Menyongsong Kebangkitan Ekonomi Indonesia 2021

Senin, 18 Januari 2021 - 05:50 WIB
loading...
Menyongsong Kebangkitan Ekonomi Indonesia 2021
Ryan Kiryanto (Foto: Istimewa)
A A A
Ryan Kiryanto
Ekonom

PENURUNAN aktivitas ekonomi dan investasi global pada 2020 lalu lantaran dampak pandemi tidak separah yang diperkirakan sebelumnya, terutama karena kontraksi yang lebih dangkal di sejumlah negara maju, terlebih pemulihan yang lebih kuat di Tiongkok sebagai perekonomian kedua terbesar di dunia.

Harus diakui, di sebagian besar pasar negara-negara berkembang (Emerging markets/EMs) dan negara-negara maju (Advanced Economies/AEs), dampaknya lebih akut dari yang diperkirakan. Kawasan Amerika Latin, Asia Tenggara dan Timur, serta Amerika Latin mengalami kerapuhan di sektor keuangan karena melemahnya sebagian besar neraca korporasi dan rumah tangga. Itulah sebabnya kecepatan dan ketepatan pengambilan kebijakan yang countercyclical sangat dibutuhkan.

Kecepatan respons menangani pandemi Covid-19 di beberapa negara, sebut saja Tiongkok, Vietnam, dan Selandia Baru, mendorong proses pemulihan ekonomi bergerak lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya. Dengan vaksin yang terdistribusi dengan cepat dan meluas (sebagai “game changer”) di sejumlah negara yang menunjukkan angka kasus positif yang terus melonjak, diharapkan dapat menurunkan angka kasus positif sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas normal kembali.

Perkembangan vaksinasi yang lebih cepat ini bakal mendorong pertumbuhan global meningkat hingga mendekati level 5%. Di Amerika Serikat, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan meningkat sekitar 3,5% tahun ini, setelah diperkirakan kontraksi 3,6% pada 2020.

Di Zona Euro, pertumbuhan berkisar 3,6%, menyusul kontraksi 7,4% pada 2020. Aktivitas di Jepang yang menyusut sebesar 5,3% selama 2020, diperkirakan tumbuh sebesar 2,5% pada 2021. Ekonomi Tiongkok sendiri diperkirakan akan tumbuh 7,9% tahun ini menyusul pertumbuhan hanya 2% tahun lalu.

Para pembuat kebijakan perlu terus mempertahankan momentum pemulihan dan secara bertahap menggeser arah kebijakan yang berorientasi pada pendapatan jangka pendek yang instan ke kebijakan yang berorientasi pada akselerasi pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif.

Dalam jangka menengah-panjang, kebijakan di EMs dan AEs untuk meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur digital, ketahanan iklim, dan praktik bisnis dan tata kelola yang baik akan membantu mengurangi kerusakan ekonomi yang lebih dalam akibat pandemi, mengurangi kemiskinan dan memajukan kemakmuran bersama.

Bagaimana dengan Indonesia?
Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, yang awalnya diperkirakan akan mengalami kontraksi -1,6% menjadi -2,2%. Penurunan proyeksi tersebut menunjukkan pemulihan berjalan lebih lambat pada kuartal IV/2020 dan kuartal III/2020 sebelumnya, disebabkan masih berlanjutnya penerapan pembatasan sosial untuk menahan laju penyebaran Covid-19.

Seperti diketahui, ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mencatatkan kontraksi sebesar -3,49% secara tahunan (yoy) dan -5,32% (yoy) pada kuartal II/2020. Bank Dunia menyebut, dampak krisis masih terus terasa, tercermin dari permintaan dalam negeri belum kuat dibanding sebelum krisis, dimana pada September berada 2,8% di bawah tingkat tahun 2019.
Sejalan dengan itu, angka pengangguran meningkat sebesar 1,8 poin menjadi 7,1% dan angka setengah pengangguran meningkat sebesar 3,8% poin menjadi 10,2% pada kuartal ketiga, dibanding tahun sebelumnya. Kecepatan pemulihan pun tidak merata di semua sektor. Sektor-sektor yang membutuhkan kontak fisik secara intensif, misalnya transportasi, perhotelan, perdagangan grosir dan eceran, konstruksi, manufaktur, mengalami tekanan cukup berat dan hanya sebagian saja yang mulai pulih.

