Potret Perlindungan Konsumen Semasa Pandemi

Rabu, 30 Desember 2020 - 07:05 WIB
loading...
Potret Perlindungan Konsumen Semasa Pandemi
Tulus Abadi (Foto: Istimewa)
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

MEMOTRET wajah perlindungan konsumen selama 2020 tak bisa dilepaskan oleh situasi dan kondisi wabah Covid-19, yang kini nyaris melampaui satu tahun mengungkung masyarakat Indonesia. Lebih dari 700.000 orang telah terinfeksi Covid-19 dan lebih dari 21.000 orang Indonesia telah meninggal dunia. Kendati telah mendekati satu tahun lamanya, ironisnya wabah Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Bahkan kini muncul varian baru virus korona (dari Inggris) yang konon kemampuan menularnya lebih ganas. Wabah Covid-19 telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan manusia: bukan saja menimbulkan krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi, sosial, bahkan di beberapa negara menimbulkan krisis politik. Ending-nya adalah krisis kemanusiaan. Pun wabah Covid-19 tak luput mereduksi dan meminggirkan hak-hak konsumen dan hak-hak publik secara meluas. Beberapa fenomena berikut ini menjadi bukti nyata.

Pertama, hak terbebas dari rasa takut terpapar oleh wabah Covid-19. Saat kasus pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret hingga tiga bulan setelahnya, masyarakat kesulitan mendapatkan beberapa komoditas utama untuk melindungi diri dari paparan Covid-19. Misalnya masker, pembersih tangan, bahkan produk multivitamin, khususnya vitamin C. Ketiga komoditas itu nyaris hilang di pasaran. Kalau pun ada harganya melangit. Pemerintah nyaris tak berdaya mengatasi hal ini. Musababnya adanya oknum yang mendistorsi pasar (ditimbun), dan juga diekspor, yang secara regulasi memang tidak dilarang. Sebab, masker, pembersih tangan, dan multivitamin tidak termasuk kategori barang penting dan strategis sebagaimana diatur Undang-Undang Perdagangan.

Ke depan, sepertinya harus ada amendemen regulasi, terutama dalam konteks wabah. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah tertolaknya pasien oleh rumah sakit dikarenakan kapasitas penuh. Akibatnya, banyak pasien yang meninggal karena hal ini, baik pasien Covid-19 maupun pasien penyakit lainnya. Kedua, fenomena disinformasi dan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Selama pandemi pula masyarakat terombang-ambing oleh pernyataan pejabat publik yang simpang siur, bahkan menyesatkan. Dampaknya berbagai kebijakan yang terkait pengendalian pandemi menjadi tidak jelas dan inkonsisten. Selain itu, masyarakat termakan oleh berita hoaks terkait obat dan jamu penyembuh virus korona. Tragisnya hal itu dipicu oleh pernyataan pejabat publik selevel Ketua DPR, atau bahkan Menteri Kesehatan (Terawan) sekalipun. Sementara itu, WHO dan atau Badan POM belum memberikan izin apa pun terkait obat, jamu, herbal, atau bahkan serum—yang diklaim bisa menyembuhkan virus tersebut.

Ketiga, tidak andalnya pelayanan publik, terutama internet, dan atau sektor ketenagalistrikan. Selama pandemi praktis semua pekerjaan dan juga proses belajar mengajar berbasis internet, work from home (WfH) dan pembelajaran jarak jauh(PJJ). Melonjaknya pemakaian internet untuk keperluan rapat daring seperti Zoom, Google Meet, Microsoft Team, dan sejenisnya. Dampaknya, keandalan internet menurun atau bahkan sinyal yang timbul tenggelam sehingga konsumen bersusah-payah mendapatkan sinyal internet. Belum lagi tidak sedikit anak-anak didik yang tidak mempunyai perangkat komunikasi (smartphone). Seorang pelajar di Rembang, Jawa Tengah, pergi sendirian ke sekolah untuk pembelajaran tatap muka karena dia tak punya smartphone untuk aktivitas PJJ.

Masalah pelayanan di sektor ketenagalistrikan juga tidak bisa disepelekan. Pada kuartal pertama pandemi, konsumen listrik dibuat meradang, khususnya di Pulau Jawa. Pasalnya, tagihan listriknya melonjak antara 100-200%, bahkan lebih dari 300%. Usut punya usut, memang dipicu oleh perubahan perilaku konsumen dalam menggunakan listrik, dampak dari WfH dan PJJ. Tetapi, minimnya informasi dan sosialisasi oleh manajemen PT PLN dan atau pemerintah juga menjadi musababnya. Hal yang menggembirakan adalah digratiskannya tagihan listrik oleh pemerintah, khususnya untuk golongan 450-900 VA; ataupun diskon untuk golongan 1.300 VA ke atas.

