Keran Vaksinasi Swasta Dibuka?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Usulan pemberian akses kepada swasta untuk menyelenggarakan vaksinasi Covid-19 secara mandiri kepada masyarakat sebaiknya dikaji serius. Selain mempertimbangkan percepatan vaksinasi nasional, harus dipastikan ada aturan khusus bagi pelaku usaha dalam menjalankan program tersebut.
Aturan tersebut penting agar ada keseragaman layanan termasuk tarif vaksinasi karena ini dilakukan di luar anggaran pemerintah. Para pemangku kepentingan seyogianya berkaca pada penyelenggaraan uji tes Covid-19 mandiri yang sebelumnya banyak dikeluhkan masyarakat karena dianggap mahal dan tidak seragam.
(Baca juga: Vaksin Covid-19 Bermasalah, Jangan Harap Layangkan Tuntutan Hukum )
Keterlibatan swasta dalam program vaksinasi di satu sisi memang cukup baik karena bisa membantu pemerintah mempercepat penyuntikan vaksin ke masyarakat. Namun, jangan sampai ada anggapan program vaksinasi kembali menjadi ladang bisnis rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Ikhwal usulan keterlibatan swasta dalam vaksinasi mandiri ini disampaikan oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani di Jakarta, kemarin. Dalam keterangan tertulisnya, dia menyebutkan bahwa Kadin telah mengusulkan kepada pemerintah agar wasta diberi akses vaksin mandiri guna mendorong percepatan vaksinasi secara nasional. Langkah ini dianggap penting khususnya bagi karyawan dan pekerja agar segera bisa divaksin agar roda perekonomian bisa terus berjalan.
"Jika vaksinasi ini bisa cepat dilakukan bagi karyawan, pekerja maupun kalangan dunia usaha, harapannya akan mempercepat pemulihan ekonomi juga," kata Rosan.
Rosan termasuk kelompok awal yang mendapat suntikan vaksin bersama sejumlah tokoh pada hari pertama vaksinasi pada Rabu (13/01) lalu. Dia pun mengapresiasi langkah pemerintah karena memang vaksin inilah dibutuhkan ke depannya agar sektor kesehatan dan ekonomi yang terdampak bisa terkendali dan tumbuh di 2021.
(Baca juga: Buat Bayar Vaksin, Sri Mulyani Potong Anggaran Kementerian )
“Untuk itu, izin pemerintah kepada swasta untuk melakukan vaksinasi mandiri kepada karyawannya sangat ditunggu. Bahkan akan lebih baik jika diberikan kesempatan melakukan vaksin mandiri, tidak hanya untuk karyawan saja tapi juga untuk keluarga karyawan," sebutnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat bersama Komisi IX DPR kemarin mengungkapkan, pemerintah membuka opsi vaksinasi Covid-19 secara mandiri oleh swasta. Namun, vaksinasi mandiri itu bukan perorangan, melainkan melalui perusahaan untuk para karyawannya.
“Mungkin bisa diberikan izin. Kalau seperti ini sebaiknaya pengadaannya di luar pemerintah saja, bisa dilakukan oleh swasta dan mereka bisa pengadaan sendiri," ucap Budi. Hanya saja, syaratnya vaksin Covid-19 yang dibeli harus sesuai dengan yang diizinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
(Baca juga: Bukan Cuma Vaksin, Ini Strategi Kemenkes Selesaikan Pandemi COVID-19 di Indonesia )
Apabila akses vaksinasi Covid-19 jadi diberikan ke swata, maka ini menjadi kesempatan bagi para penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit. Pasalnya, secara infrastruktur para pengelola rumah sakit sudah menyiapkan perangkatnya termasuk tenaga kesehatan dan vaksinatornya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi menyambuk baik usulan untuk memperluas tempat vaksinasi ini. Dia mengungkapkan rumah sakit (RS) swasta sebenarnya sudah terlibat, tetapi hanya terbatas untuk vaksinasi tenaga kesehatan (nakes).
Ke depan, ARSSI berharap bisa dilibatkan dalam vaksinasi masyarakat umum secara luas. ARSSI mengklaim dengan jaringan 1.800 RS di seluruh Indonesia tentu akan mempermudah, meningkatkan cakupan, dan mempercepat program vaksinasi. Menurut dia, pihaknya telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan asosiasi RS lain tentang kemungkinan pelibatan ini.
(Bada juga: Begini Suasana RS Yarsi Jakpus, Rumah Sakit Syekh Ali Jaber Meninggal )
Bahkan, kata Ichsan, ARSSI mengusulkan fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I, seperti klinik swasta dilibatkan. Jadi, cakupannya bisa sangat luas hingga pelosok daerah. Terlibatnya swasta juga bisa bisa mengurai kemungkinan antrean di faskes milik pemerintah yang menyelenggarakan vaksinasi.