Sementara sektor-sektor yang tidak membutuhkan kontak secara intensif, misalnya keuangan, pendidikan, komunikasi dan telekomunikasi, lebih kuat bertahan. Di samping itu, sektor-sektor yang bergantung pada permintaan luar negeri, seperti pertambangan dan manufaktur, sebagian terlindungi oleh mulai pulihnya perdagangan dan harga beberapa komoditas yang sempat mengalami penurunan pada pertengahan 2020.

Sejauh ini kebijakan moneter untuk menghadapi krisis sudah cukup tepat. Program pembelian obligasi pemerintah oleh Bank Indonesia (BI) yang setara dengan 1,8% dari PDB, berhasil membantu mempertahankan stabilitas fiskal dan mendanai defisit fiskal. Kebijakan fiskal untuk menangkal krisis kesehatan dan ekonomi serta menstimulasi pemulihan ekonomi juga sudah berjalan baik. Belanja publik telah meningkat secara substansial untuk melawan pandemi dan membantu rumah tangga dan korporasi bertahan. Atas dasar itulah Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan kembali bangkit ke level pertumbuhan 4,4 persen pada 2021 dan 4,8% pada 2022.

Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan outlook lebih baik untuk ekonomi Indonesia tahun ini dibandingkan Bank Dunia. Berdasarkan perkiraan IMF, pertumbuhan PDB Indonesia 2021 akan berada di 4,8%, lebih besar 40 basis poin ketimbang perkiraan Bank Dunia yang 4,4%. Untuk 2022, IMF bahkan lebih optimis dari Bank Dunia dimana ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh 6 persen, sementara Bank Dunia mematok angka 4,8%.

Sejauh ini pun sistem perbankan tetap stabil, lantaran intervensi kebijakan yang akomodatif, terukur dan tepat waktu. Berkat kebijakan restrukturisasi kredit yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No. 11/2020, rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) masih tetap terjaga meskipun mengalami sedikit kenaikan. Namun di saat yang sama rasio kredit yang berisiko (Loan at Risk/LaR) meningkat lebih dari 20% hingga akhir tahun lalu.

Kebijakan yang akomodatif
Di sisi makroekonomi, kebijakan yang akomodatif masih akan ditempuh. Tema kebijakan fiskal yang mendukung pemulihan ekonomi menjadi pusat perhatian pelaku usaha dalam dan luar negeri. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang masih mengalokasikan anggaran untuk mengatasi pandemi Covid-19 seperti yang sudah dilakukan di 2020. Di tahun ini pemerintah juga mengalokasikan anggaran besar, yakni Rp417,8 triliun, untuk investasi infrastruktur yang memiliki dampak besar pada pemulihan ekonomi nasional.

Dari sisi moneter, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang countercyclical dan akomodatif seperti menurunkan suku bunga acuan serta ikut berpartisipasi menambal defisit anggaran lewat pembelian surat utang pemerintah (burden sharing policy) disebut sudah tepat di tengah kondisi krisis akibat pandemi seperti sekarang ini.

Era suku bunga rendah, tren pelemahan dolar AS dan imbal hasil berinvestasi di negara-negara maju yang rendah akan memicu adanya dana asing yang masuk ke negara-negara berkembang (EMs), termasuk Indonesia. Hal ini akan mendongkrak harga-harga aset keuangan seperti saham dan obligasi di dalam negeri.

