Selamat Tahun Baru, UMKM Indonesia

Senin, 04 Januari 2021 - 07:00 WIB
loading...
Selamat Tahun Baru, UMKM Indonesia
Fajar S Pramono (Foto: Istimewa)
A A A
Fajar S Pramono
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta

SELAMAT Tahun Baru 2021, UMKM Indonesia.

Ucapan ini sama sekali bukan lips service karena usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia harus benar-benar memiliki momentum titik balik (breakthrough) dari apa yang terjadi pada tahun 2020 dengan pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan hingga pengujung tahun.

Titik balik kebangkitan ekonomi memang diharapkan terjadi setelah vaksin Covid-19 ditemukan dan bisa dimanfaatkan. “Vaksin adalah kunci,” begitu banyak pengamat mengatakan.

Pertanyaannya, kapan vaksin itu bisa dinyatakan selesai uji akhir secara medis dan bisa disuntikkan kepada mereka yang membutuhkan? Berapa persentase minimal dari populasi penduduk Indonesia yang harus divaksin untuk memastikan aktivitas ekonomi berbalik membaik? Jika pun telah dipenuhi angka minimalnya, berapa rentang waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada terwujudnya breakthrough kondisi ekonomi itu?

Pertanyaan ini yang tak mudah dijawab meskipun optimisme perbaikan kondisi ekonomi harus dikedepankan. Karenanya, tahun baru 2021 tak ada salahnya dijadikan momentum bagi kebangkitan yang lebih pasti dibanding harus menunggu suatu hal yang masih belum bisa diprediksikan secara akurat.

Inventarisasi Kepastian Perubahan
Tataran bijak mengatakan: masa depan harus diciptakan; bukan sekadar dinantikan kehadirannya. Kesuksesan harus dijemput; bukan sekadar ditunggu dengan duduk tanpa upaya.

UMKM Indonesia 2021 harus memiliki mental aktif seperti pameo di atas. Bukan mental reaktif di mana UMKM baru mau berubah serta mencoba menyesuaikan diri ketika ada gangguan (disrupsi). Apalagi kita percaya bahwa pandemi Covid-19 adalah salah satu aktor disrupsi terbesar, sekaligus sebagai bentuk disrupsi yang dipercepat.

Disebut disruptor terbesar karena pandemi tak hanya mengganggu satu atau dua sektor kehidupan semata tapi menjadi gangguan bagi hampir seluruh tatanan dan pola kehidupan manusia di bumi ini. Disebut disrupsi yang dipercepat karena sesungguhnya tuntutan perubahan pola usaha dan strategi berusaha sudah muncul sebelum adanya pandemi. Hanya saja, tuntutannya tak sekencang ketika didorong oleh “kejutan” pandemi.

Maka, hal utama yang harus dilakukan UMKM Indonesia adalah menginventarisasi kepastian-kepastian perubahan terkait pola transaksi dan pola belanja konsumen. Mulai dari perubahan gaya hidup yang lekat dengan keterbatasan gerak berikut kewajiban protokol kesehatannya, cara berbelanja, pilihan komoditas, sekaligus pilihan prioritas barang serta jasa yang akan dibeli, kemungkinan terus turunnya daya beli masyarakat, serta apa pun hal-hal yang terkait dengan tren penyesuaian pada era pandemi dan (semoga segera terjadi) pascapandemi.

Kurun waktu sedikitnya 10 bulan sejak Indonesia dinyatakan suspect besar Covid-19 pada Maret 2020 lalu, sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa tidak boleh ada penundaan apa pun terkait penyesuaian dan perubahan pola berusaha UMKM Indonesia. Baik terkait pola produksi, pola konsumsi bahan baku, pola pemasaran, maupun pola transaksi antara pembeli dan UMKM sebagai penjual barang dan jasa.

Sangat keterlaluan jika kurun waktu pandemi yang sudah sedemikian lama dan belum tampak ujungnya ini tidak membuat UMKM Indonesia sadar diri akan tuntutan perubahan itu. Apalagi jika ada UMKM yang masih saja yakin bahwa mereka akan bisa bertahan dan melewati badai ekonomi ini dengan “kekolotan” mereka menggunakan cara-cara lama dalam beraktivitas usaha.

