Keran Vaksinasi Swasta Dibuka?
loading...
A
A
A
Terkait biaya vaksinasi, ARSSI meminta RS Swasta pasti akan melihat dulu harganya dari produsen. Namun, Ichsan meminta swasta dibebaskan untuk menentukan harga. Dalam penentuan harga, swasta tentunya akan menghitung biaya dasar, mulai dari vaksin hingga tenaga medis yang melakukan tindakan.
Wajib Diatur
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anggia Ermarini mengatakan, apabila ada keterlibatan swasta dalam vaksinasi maka harus ada aturan yang jelas termasuk soal penetapan harga vaksinnya. Pihaknya tidak ingin kisruh akibat ketidakseragamnya layanan seperti saat tes Covid-19 terulang lagi.
Selama pandemi, kata dia, masyarakat sudah mengalami dan melihat langsung tidak terkendalinya harga tes Covid-19, rapid tes dan polymerase chain reaction (PCR) atau swab. Biaya rapid tes dan PCR sebelum diatur oleh pemerintah sempat menyentuh Rp500.000 dan Rp3.000.000.
“Dari awal harus ada patokan harga, jangan ngawur. RS swasta tidak seenaknya memasang tarif. Aturan harus dibikin dari awal. Jangan setelah kejadian baru dibikin,” ujar politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
(Baca juga: Anggota DPR Ribka Tjiptaning Ogah Disuntik Vaksin Sinovac, Ini Respon Bos Bio Farma )
Anggia tidak keberatan swasta terlibat dalam distribusi dan vaksinasi ini. Namun, dia meminta agar keterlibatan swasta setelah vaksinasi untuk kelompok primer selesai. Hal ini untuk menghindari vaksinasi dijadikan lahan bisnis yang terbuka. Pasalnya, pemerintah sebelumnya sudah menyakan akan memberikan vaksin secara gratis.
“Kalau negara tidak boleh sama sekali melakukan bisnis. Pihak swasta boleh karena bisa menjadi penopang ekonomi negara. Tidak menutup kemungkinan swasta berperan, tapi tetap pakai aturan. Kalau sekarang sudah ikut-ikut, yang wajib-wajib belum selesai. Biar (pemerintah) konsentrasi di nakes dan yang di gelombang pertama,” katanya.
Pengamat kesehatan yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendukung jika pemerintah memberikan akses bagi RS swasta melakukan vaksinasi terhadap masyarakat. Menurut dia, hal itu justru sangat membantu mempercepat penyuntikan vaksin.
“Enggak masalah kalau distribusi itu melibatkan swasta. Karena rumah sakit punya klinik, tenaga kesehatan yang memadai dan terlatih. Justru (mereka) perlu dilibatkan,” kata Hermawan. Terkait biaya distribusi, kata dia, hal itu sebaiknya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan vaksin diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Karena itu, dirinya meminta rumah sakit maupun klinik swasta tidak mengambil iuran dari jasa vaksinasi yang diberikan.
“Biaya distribusi jadi tanggung jawab pemerintah. Termasuk berkaitan dengan penggunaan APD, tenaga kesehatan, dan lainnya. Karena ini kan tanggung jawab pemerintah atas nama negara,” ujarnya.
Wajib Diatur
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anggia Ermarini mengatakan, apabila ada keterlibatan swasta dalam vaksinasi maka harus ada aturan yang jelas termasuk soal penetapan harga vaksinnya. Pihaknya tidak ingin kisruh akibat ketidakseragamnya layanan seperti saat tes Covid-19 terulang lagi.
Selama pandemi, kata dia, masyarakat sudah mengalami dan melihat langsung tidak terkendalinya harga tes Covid-19, rapid tes dan polymerase chain reaction (PCR) atau swab. Biaya rapid tes dan PCR sebelum diatur oleh pemerintah sempat menyentuh Rp500.000 dan Rp3.000.000.
“Dari awal harus ada patokan harga, jangan ngawur. RS swasta tidak seenaknya memasang tarif. Aturan harus dibikin dari awal. Jangan setelah kejadian baru dibikin,” ujar politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
(Baca juga: Anggota DPR Ribka Tjiptaning Ogah Disuntik Vaksin Sinovac, Ini Respon Bos Bio Farma )
Anggia tidak keberatan swasta terlibat dalam distribusi dan vaksinasi ini. Namun, dia meminta agar keterlibatan swasta setelah vaksinasi untuk kelompok primer selesai. Hal ini untuk menghindari vaksinasi dijadikan lahan bisnis yang terbuka. Pasalnya, pemerintah sebelumnya sudah menyakan akan memberikan vaksin secara gratis.
“Kalau negara tidak boleh sama sekali melakukan bisnis. Pihak swasta boleh karena bisa menjadi penopang ekonomi negara. Tidak menutup kemungkinan swasta berperan, tapi tetap pakai aturan. Kalau sekarang sudah ikut-ikut, yang wajib-wajib belum selesai. Biar (pemerintah) konsentrasi di nakes dan yang di gelombang pertama,” katanya.
Pengamat kesehatan yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendukung jika pemerintah memberikan akses bagi RS swasta melakukan vaksinasi terhadap masyarakat. Menurut dia, hal itu justru sangat membantu mempercepat penyuntikan vaksin.
“Enggak masalah kalau distribusi itu melibatkan swasta. Karena rumah sakit punya klinik, tenaga kesehatan yang memadai dan terlatih. Justru (mereka) perlu dilibatkan,” kata Hermawan. Terkait biaya distribusi, kata dia, hal itu sebaiknya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan vaksin diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Karena itu, dirinya meminta rumah sakit maupun klinik swasta tidak mengambil iuran dari jasa vaksinasi yang diberikan.
“Biaya distribusi jadi tanggung jawab pemerintah. Termasuk berkaitan dengan penggunaan APD, tenaga kesehatan, dan lainnya. Karena ini kan tanggung jawab pemerintah atas nama negara,” ujarnya.