RUU BPIP dan Permanensi Pancasila
loading...
A
A
A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018)
PADA 14 Januari lalu Badan Legislasi DPR telah mengesahkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Salah satunya, RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Masuknya RUU BPIP itu disertai keluarnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menuai kontroversi pada 2020.
Apa yang membedakan RUU BPIP dengan RUU HIP? Inilah yang menjadi titik persoalan. Di dalam draf RUU tersebut terlihat tidak ada pasal-pasal kontroversial dari RUU HIP. Misalnya tidak ada haluan ideologi Pancasila yang mendefinisikan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila. Dalam RUU HIP, sendi pokok Pancasila merujuk pada keadilan sosial, sedangkan ciri pokoknya mengacu pada Trisila dan Ekasila. Trisila ialah ide Sukarno tentang sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Sedangkan Ekasila memuat nilai gotong-royong.
Di dalam draf RUU BPIP, Pancasila didefinisikan secara formal sebagaimana kita ketahui selama ini. Yakni, dasar negara dan ideologi negara sebagaimana termaktub di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang lahir pada 1 Juni, mengalami proses perumusan pada 22 Juni dan disahkan pada 18 Agustus 1945, sebagai kesatuan dengan pengesahan UUD 1945.
Di dalam RUU BPIP, terdapat pula hal-hal yang ketiadaannya dalam RUU HIP, telah menimbulkan protes. Misalnya di dalam konsideran, telah dicantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Marxisme/Komunisme. Selain itu dimuat pula UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang selama ini menjadi benteng Pancasila dari ormas pengusung ideologi khilafah.
Setelah itu, RUU ini mengatur berbagai proses pembinaan ideologi Pancasila yang merupakan upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila oleh penyelenggara negara dan masyarakat. RUU ini juga mengatur penyelenggaraan pembinaan Pancasila oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yang tata organisasinya telah diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 7/2018 tentang BPIP.
Bukan Tafsir Pancasila
Melalui perubahan dari RUU HIP menjadi RUU BPIP, maka RUU tersebut telah menghindarkan diri untuk tidak menjadi tafsir tunggal negara atas Pancasila. Satu hal yang banyak ditolak sebagaimana penolakan terhadap Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Dalam sejarah Pancasila, terdapat beberapa regulasi negara mengenai Pancasila yang terjebak dalam pembentukan tafsir tunggal. Pertama, Tap MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang penetapan Manipol-Usdek sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tap MPRS ini menetapkan pidato Presiden Soekarno berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 sebagai GBHN. Pidato yang dikenal sebagai manifesto politik itu merupakan penafsiran Soekarno atas Pancasila dalam kerangka analisa atas problem revolusi nasional serta program-program dari revolusi tersebut. Tafsiran ini bersifat sosialistis guna membangun sosialisme ala Indonesia.
Kedua, Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P-4. Meskipun TAP ini menegaskan diri bukan tafsir tunggal Orde Baru atas Pancasila, sekadar kode etik perilaku penyelenggara negara dan warga negara. Dalam pelaksanaannya, ia menjadi tafsir resmi negara. Tersusunnya 45 butir-butir pengamalan Pancasila ala P-4 menandai pembatasan pengamalan Pancasila yang tidak boleh melenceng dari butir-butir tersebut. P-4 sendiri mendefinisikan dirinya sebagai pedoman kemurnian Pancasila yang terbebas dari penafsiran menyimpang, baik oleh ekstrem kiri maupun ekstrem kanan.
Baik Tap MPRS tentang GBHN (Manipol-Usdek) maupun Tap MPR tentang P-4 telah dicabut. Tap MPRS Manipol dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR Tahun 1960-2002. Adapun Tap MPR tentang P-4 telah dicabut oleh Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Ketidaksesuaian dengan semangat reformasi menjadi alasan bagi pencabutan Tap MPR tentang P-4 tersebut.
Permanensi Pembinaan
Dengan membentuk UU BPIP, upaya pembinaan ideologi Pancasila tidak akan bernasib seperti era Orde Lama dan Orde Baru. Di kedua era tersebut, pembinaan Pancasila bersifat saling menegasi, karena ia berangkat dari otoritas presiden. Meskipun legislasinya melalui MPR, inisiatif pembinaan Pancasila berangkat dan berada di tangan presiden. Hal ini menimbulkan pembinaan yang bersifat rezimental, di mana Pancasila ditafsiri oleh rezim tertentu dan saling meniadakan.
