MK sudah di upload ketika tim mengajukan permohonan. Sehingga dengan jangka waktu tersebut, tidak ada alasan DPR dan pemerintah tidak siap menyampaikan keterangan. Kalau faktanya tidak siap, berarti ada indikasi untuk mengabaikan permohonan ini. "Untuk itu, kami menyampaikan kepada majelis hakim untuk tidak menerima pernyataan yang disampaikan pemerintah dan DPR. Karena dalam undang undang MK sendiri sebenarnya keterangan Presiden dan pemerintah itu bersifat fakultatif. Kalau Kita lihat kata katanya dapat bukan wajib," ungkapnya.

Atas dasar itu, kata dia, dalam persidangan, pemerintah atau DPR bisa menyampaikan ataupun bisa juga tidak menyampaikan. Karena sudah melewati tenggat waktu, Tim secara tegas memohon agar keterangan nanti yang disampaikan itu ditolak atau paling tidak dinyatakan tidak diterima oleh majelis hakim konstitusi. "Kami berharap majelis bisa memenuhi rasa keadilan agar jalanya persidangan betul betul mencerminkan fair dan adil," tegasnya.

Advokat hukum perwakilan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani, William Yani mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mendorong para pihak yang tidak menerima Undang Undang Omnibus untuk Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, demi bangsa Indonesia yang lebih besar lagi serta membantu Presiden melawan pandemi, seluruh buruh Indonesia mengikuti himbauan tersebut untuk judicial review.

Namun, kata Willi, Presiden Jokowi harus bisa mengirimkan wakilnya yang tidak bermain-main dan serius dalam persidangan di MK. Dia berharap Hakim yang menjadi Ketua MK dalam pimpinan sidang kemarin dapat menolak permintaan Pemerintah dan DPR yang meminta waktu kembali untuk menyampaikan pandangannya. "Dengan hormat para hakim yang langsung dipimpin ketua MK untuk menunjukan marwah konstitusi. Tolak keinginan pemerintah dan DPR yang meminta diberi waktu lagi menyampaikan pandangan dan pendapatnya," tegasnya.

Sekjen KSPSI Hermanto mengatakan, Pemerintah dan DPR tidak serius menanggapi permohonan yang diajukan. Sementara diketahui Undang-Undang Cipta Kerja dibuat cepat dan terburu buru. Seharusnya mereka serius menanggapi permohonan tim buruh. "Buruh mencari jalan yang mulia dengan melakukan judicial review. Dengan demikian pemerintah dan DPR seharusnya siap dalam persidangan ini. UU 11 Tahun 2020 ini merupakan hal yang fundamental. Merubah tatanan yang sebelumnya menjadi tatanan baru. Sementara tatanan baru itu tidak menguntungkan buruh," jelasnya.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengancam apabila Omnibuslaw tetap terus berjalan tanpa memperhatikan gugatan buruh, aksi besar besaran akan kembali terjadi seperti pada Oktober 2020 lalu. "Para wakil rakyat dan pemerintah yang memancing rakyat," ungkapnya.

Diketahui sebelumnya, pada agenda sidang penyampaian pendapat Pemerintah yang diwakili dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, I Ketut Hadi Priatna. Kemudian, dari Kementerian Sekretariat Negara, Budi Setiawati. Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan, Buru serta dari Kementerian Hukum dan HAM, Ardiansyah dan Wawan Zubaidi"Kami mewakili dari Pemerintah, menyampaikan permohonan untuk penundaan sidang, berhubung kami masih memerlukan waktu yang cukup untuk menyusun keterangan dari Pemerintah atas Permohonan dari Pemohon," kata I Ketut Hadi dalam persidangan.

Ketua Hakim MK, Anwar Usman akhirnya memutuskan untuk menunda persidangan karena Presiden belum bisa memberikan jawaban tertulis karena harus mempersiapkan materi dan perlu koordinasi seperti alasan pada Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tadi.

Oleh karena itu, perkara ini akan ditentukan agenda persidangan di kemudian oleh Kepaniteraan. Tetapi, perlu disampaikan bahwa Mahkamah akan melaksanakan sidang pilkada, ya, terkait dengan PHP pilkada mulai 26 Januari sampai dengan 24 Maret 2021. "Ya, mungkin setelah itulah. Nanti tanggal pastinya akan disampaikan oleh Panitera Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2122 seconds (0.1#10.140)