Menyongsong Kebangkitan Ekonomi Indonesia 2021
loading...
A
A
A
Ryan Kiryanto
Ekonom
PENURUNAN aktivitas ekonomi dan investasi global pada 2020 lalu lantaran dampak pandemi tidak separah yang diperkirakan sebelumnya, terutama karena kontraksi yang lebih dangkal di sejumlah negara maju, terlebih pemulihan yang lebih kuat di Tiongkok sebagai perekonomian kedua terbesar di dunia.
Harus diakui, di sebagian besar pasar negara-negara berkembang (Emerging markets/EMs) dan negara-negara maju (Advanced Economies/AEs), dampaknya lebih akut dari yang diperkirakan. Kawasan Amerika Latin, Asia Tenggara dan Timur, serta Amerika Latin mengalami kerapuhan di sektor keuangan karena melemahnya sebagian besar neraca korporasi dan rumah tangga. Itulah sebabnya kecepatan dan ketepatan pengambilan kebijakan yang countercyclical sangat dibutuhkan.
Kecepatan respons menangani pandemi Covid-19 di beberapa negara, sebut saja Tiongkok, Vietnam, dan Selandia Baru, mendorong proses pemulihan ekonomi bergerak lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya. Dengan vaksin yang terdistribusi dengan cepat dan meluas (sebagai “game changer”) di sejumlah negara yang menunjukkan angka kasus positif yang terus melonjak, diharapkan dapat menurunkan angka kasus positif sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas normal kembali.
Perkembangan vaksinasi yang lebih cepat ini bakal mendorong pertumbuhan global meningkat hingga mendekati level 5%. Di Amerika Serikat, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan meningkat sekitar 3,5% tahun ini, setelah diperkirakan kontraksi 3,6% pada 2020.
Di Zona Euro, pertumbuhan berkisar 3,6%, menyusul kontraksi 7,4% pada 2020. Aktivitas di Jepang yang menyusut sebesar 5,3% selama 2020, diperkirakan tumbuh sebesar 2,5% pada 2021. Ekonomi Tiongkok sendiri diperkirakan akan tumbuh 7,9% tahun ini menyusul pertumbuhan hanya 2% tahun lalu.
Para pembuat kebijakan perlu terus mempertahankan momentum pemulihan dan secara bertahap menggeser arah kebijakan yang berorientasi pada pendapatan jangka pendek yang instan ke kebijakan yang berorientasi pada akselerasi pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif.
Dalam jangka menengah-panjang, kebijakan di EMs dan AEs untuk meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur digital, ketahanan iklim, dan praktik bisnis dan tata kelola yang baik akan membantu mengurangi kerusakan ekonomi yang lebih dalam akibat pandemi, mengurangi kemiskinan dan memajukan kemakmuran bersama.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, yang awalnya diperkirakan akan mengalami kontraksi -1,6% menjadi -2,2%. Penurunan proyeksi tersebut menunjukkan pemulihan berjalan lebih lambat pada kuartal IV/2020 dan kuartal III/2020 sebelumnya, disebabkan masih berlanjutnya penerapan pembatasan sosial untuk menahan laju penyebaran Covid-19.
Seperti diketahui, ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mencatatkan kontraksi sebesar -3,49% secara tahunan (yoy) dan -5,32% (yoy) pada kuartal II/2020. Bank Dunia menyebut, dampak krisis masih terus terasa, tercermin dari permintaan dalam negeri belum kuat dibanding sebelum krisis, dimana pada September berada 2,8% di bawah tingkat tahun 2019.
Sejalan dengan itu, angka pengangguran meningkat sebesar 1,8 poin menjadi 7,1% dan angka setengah pengangguran meningkat sebesar 3,8% poin menjadi 10,2% pada kuartal ketiga, dibanding tahun sebelumnya. Kecepatan pemulihan pun tidak merata di semua sektor. Sektor-sektor yang membutuhkan kontak fisik secara intensif, misalnya transportasi, perhotelan, perdagangan grosir dan eceran, konstruksi, manufaktur, mengalami tekanan cukup berat dan hanya sebagian saja yang mulai pulih.