Sampai saat ini BPIP masih berpayung peraturan presiden. Artinya, upaya pembinaan Pancasila memang berangkat dari inisiatif Presiden Joko Widodo yang dimulai sejak 2017 melalui pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Landasan perpres bersifat relatif sebab jika rezim berganti maka perpres tersebut bisa dicabut. Penyusunan UU BPIP oleh DPR menjadi upaya menciptakan permanensi pembinaan Pancasila. Sebab, ia tidak hanya lahir dari kebijakan eksekutif, tetapi juga legislatif yang merupakan representasi rakyat Indonesia.
Selain menciptakan permanensi pembinaan Pancasila, UU BPIP juga akan membangun kesatuan langkah pembinaan Pancasila oleh kementerian dan lembaga negara. Sebab, sebelum terjadinya pembinaan oleh presiden telah banyak program penguatan Pancasila oleh kementerian dan lembaga, namun bersifat sektoral.
Misalnya, MPR dengan program Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sejak 2009, UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) Pasal 2 yang menegaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2011 tentang Pedoman Pemerintah Daerah dalam Aktualisasi Pancasila, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71/2012 tentang Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan, UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menetapkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib, Keputusan Presiden Nomor 24/2016 tentang 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, hingga Peraturan Menristek Dikti Nomor 55/2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (PIB) dalam kegiatan mahasiswa.
Melalui UU BPIP, proses pembinaan ideologi Pancasila bisa terkoordinasi dengan BPIP sebagai leading sector. Dengan demikian, pembinaan Pancasila tidak lagi parsial karena lewat koordinasi, negara bisa menutupi “lubang-lubang kelemahan” yang tidak terlihat oleh pendekatan sektoral. Tentu hal ini juga terkait dengan kesigapan BPIP dalam melakukan koordinasi dan sinkronisasi upaya tersebut.
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018)
PADA 14 Januari lalu Badan Legislasi DPR telah mengesahkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Salah satunya, RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Masuknya RUU BPIP itu disertai keluarnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menuai kontroversi pada 2020.
Apa yang membedakan RUU BPIP dengan RUU HIP? Inilah yang menjadi titik persoalan. Di dalam draf RUU tersebut terlihat tidak ada pasal-pasal kontroversial dari RUU HIP. Misalnya tidak ada haluan ideologi Pancasila yang mendefinisikan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila. Dalam RUU HIP, sendi pokok Pancasila merujuk pada keadilan sosial, sedangkan ciri pokoknya mengacu pada Trisila dan Ekasila. Trisila ialah ide Sukarno tentang sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Sedangkan Ekasila memuat nilai gotong-royong.
Di dalam draf RUU BPIP, Pancasila didefinisikan secara formal sebagaimana kita ketahui selama ini. Yakni, dasar negara dan ideologi negara sebagaimana termaktub di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang lahir pada 1 Juni, mengalami proses perumusan pada 22 Juni dan disahkan pada 18 Agustus 1945, sebagai kesatuan dengan pengesahan UUD 1945.
Di dalam RUU BPIP, terdapat pula hal-hal yang ketiadaannya dalam RUU HIP, telah menimbulkan protes. Misalnya di dalam konsideran, telah dicantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Marxisme/Komunisme. Selain itu dimuat pula UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang selama ini menjadi benteng Pancasila dari ormas pengusung ideologi khilafah.
Setelah itu, RUU ini mengatur berbagai proses pembinaan ideologi Pancasila yang merupakan upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila oleh penyelenggara negara dan masyarakat. RUU ini juga mengatur penyelenggaraan pembinaan Pancasila oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yang tata organisasinya telah diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 7/2018 tentang BPIP.
