Selamat Tahun Baru, UMKM Indonesia
loading...
A
A
A
Kurun waktu sedikitnya 10 bulan sejak Indonesia dinyatakan suspect besar Covid-19 pada Maret 2020 lalu, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa tidak boleh ada penundaan apa pun terkait penyesuaian dan perubahan pola berusaha UMKM Indonesia. Baik terkait pola produksi, pola konsumsi bahan baku, pola pemasaran, maupun pola transaksi antara pembeli dan UMKM sebagai penjual barang dan jasa.
Sangat keterlaluan jika kurun waktu pandemi yang sudah sedemikian lama dan belum tampak ujungnya ini tidak membuat UMKM Indonesia sadar diri akan tuntutan perubahan itu. Apalagi jika ada UMKM yang masih saja yakin bahwa mereka akan bisa bertahan dan melewati badai ekonomi ini dengan “kekolotan” mereka menggunakan cara-cara lama dalam beraktivitas usaha.
Ekstremitas Perubahan
Sebagai sebuah disrupsi besar dan dipercepat, maka dalam beberapa aspek, perubahan-perubahan yang harus dilakukan UMKM Indonesia tidak lagi bisa bersifat evolusioner tapi harus revolusioner. Perubahan yang cepat dan mendasar. Ekstrem.
Di mana saja perubahan revolusioner itu harus dilakukan? Pertama, UMKM harus menyasar pada sektor produksi barang dan jasa yang bersifat sunshine growth (masih bisa berkembang) pada era pandemi. Bukan yang bersifat sunset growth.
Seperti apa contohnya? Mengacu pada hasil riset Dcode EFC Analysis, pada kategori pandemic sunshine growth, UMKM bisa mencoba peruntungan di sektor medical supply and service, food processing, personal healthcare, information and communication technology (ICT), e-commerce dan modern agriculture.
Sementara pada kategori pandemic sunset growth, ada tourism and leisure, aviation and maritime, construction and real estate, serta manufacturing non-essesial things. Dan, di antara kedua kategori tersebut (pandemic moderate growth), ada sektor financial services, education, transportation serta oil and gas.
Apa yang harus dilakukan UMKM dengan kategorisasi ini? UMKM harus ekstrahati-hati ketika ia bergerak di sektor yang tergolong pandemic sunset growth, dan harus segera bergerak melengkapi atau bahkan bergeser ke arah pandemic sunshine sector. Harus ada keberanian untuk berubah, dengan tuntutan perubahan yang cepat. Ingat: belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi mereda. Jangka pendek, atau bisa saja jangka panjang.
Kedua, pencadangan dan alokasi modal usaha untuk mendukung proses perubahan yang harus dilakukan. UMKM harus berani mengalokasikan modalnya untuk bicara pendidikan atau pelatihan pekerja, investasi penyesuaian alat produksi, modifikasi sarana prasarana pemasaran, model beriklan atau komunikasi, hingga pada pengayaan (enrichment) metode transaksi.
Adapun yang sama sekali tidak gampang dalam hal ini bahwa alokasi resources harus dibarengi dengan efisiensi. Ini tantangan ekstrem: berubah sembari berhemat. Artinya, UMKM harus benar-benar piawai dalam menetapkan pilihan kebijakan usahanya, untuk kemudian juga selektif memilih media perubahan terkait budget-nya.
Sebuah tantangan yang sangat menarik sebenarnya. Tak mudah dilakukan karena banyak UMKM selama ini cenderung bersifat AT semata, tetapi melupakan unsur M dalam metode ATM (amati, tiru, modifikasi).
Sangat keterlaluan jika kurun waktu pandemi yang sudah sedemikian lama dan belum tampak ujungnya ini tidak membuat UMKM Indonesia sadar diri akan tuntutan perubahan itu. Apalagi jika ada UMKM yang masih saja yakin bahwa mereka akan bisa bertahan dan melewati badai ekonomi ini dengan “kekolotan” mereka menggunakan cara-cara lama dalam beraktivitas usaha.
Ekstremitas Perubahan
Sebagai sebuah disrupsi besar dan dipercepat, maka dalam beberapa aspek, perubahan-perubahan yang harus dilakukan UMKM Indonesia tidak lagi bisa bersifat evolusioner tapi harus revolusioner. Perubahan yang cepat dan mendasar. Ekstrem.
Di mana saja perubahan revolusioner itu harus dilakukan? Pertama, UMKM harus menyasar pada sektor produksi barang dan jasa yang bersifat sunshine growth (masih bisa berkembang) pada era pandemi. Bukan yang bersifat sunset growth.
Seperti apa contohnya? Mengacu pada hasil riset Dcode EFC Analysis, pada kategori pandemic sunshine growth, UMKM bisa mencoba peruntungan di sektor medical supply and service, food processing, personal healthcare, information and communication technology (ICT), e-commerce dan modern agriculture.
Sementara pada kategori pandemic sunset growth, ada tourism and leisure, aviation and maritime, construction and real estate, serta manufacturing non-essesial things. Dan, di antara kedua kategori tersebut (pandemic moderate growth), ada sektor financial services, education, transportation serta oil and gas.
Apa yang harus dilakukan UMKM dengan kategorisasi ini? UMKM harus ekstrahati-hati ketika ia bergerak di sektor yang tergolong pandemic sunset growth, dan harus segera bergerak melengkapi atau bahkan bergeser ke arah pandemic sunshine sector. Harus ada keberanian untuk berubah, dengan tuntutan perubahan yang cepat. Ingat: belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi mereda. Jangka pendek, atau bisa saja jangka panjang.
Kedua, pencadangan dan alokasi modal usaha untuk mendukung proses perubahan yang harus dilakukan. UMKM harus berani mengalokasikan modalnya untuk bicara pendidikan atau pelatihan pekerja, investasi penyesuaian alat produksi, modifikasi sarana prasarana pemasaran, model beriklan atau komunikasi, hingga pada pengayaan (enrichment) metode transaksi.
Adapun yang sama sekali tidak gampang dalam hal ini bahwa alokasi resources harus dibarengi dengan efisiensi. Ini tantangan ekstrem: berubah sembari berhemat. Artinya, UMKM harus benar-benar piawai dalam menetapkan pilihan kebijakan usahanya, untuk kemudian juga selektif memilih media perubahan terkait budget-nya.
Sebuah tantangan yang sangat menarik sebenarnya. Tak mudah dilakukan karena banyak UMKM selama ini cenderung bersifat AT semata, tetapi melupakan unsur M dalam metode ATM (amati, tiru, modifikasi).