“Sekarang beberapa RS sudah menyiapkan, poli vaksin. Kami siapkan juga pendingin, baik untuk Sinovac, Pfizer, AstraZeneca, dan lain-lain. Beberapa RS sudah menyiapkan alat pendingin supaya vaksin ini efektif. Kami sudah mempersiapkan SDM juga,” kata Ichsan saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Dia menambahkan, apabila diizinkan dan dilibatkan dalam vaksinasi, ARSSI mengajukan beberapa syarat kepada pemerintah. Menurutnya, jika ada efek samping dan tuntutan, pemerintah harus bisa membantu dalam hal pertanggungjawaban. Kemudian, ARSSI ingin pemerintah memastikan kelancaran dan suplai vaksin.
“Kita berharap bisa tersedia dan terukur, jangan sampai ada antrean. Ini bahaya juga kalau masyarakat tahu (bisa vaksinasi mandiri di RS swasta), terjadi antrean, dan vaksinnya terbatas. Berikutnya, edukasi kepada masyarakat itu penting. Efek dari vaksinasi ini ada dua, antrean dan masyarakat sangat pasif, tidak mau divaksinasi. Kami minta bantuan kepada pemerintah,” tuturnya.
Terkait biaya vaksinasi, ARSSI meminta RS Swasta pasti akan melihat dulu harganya dari produsen. Namun, Ichsan meminta swasta dibebaskan untuk menentukan harga. Dalam penentuan harga, swasta tentunya akan menghitung biaya dasar, mulai dari vaksin hingga tenaga medis yang melakukan tindakan.
Wajib Diatur
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anggia Ermarini mengatakan, apabila ada keterlibatan swasta dalam vaksinasi maka harus ada aturan yang jelas termasuk soal penetapan harga vaksinnya. Pihaknya tidak ingin kisruh akibat ketidakseragamnya layanan seperti saat tes Covid-19 terulang lagi.
Selama pandemi, kata dia, masyarakat sudah mengalami dan melihat langsung tidak terkendalinya harga tes Covid-19, rapid tes dan polymerase chain reaction (PCR) atau swab. Biaya rapid tes dan PCR sebelum diatur oleh pemerintah sempat menyentuh Rp500.000 dan Rp3.000.000.
“Dari awal harus ada patokan harga, jangan ngawur. RS swasta tidak seenaknya memasang tarif. Aturan harus dibikin dari awal. Jangan setelah kejadian baru dibikin,” ujar politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
(Baca juga: Anggota DPR Ribka Tjiptaning Ogah Disuntik Vaksin Sinovac, Ini Respon Bos Bio Farma )
Anggia tidak keberatan swasta terlibat dalam distribusi dan vaksinasi ini. Namun, dia meminta agar keterlibatan swasta setelah vaksinasi untuk kelompok primer selesai. Hal ini untuk menghindari vaksinasi dijadikan lahan bisnis yang terbuka. Pasalnya, pemerintah sebelumnya sudah menyakan akan memberikan vaksin secara gratis.
“Kalau negara tidak boleh sama sekali melakukan bisnis. Pihak swasta boleh karena bisa menjadi penopang ekonomi negara. Tidak menutup kemungkinan swasta berperan, tapi tetap pakai aturan. Kalau sekarang sudah ikut-ikut, yang wajib-wajib belum selesai. Biar (pemerintah) konsentrasi di nakes dan yang di gelombang pertama,” katanya.
Pengamat kesehatan yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendukung jika pemerintah memberikan akses bagi RS swasta melakukan vaksinasi terhadap masyarakat. Menurut dia, hal itu justru sangat membantu mempercepat penyuntikan vaksin.
“Enggak masalah kalau distribusi itu melibatkan swasta. Karena rumah sakit punya klinik, tenaga kesehatan yang memadai dan terlatih. Justru (mereka) perlu dilibatkan,” kata Hermawan. Terkait biaya distribusi, kata dia, hal itu sebaiknya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan vaksin diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Karena itu, dirinya meminta rumah sakit maupun klinik swasta tidak mengambil iuran dari jasa vaksinasi yang diberikan.
“Biaya distribusi jadi tanggung jawab pemerintah. Termasuk berkaitan dengan penggunaan APD, tenaga kesehatan, dan lainnya. Karena ini kan tanggung jawab pemerintah atas nama negara,” ujarnya.
Hermawan menegaskan, jangan sampai nantinya ada komersialisasi dari program vaksinasi dengan mengenakan beban iuran atau jasa kepada pasien. Sebab, meski sudah diberikan gratis, masih ada masyarakat yang merasa tidak mau atau menolak untuk divaksin.