Bukan Tafsir Pancasila
Melalui perubahan dari RUU HIP menjadi RUU BPIP, maka RUU tersebut telah menghindarkan diri untuk tidak menjadi tafsir tunggal negara atas Pancasila. Satu hal yang banyak ditolak sebagaimana penolakan terhadap Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Dalam sejarah Pancasila, terdapat beberapa regulasi negara mengenai Pancasila yang terjebak dalam pembentukan tafsir tunggal. Pertama, Tap MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang penetapan Manipol-Usdek sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tap MPRS ini menetapkan pidato Presiden Soekarno berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 sebagai GBHN. Pidato yang dikenal sebagai manifesto politik itu merupakan penafsiran Soekarno atas Pancasila dalam kerangka analisa atas problem revolusi nasional serta program-program dari revolusi tersebut. Tafsiran ini bersifat sosialistis guna membangun sosialisme ala Indonesia.
Kedua, Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P-4. Meskipun TAP ini menegaskan diri bukan tafsir tunggal Orde Baru atas Pancasila, sekadar kode etik perilaku penyelenggara negara dan warga negara. Dalam pelaksanaannya, ia menjadi tafsir resmi negara. Tersusunnya 45 butir-butir pengamalan Pancasila ala P-4 menandai pembatasan pengamalan Pancasila yang tidak boleh melenceng dari butir-butir tersebut. P-4 sendiri mendefinisikan dirinya sebagai pedoman kemurnian Pancasila yang terbebas dari penafsiran menyimpang, baik oleh ekstrem kiri maupun ekstrem kanan.
Baik Tap MPRS tentang GBHN (Manipol-Usdek) maupun Tap MPR tentang P-4 telah dicabut. Tap MPRS Manipol dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR Tahun 1960-2002. Adapun Tap MPR tentang P-4 telah dicabut oleh Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Ketidaksesuaian dengan semangat reformasi menjadi alasan bagi pencabutan Tap MPR tentang P-4 tersebut.
Permanensi Pembinaan
Dengan membentuk UU BPIP, upaya pembinaan ideologi Pancasila tidak akan bernasib seperti era Orde Lama dan Orde Baru. Di kedua era tersebut, pembinaan Pancasila bersifat saling menegasi, karena ia berangkat dari otoritas presiden. Meskipun legislasinya melalui MPR, inisiatif pembinaan Pancasila berangkat dan berada di tangan presiden. Hal ini menimbulkan pembinaan yang bersifat rezimental, di mana Pancasila ditafsiri oleh rezim tertentu dan saling meniadakan.
Sampai saat ini BPIP masih berpayung peraturan presiden. Artinya, upaya pembinaan Pancasila memang berangkat dari inisiatif Presiden Joko Widodo yang dimulai sejak 2017 melalui pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Landasan perpres bersifat relatif sebab jika rezim berganti maka perpres tersebut bisa dicabut. Penyusunan UU BPIP oleh DPR menjadi upaya menciptakan permanensi pembinaan Pancasila. Sebab, ia tidak hanya lahir dari kebijakan eksekutif, tetapi juga legislatif yang merupakan representasi rakyat Indonesia.
Selain menciptakan permanensi pembinaan Pancasila, UU BPIP juga akan membangun kesatuan langkah pembinaan Pancasila oleh kementerian dan lembaga negara. Sebab, sebelum terjadinya pembinaan oleh presiden telah banyak program penguatan Pancasila oleh kementerian dan lembaga, namun bersifat sektoral.
Misalnya, MPR dengan program Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sejak 2009, UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) Pasal 2 yang menegaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2011 tentang Pedoman Pemerintah Daerah dalam Aktualisasi Pancasila, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71/2012 tentang Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan, UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menetapkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib, Keputusan Presiden Nomor 24/2016 tentang 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, hingga Peraturan Menristek Dikti Nomor 55/2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (PIB) dalam kegiatan mahasiswa.
Melalui UU BPIP, proses pembinaan ideologi Pancasila bisa terkoordinasi dengan BPIP sebagai leading sector. Dengan demikian, pembinaan Pancasila tidak lagi parsial karena lewat koordinasi, negara bisa menutupi “lubang-lubang kelemahan” yang tidak terlihat oleh pendekatan sektoral. Tentu hal ini juga terkait dengan kesigapan BPIP dalam melakukan koordinasi dan sinkronisasi upaya tersebut.
(bmm)