Butuh Kebijakan Nasional Layanan Kesehatan dan Pemulihan Korban Tindak Pidana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) menilai sangat dibutuhkan kebijakan nasional untuk pemenuhan layanan kesehatan dan pemulihan korban tindak pidana atau korban kejahatan yang acap kali kesulitan mendapatkan jaminan kesehatan dan pemulihan pascakejahatan terjadi.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menegaskan, pascaterbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, faktanya masih ada banyak permasalahan yang muncul di berbagai daerah sehubungan dengan pemberian dan pemenuhan layanan atau bantuan medis bagi korban kejahatan. Secara umum, ujar Hasto, dampak Perpres Nomor 82 Tahun 2018 memberikan beban tersendiri bagi LPSK . Pasalnya, kata dia, korban kejahatan tidak lagi dijamin kesehatannya dan pemulihannya melalui skema jaminan kesehatan nasional
"Perlu adanya kebijakan nasional untuk dapat menyikapi pengecualian korban kejahatan yang tidak lagi mendapatkan Jaminan kesehatan dari BPJS," ujar Hasto saat acara 'Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020' yang diselenggarakan secara fisik dan virtual, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Berdasarkan data dan catatan pemberitaan KORAN SINDO dan MNC News Portal, ketentuan yang dimaksud Hasto Atmojo Suroyo yakni ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketentuan itu mengatur bahwa pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Empat jenis tindak pidana tersebut yakni korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana penganiayaan. Dengan berlakunya ketentuan itu, tanggung jawabnya beralih ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK ).
Hasto melanjutkan, ada juga Perpres Nomor 75 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi. Dengan Perpres ini, tutur dia, memberikan pijakan bagi penguatan LPSK dalam penanganan perlindungan dan pemulihan bagi saksi dan korban anak. Hal tersebut, kata dia, termasuk jaminan keselamatan bagi anak dalam bentuk perlindungan harus dilaksanakan oleh LPSK.
"Tentu LPSK harus mampu untuk menjadi payung besar dan mengoordinir lembaga-lembaga pemberi layanan di daerah, agar jangkauan perlindungan terhadap anak saksi dan anak korban dapat terlaksana secara komprehensif," paparnya.
Dia membeberkan, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, LPSK menyusun program perlindungan dalam enam bentuk. Satu, perlindungan fisik. Dua, pemenuhan hak prosedural. Tiga, perlindungan hukum. Empat, dukungan pembiayaan. Lima, bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial. Enam, fasilitasi restitusi dan kompensasi.
Dalam konteks pemenuhan bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial bagi saksi dan korban tindak pidana atau korban kejahatan, ujar Hasto, pemenuhannya terbentur dengan keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK. Meski begitu, kata dia, LPSK melakukan sejumlah terobosan seperti dituangkan dalam "Laporan Kinerja LPSK Tahun 2020". Di sisi lain, bagi LPSK, semestinya harusnya pemerintah serius memberikan alokasi anggaran tersendiri.
"Untuk alokasi anggaran khusus bagi korban dalam pemulihan atau rehabilitasi medis, psikologis, dan psikosial terhadap korban pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan secara khusus anggaran untuk korban kejahatan," tegasnya.
Hasto menambahkan, ada peluang bagi LPSK untuk meningkatkan anggaran 2021. Berikutnya LPSK juga telah dan sedang menyusun program prioritas atau kegiatan prioritas negara melalui rencana penguatan perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas. Dia memastikan, LPSK akan tetap bekerja dengan maksimal di tengah berbagai tantangan dan keterbatasan. "Meskipun tertatih LPSK tetap optimis pada 2021, LPSK akan makin dirasakan oleh saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan," katanya.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menegaskan, pascaterbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, faktanya masih ada banyak permasalahan yang muncul di berbagai daerah sehubungan dengan pemberian dan pemenuhan layanan atau bantuan medis bagi korban kejahatan. Secara umum, ujar Hasto, dampak Perpres Nomor 82 Tahun 2018 memberikan beban tersendiri bagi LPSK . Pasalnya, kata dia, korban kejahatan tidak lagi dijamin kesehatannya dan pemulihannya melalui skema jaminan kesehatan nasional
"Perlu adanya kebijakan nasional untuk dapat menyikapi pengecualian korban kejahatan yang tidak lagi mendapatkan Jaminan kesehatan dari BPJS," ujar Hasto saat acara 'Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020' yang diselenggarakan secara fisik dan virtual, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Baca Juga
Berdasarkan data dan catatan pemberitaan KORAN SINDO dan MNC News Portal, ketentuan yang dimaksud Hasto Atmojo Suroyo yakni ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketentuan itu mengatur bahwa pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Empat jenis tindak pidana tersebut yakni korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana penganiayaan. Dengan berlakunya ketentuan itu, tanggung jawabnya beralih ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK ).
Hasto melanjutkan, ada juga Perpres Nomor 75 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi. Dengan Perpres ini, tutur dia, memberikan pijakan bagi penguatan LPSK dalam penanganan perlindungan dan pemulihan bagi saksi dan korban anak. Hal tersebut, kata dia, termasuk jaminan keselamatan bagi anak dalam bentuk perlindungan harus dilaksanakan oleh LPSK.
"Tentu LPSK harus mampu untuk menjadi payung besar dan mengoordinir lembaga-lembaga pemberi layanan di daerah, agar jangkauan perlindungan terhadap anak saksi dan anak korban dapat terlaksana secara komprehensif," paparnya.
Dia membeberkan, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, LPSK menyusun program perlindungan dalam enam bentuk. Satu, perlindungan fisik. Dua, pemenuhan hak prosedural. Tiga, perlindungan hukum. Empat, dukungan pembiayaan. Lima, bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial. Enam, fasilitasi restitusi dan kompensasi.
Dalam konteks pemenuhan bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial bagi saksi dan korban tindak pidana atau korban kejahatan, ujar Hasto, pemenuhannya terbentur dengan keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK. Meski begitu, kata dia, LPSK melakukan sejumlah terobosan seperti dituangkan dalam "Laporan Kinerja LPSK Tahun 2020". Di sisi lain, bagi LPSK, semestinya harusnya pemerintah serius memberikan alokasi anggaran tersendiri.
"Untuk alokasi anggaran khusus bagi korban dalam pemulihan atau rehabilitasi medis, psikologis, dan psikosial terhadap korban pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan secara khusus anggaran untuk korban kejahatan," tegasnya.
Hasto menambahkan, ada peluang bagi LPSK untuk meningkatkan anggaran 2021. Berikutnya LPSK juga telah dan sedang menyusun program prioritas atau kegiatan prioritas negara melalui rencana penguatan perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas. Dia memastikan, LPSK akan tetap bekerja dengan maksimal di tengah berbagai tantangan dan keterbatasan. "Meskipun tertatih LPSK tetap optimis pada 2021, LPSK akan makin dirasakan oleh saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan," katanya.
(zik)