Ekonom
PENURUNAN aktivitas ekonomi dan investasi global pada 2020 lalu lantaran dampak pandemi tidak separah yang diperkirakan sebelumnya, terutama karena kontraksi yang lebih dangkal di sejumlah negara maju, terlebih pemulihan yang lebih kuat di Tiongkok sebagai perekonomian kedua terbesar di dunia.
Harus diakui, di sebagian besar pasar negara-negara berkembang (Emerging markets/EMs) dan negara-negara maju (Advanced Economies/AEs), dampaknya lebih akut dari yang diperkirakan. Kawasan Amerika Latin, Asia Tenggara dan Timur, serta Amerika Latin mengalami kerapuhan di sektor keuangan karena melemahnya sebagian besar neraca korporasi dan rumah tangga. Itulah sebabnya kecepatan dan ketepatan pengambilan kebijakan yang countercyclical sangat dibutuhkan.
Kecepatan respons menangani pandemi Covid-19 di beberapa negara, sebut saja Tiongkok, Vietnam, dan Selandia Baru, mendorong proses pemulihan ekonomi bergerak lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya. Dengan vaksin yang terdistribusi dengan cepat dan meluas (sebagai “game changer”) di sejumlah negara yang menunjukkan angka kasus positif yang terus melonjak, diharapkan dapat menurunkan angka kasus positif sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas normal kembali.
Perkembangan vaksinasi yang lebih cepat ini bakal mendorong pertumbuhan global meningkat hingga mendekati level 5%. Di Amerika Serikat, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan meningkat sekitar 3,5% tahun ini, setelah diperkirakan kontraksi 3,6% pada 2020.
Di Zona Euro, pertumbuhan berkisar 3,6%, menyusul kontraksi 7,4% pada 2020. Aktivitas di Jepang yang menyusut sebesar 5,3% selama 2020, diperkirakan tumbuh sebesar 2,5% pada 2021. Ekonomi Tiongkok sendiri diperkirakan akan tumbuh 7,9% tahun ini menyusul pertumbuhan hanya 2% tahun lalu.
Para pembuat kebijakan perlu terus mempertahankan momentum pemulihan dan secara bertahap menggeser arah kebijakan yang berorientasi pada pendapatan jangka pendek yang instan ke kebijakan yang berorientasi pada akselerasi pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif.
Dalam jangka menengah-panjang, kebijakan di EMs dan AEs untuk meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur digital, ketahanan iklim, dan praktik bisnis dan tata kelola yang baik akan membantu mengurangi kerusakan ekonomi yang lebih dalam akibat pandemi, mengurangi kemiskinan dan memajukan kemakmuran bersama.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, yang awalnya diperkirakan akan mengalami kontraksi -1,6% menjadi -2,2%. Penurunan proyeksi tersebut menunjukkan pemulihan berjalan lebih lambat pada kuartal IV/2020 dan kuartal III/2020 sebelumnya, disebabkan masih berlanjutnya penerapan pembatasan sosial untuk menahan laju penyebaran Covid-19.
Seperti diketahui, ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mencatatkan kontraksi sebesar -3,49% secara tahunan (yoy) dan -5,32% (yoy) pada kuartal II/2020. Bank Dunia menyebut, dampak krisis masih terus terasa, tercermin dari permintaan dalam negeri belum kuat dibanding sebelum krisis, dimana pada September berada 2,8% di bawah tingkat tahun 2019.
Sejalan dengan itu, angka pengangguran meningkat sebesar 1,8 poin menjadi 7,1% dan angka setengah pengangguran meningkat sebesar 3,8% poin menjadi 10,2% pada kuartal ketiga, dibanding tahun sebelumnya. Kecepatan pemulihan pun tidak merata di semua sektor. Sektor-sektor yang membutuhkan kontak fisik secara intensif, misalnya transportasi, perhotelan, perdagangan grosir dan eceran, konstruksi, manufaktur, mengalami tekanan cukup berat dan hanya sebagian saja yang mulai pulih.