“Dalam keadaan gratis saja, masih ada orang yang tidak mau. Apalagi kalau berbayar. Ini kan vaksin untuk membentuk kekebalan komunitas atau herd immunity, makanya pemerintah harus memberikan kemudahan agar vaksin ini bisa mudah diakses dan dijangkau,” jelas dia.
Aturan tersebut penting agar ada keseragaman layanan termasuk tarif vaksinasi karena ini dilakukan di luar anggaran pemerintah. Para pemangku kepentingan seyogianya berkaca pada penyelenggaraan uji tes Covid-19 mandiri yang sebelumnya banyak dikeluhkan masyarakat karena dianggap mahal dan tidak seragam.
(Baca juga: Vaksin Covid-19 Bermasalah, Jangan Harap Layangkan Tuntutan Hukum )
Keterlibatan swasta dalam program vaksinasi di satu sisi memang cukup baik karena bisa membantu pemerintah mempercepat penyuntikan vaksin ke masyarakat. Namun, jangan sampai ada anggapan program vaksinasi kembali menjadi ladang bisnis rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Ikhwal usulan keterlibatan swasta dalam vaksinasi mandiri ini disampaikan oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani di Jakarta, kemarin. Dalam keterangan tertulisnya, dia menyebutkan bahwa Kadin telah mengusulkan kepada pemerintah agar wasta diberi akses vaksin mandiri guna mendorong percepatan vaksinasi secara nasional. Langkah ini dianggap penting khususnya bagi karyawan dan pekerja agar segera bisa divaksin agar roda perekonomian bisa terus berjalan.
"Jika vaksinasi ini bisa cepat dilakukan bagi karyawan, pekerja maupun kalangan dunia usaha, harapannya akan mempercepat pemulihan ekonomi juga," kata Rosan.
Rosan termasuk kelompok awal yang mendapat suntikan vaksin bersama sejumlah tokoh pada hari pertama vaksinasi pada Rabu (13/01) lalu. Dia pun mengapresiasi langkah pemerintah karena memang vaksin inilah dibutuhkan ke depannya agar sektor kesehatan dan ekonomi yang terdampak bisa terkendali dan tumbuh di 2021.
(Baca juga: Buat Bayar Vaksin, Sri Mulyani Potong Anggaran Kementerian )
“Untuk itu, izin pemerintah kepada swasta untuk melakukan vaksinasi mandiri kepada karyawannya sangat ditunggu. Bahkan akan lebih baik jika diberikan kesempatan melakukan vaksin mandiri, tidak hanya untuk karyawan saja tapi juga untuk keluarga karyawan," sebutnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat bersama Komisi IX DPR kemarin mengungkapkan, pemerintah membuka opsi vaksinasi Covid-19 secara mandiri oleh swasta. Namun, vaksinasi mandiri itu bukan perorangan, melainkan melalui perusahaan untuk para karyawannya.
“Mungkin bisa diberikan izin. Kalau seperti ini sebaiknaya pengadaannya di luar pemerintah saja, bisa dilakukan oleh swasta dan mereka bisa pengadaan sendiri," ucap Budi. Hanya saja, syaratnya vaksin Covid-19 yang dibeli harus sesuai dengan yang diizinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
(Baca juga: Bukan Cuma Vaksin, Ini Strategi Kemenkes Selesaikan Pandemi COVID-19 di Indonesia )
Apabila akses vaksinasi Covid-19 jadi diberikan ke swata, maka ini menjadi kesempatan bagi para penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit. Pasalnya, secara infrastruktur para pengelola rumah sakit sudah menyiapkan perangkatnya termasuk tenaga kesehatan dan vaksinatornya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi menyambuk baik usulan untuk memperluas tempat vaksinasi ini. Dia mengungkapkan rumah sakit (RS) swasta sebenarnya sudah terlibat, tetapi hanya terbatas untuk vaksinasi tenaga kesehatan (nakes).
Ke depan, ARSSI berharap bisa dilibatkan dalam vaksinasi masyarakat umum secara luas. ARSSI mengklaim dengan jaringan 1.800 RS di seluruh Indonesia tentu akan mempermudah, meningkatkan cakupan, dan mempercepat program vaksinasi. Menurut dia, pihaknya telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan asosiasi RS lain tentang kemungkinan pelibatan ini.
(Bada juga: Begini Suasana RS Yarsi Jakpus, Rumah Sakit Syekh Ali Jaber Meninggal )
Bahkan, kata Ichsan, ARSSI mengusulkan fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I, seperti klinik swasta dilibatkan. Jadi, cakupannya bisa sangat luas hingga pelosok daerah. Terlibatnya swasta juga bisa bisa mengurai kemungkinan antrean di faskes milik pemerintah yang menyelenggarakan vaksinasi.