Ekstremitas Perubahan
Sebagai sebuah disrupsi besar dan dipercepat, maka dalam beberapa aspek, perubahan-perubahan yang harus dilakukan UMKM Indonesia tidak lagi bisa bersifat evolusioner tapi harus revolusioner. Perubahan yang cepat dan mendasar. Ekstrem.

Di mana saja perubahan revolusioner itu harus dilakukan? Pertama, UMKM harus menyasar pada sektor produksi barang dan jasa yang bersifat sunshine growth (masih bisa berkembang) pada era pandemi. Bukan yang bersifat sunset growth.

Seperti apa contohnya? Mengacu pada hasil riset Dcode EFC Analysis, pada kategori pandemic sunshine growth, UMKM bisa mencoba peruntungan di sektor medical supply and service, food processing, personal healthcare, information and communication technology (ICT), e-commerce dan modern agriculture.

Sementara pada kategori pandemic sunset growth, ada tourism and leisure, aviation and maritime, construction and real estate, serta manufacturing non-essesial things. Dan, di antara kedua kategori tersebut (pandemic moderate growth), ada sektor financial services, education, transportation serta oil and gas.

Apa yang harus dilakukan UMKM dengan kategorisasi ini? UMKM harus ekstrahati-hati ketika ia bergerak di sektor yang tergolong pandemic sunset growth, dan harus segera bergerak melengkapi atau bahkan bergeser ke arah pandemic sunshine sector. Harus ada keberanian untuk berubah, dengan tuntutan perubahan yang cepat. Ingat: belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi mereda. Jangka pendek, atau bisa saja jangka panjang.

Kedua, pencadangan dan alokasi modal usaha untuk mendukung proses perubahan yang harus dilakukan. UMKM harus berani mengalokasikan modalnya untuk bicara pendidikan atau pelatihan pekerja, investasi penyesuaian alat produksi, modifikasi sarana prasarana pemasaran, model beriklan atau komunikasi, hingga pada pengayaan (enrichment) metode transaksi.

Adapun yang sama sekali tidak gampang dalam hal ini bahwa alokasi resources harus dibarengi dengan efisiensi. Ini tantangan ekstrem: berubah sembari berhemat. Artinya, UMKM harus benar-benar piawai dalam menetapkan pilihan kebijakan usahanya, untuk kemudian juga selektif memilih media perubahan terkait budget-nya.

Sebuah tantangan yang sangat menarik sebenarnya. Tak mudah dilakukan karena banyak UMKM selama ini cenderung bersifat AT semata, tetapi melupakan unsur M dalam metode ATM (amati, tiru, modifikasi).

Ketiga, UMKM harus bergandengan tangan dengan UMKM lain dan utamanya dengan institusi pendamping dan pendorong gerak UMKM.

Siapa saja itu? Tentu dengan pelaku UMKM yang lain secara individual, lalu komunitas atau asosiasi pengusaha, entitas pendamping UMKM seperti lembaga pelatihan produksi, intensifikasi, product packaging, ekspor impor dan pemasaran, serta lembaga donasi UMKM dan perbankan.

Hal terakhir ini akan sangat lebih efektif jika dilakukan secara bersama-sama antarpelaku UMKM. Sebab, dalam idealisasi perilaku berusaha, kebersamaan antarpelaku usaha tetap saja merupakan hal terbaik yang akan mendukung perkembangan dan penyelamatan usaha, dibanding persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan antarpelaku usaha.

Lalu, di mana peran pemerintah, badan, dan lembaga? Tentu saja ada dan signifikan. Namun, kendali terbesar dan terbaik kebangkitan UMKM ini tetap ada pada kemauan mengubah mindset dari para pelaku UMKM itu sendiri.

Tanpa kesadaran kolektif seperti di atas, maka 2021 tidak akan bisa menjadi titik balik kebangkitan ekonomi UMKM. Justru sebaliknya: menjadi titik terendah eksistensi UMKM Indonesia.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1229 seconds (0.1#10.140)