Tak kalah pentingnya, pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) bernama Indonesia Investment Authority (INA) yang dimaksudkan untuk menarik dana dari investor asing guna dialokasikan untuk pembiayaan berbagai proyek infrastruktur strategis juga diharapkan mampu menjadi solusi jitu atas kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional non-utang.

Fokus pada pembangunan infrastruktur diharapkan tidak hanya akan menyerap tenaga kerja di tengah lonjakan angka pengangguran yang mencapai hampir 10 juta orang pada Agustus 2020 lalu, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan permintaan domestik secara simultan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.

Harus dipahami, pandemi Covid-19 masih menjadi risiko utama bagi pemulihan ekonomi global dan domestik lantaran tren kasus infeksi harian yang cukup tinggi. Bahkan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat dengan menetapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan angka penyebaran Covid-19 di wilayah Pulau Jawa dan Bali. PPKM Jawa-Bali ini mulai berlaku pada 11-25 Januari 2021.

Kebijakan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Untuk kembali memacu perekonomian yang melemah, vaksin adalah kata kuncinya. Program vaksinasi masal yang sudah dilakukan sejak 13 Januari 2021 lalu diharapkan dapat mengerem penularan Covid-19 sekaligus mendongkrak kepercayaan masyarakat untuk beraktivitas ekonomi dan sosial sehingga roda perekonomian bergulir lebih cepat.

Catatan Penutup
Dengan demikian jelas bahwa game changer utama berupa vaksin tak terbantahkan lagi di tengah terus bertambahnya kasus positif baru Covid-19 yang berpotensi mengikis kepercayaan publik. Masuk akal apabila sebagian kalangan pelaku usaha, akademisi dan ekonom tidak seoptimis pemerintah. Tapi, justru di tengah skeptisisme itulah pemerintah harus terus menggelorakan optimisme melalui serangkaian kebijakan dan tindakan nyata untuk membangkitkan perekonomian.

Optimisme ekonomi bisa tumbuh 4,5-5,5% tahun ini harus dengan syarat vaksinasi massal secara bertahap dapat menihilkan pandemi Covid-19. Dengan program vaksinasi, masyarakat kelas menengah-atas yang kontribusinya signifikan berkisar 84% terhadap total belanja masyarakat akan tergugah untuk berbelanja.

Menguatnya konsumsi rumah tangga dengan prokes yang ketat setidaknya akan mampu mengembalikan kontribusinya yang berkisar 55-57% terhadap keseluruhan pembentukan PDB nasional. Menguatnya konsumsi masyarakat akan mendorong sisi permintaan riil yang berujung pada permintaan kredit modal kerja dan kredit investasi yang meningkat pula.

Kredit konsumsi pun berpotensi terdongkrak ketika relaksasi mobilitas orang dan barang diterapkan. Alhasil, outlook pertumbuhan kredit pada jangkar 7,5% +/- 1% dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada jangkar 9% +/- 1% pada tahun ini cukup logis. Harus dipahami, stagnasi konsumsi yang terjadi bukan masalah ketidakmampuan masyarakat membeli, melainkan karena alasan prokes sehingga real demand di tengah masyarakat tak kunjung menguat.

Juga, agar ekonomi kembali bergerak, perlu adanya ruang untuk mobilitas orang dan barang melalui relaksasi PSBB. Kelonggaran mobilitas ini akan memperlancar aktivitas investasi di seluruh wilayah Tanah Air sehingga membuka ruang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.

Ketersediaan anggaran penanganan krisis ekonomi dan kesehatan yang tertuang dalam APBN 2021 maupun dalam anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2021 yang sudah naik 7,8% dari pagu semula menjadi Rp 403,9 triliun, mustinya tidak menjadi kendala untuk melanjutkan momentum kebangkitan ekonomi.

Kolaborasi kebijakan sinergis pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK menjadi “doping tambahan” untuk mengakselerasi kebangkitan ekonomi. Bersikap optimis dan bangkit bersama menjadi resep jitu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, berkualitas, dan inklusif.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3428 seconds (0.1#10.140)