“Sekarang beberapa RS sudah menyiapkan, poli vaksin. Kami siapkan juga pendingin, baik untuk Sinovac, Pfizer, AstraZeneca, dan lain-lain. Beberapa RS sudah menyiapkan alat pendingin supaya vaksin ini efektif. Kami sudah mempersiapkan SDM juga,” kata Ichsan saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Dia menambahkan, apabila diizinkan dan dilibatkan dalam vaksinasi, ARSSI mengajukan beberapa syarat kepada pemerintah. Menurutnya, jika ada efek samping dan tuntutan, pemerintah harus bisa membantu dalam hal pertanggungjawaban. Kemudian, ARSSI ingin pemerintah memastikan kelancaran dan suplai vaksin.
“Kita berharap bisa tersedia dan terukur, jangan sampai ada antrean. Ini bahaya juga kalau masyarakat tahu (bisa vaksinasi mandiri di RS swasta), terjadi antrean, dan vaksinnya terbatas. Berikutnya, edukasi kepada masyarakat itu penting. Efek dari vaksinasi ini ada dua, antrean dan masyarakat sangat pasif, tidak mau divaksinasi. Kami minta bantuan kepada pemerintah,” tuturnya.
Terkait biaya vaksinasi, ARSSI meminta RS Swasta pasti akan melihat dulu harganya dari produsen. Namun, Ichsan meminta swasta dibebaskan untuk menentukan harga. Dalam penentuan harga, swasta tentunya akan menghitung biaya dasar, mulai dari vaksin hingga tenaga medis yang melakukan tindakan.
Wajib Diatur
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anggia Ermarini mengatakan, apabila ada keterlibatan swasta dalam vaksinasi maka harus ada aturan yang jelas termasuk soal penetapan harga vaksinnya. Pihaknya tidak ingin kisruh akibat ketidakseragamnya layanan seperti saat tes Covid-19 terulang lagi.
Selama pandemi, kata dia, masyarakat sudah mengalami dan melihat langsung tidak terkendalinya harga tes Covid-19, rapid tes dan polymerase chain reaction (PCR) atau swab. Biaya rapid tes dan PCR sebelum diatur oleh pemerintah sempat menyentuh Rp500.000 dan Rp3.000.000.
“Dari awal harus ada patokan harga, jangan ngawur. RS swasta tidak seenaknya memasang tarif. Aturan harus dibikin dari awal. Jangan setelah kejadian baru dibikin,” ujar politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
(Baca juga: Anggota DPR Ribka Tjiptaning Ogah Disuntik Vaksin Sinovac, Ini Respon Bos Bio Farma )
Anggia tidak keberatan swasta terlibat dalam distribusi dan vaksinasi ini. Namun, dia meminta agar keterlibatan swasta setelah vaksinasi untuk kelompok primer selesai. Hal ini untuk menghindari vaksinasi dijadikan lahan bisnis yang terbuka. Pasalnya, pemerintah sebelumnya sudah menyakan akan memberikan vaksin secara gratis.
“Kalau negara tidak boleh sama sekali melakukan bisnis. Pihak swasta boleh karena bisa menjadi penopang ekonomi negara. Tidak menutup kemungkinan swasta berperan, tapi tetap pakai aturan. Kalau sekarang sudah ikut-ikut, yang wajib-wajib belum selesai. Biar (pemerintah) konsentrasi di nakes dan yang di gelombang pertama,” katanya.
Pengamat kesehatan yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendukung jika pemerintah memberikan akses bagi RS swasta melakukan vaksinasi terhadap masyarakat. Menurut dia, hal itu justru sangat membantu mempercepat penyuntikan vaksin.
“Enggak masalah kalau distribusi itu melibatkan swasta. Karena rumah sakit punya klinik, tenaga kesehatan yang memadai dan terlatih. Justru (mereka) perlu dilibatkan,” kata Hermawan. Terkait biaya distribusi, kata dia, hal itu sebaiknya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan vaksin diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Karena itu, dirinya meminta rumah sakit maupun klinik swasta tidak mengambil iuran dari jasa vaksinasi yang diberikan.
“Biaya distribusi jadi tanggung jawab pemerintah. Termasuk berkaitan dengan penggunaan APD, tenaga kesehatan, dan lainnya. Karena ini kan tanggung jawab pemerintah atas nama negara,” ujarnya.
Hermawan menegaskan, jangan sampai nantinya ada komersialisasi dari program vaksinasi dengan mengenakan beban iuran atau jasa kepada pasien. Sebab, meski sudah diberikan gratis, masih ada masyarakat yang merasa tidak mau atau menolak untuk divaksin.
“Dalam keadaan gratis saja, masih ada orang yang tidak mau. Apalagi kalau berbayar. Ini kan vaksin untuk membentuk kekebalan komunitas atau herd immunity, makanya pemerintah harus memberikan kemudahan agar vaksin ini bisa mudah diakses dan dijangkau,” jelas dia.
(ynt)