Keempat, suplai terhadap kebutuhan pokok. Patut diapresiasi selama pandemi tidak terjadi kelangkaan bahan pangan pokok (sembako). Ini tentu hasil atas kerja keras pemerintah dan semua pihak untuk mengamankan pasokan bahan pangan di Indonesia. Namun, adanya kenaikan harga tak bisa dihindari, mengingat selama pandemi terjadi gangguan distribusi akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemberian bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah, faktanya juga belum cukup mampu untuk mengatasi beratnya beban sosial ekonomi masyarakat rentan.

Kelima, konsumen kesulitan melakukan refund atas dana yang dikeluarkan, khususnya untuk tiket pembelian moda transportasi, akomodasi hotel, bahkan refund kepada agen perjalanan. Ini terjadi manakala semua moda transportasi mengalami pembatasan pemerintah, terutama saat pemberlakuan PSBB di Jakarta. Pihak maskapai hanya bisa memenuhi refund tiket dengan voucher, bukan cash. Permintaan yang sangat mendadak dan serentak: membuat maskapai, hotel, dan agen perjalanan kelimpungan untuk memenuhi permintaan konsumen. Inilah awal mula timbulnya sengketa antara konsumen dan operator. Juga saat pemerintah lamban dalam memutuskan libur akhir 2020, masyarakat sudah kadung pesan tiket transportasi, khususnya pesawat, dan atau pun hotel. Sayangnya pemerintah selaku regulator kurang begitu hadir untuk menjadi fasilitator sengketa antara konsumen dan berbagai operator.

Keenam, terkait janji pemerintah memberikan relaksasi di sektor keuangan, di lapangan banyak timbul kekecewaan. Sebab, apa yang ditangkap konsumen, sebagaimana pemberitaan di media, faktanya berbeda saat di lapangan, khususnya untuk konsumen leasing. Banyak konsumen leasing, khususnya sepeda motor, tetap harus membayar sesuai ketentuan (tidak seperti yang dijanjikan). Padahal, selama pandemi pendapatannya kolaps dan akhirnya mengalami kesulitan membayar.

Ketujuh, adanya kenaikan tarif atau harga komoditas publik, seperti jalan tol atau bahkan tarif BPJS Kesehatan. Tarif tol secara regulasi memang sudah diatur begitu kuat, untuk direviu per dua tahun sekali, atas dasar inflasi. Namun, idealnya operator tol tidak serta-merta mengajukan kenaikan tarif dengan pertimbangan ekonomi masih lesu, sangat lesu. Juga untuk kenaikan tarif BPJS Kesehatan, secara finansial memang cukup absah untuk dinaikkan, mengingat defisit yang sangat serius. Tetapi, lagi-lagi, bukan itu solusi ideal untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan, apalagi selama pandemi pemanfaatan masyarakat terhadap pelayanan ini turun drastis.

Simpulan dan Saran
Harus diakui, pelanggaran dan potensi pelanggaran hak-hak konsumen selama 2020 tidak bisa dilepaskan dari dampak pandemi Covid-19. Namun, jika ditarik benang merahnya, ada beberapa hal yang harus kita soroti. Pertama, eksisting regulasi baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, dan aturan di bawahnya, tidak dibuat atas spirit pandemi, wabah. Sehingga saat muncul wabah terjadi tergagapan yang luar biasa besar. Karenanya, ke depan sangat diperlukan untuk harmonisasi dan penguatan regulasi yang punyai spirit dan dimensi wabah. Apalagi Indonesia termasuk dalam negara yang potensi bencananya sangat besar, termasuk bencana nonalam (wabah).

Kedua, fenomena pelanggaran hak-hak konsumen juga dipicu oleh adanya kebijakan, minimal pernyataan pemerintah dan pejabat publik, yang tidak jelas, inkonsisten, alias mencla-mencle. Konsumen menjadi korban atas inkonsistennya kebijakan dan pernyataan tersebut. Apalagi selama pandemi cukup masif berita hoaks yang akhirnya mengakibatkan disinformasi pada konsumen, termasuk dalam menyikapi wabah Covid-19. Sampai detik ini masih banyak anggapan bahwa Covid-19 adalah utopia belaka.

Wabah Covid-19 seharusnya menjadi pelajaran paling berharga bagi pemerintah untuk tetap andal dalam mewujudkan pemenuhan terhadap hak-hak dasar masyarakat konsumen, sekalipun dalam terpaan bencana (wabah). Pemenuhan terhadap hak-hak dasar konsumen adalah pengejawantahan hak asasi manusia (human right), yang menjadi tugas dan tanggung jawab negara.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1184 seconds (0.1#10.140)