Pandemi Covid-19, Warnai Medsos dengan Konten Sejuk dan Damai

Sabtu, 26 Desember 2020 - 13:30 WIB
loading...
Pandemi Covid-19, Warnai Medsos dengan Konten Sejuk dan Damai
Di tengah pandemi Covid-19, media sosial (medsos) harusnya diisi dengan konten yang menyejukkan, meneduhkan dan mendamaikan. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Di tengah pandemi Covid-19, media sosial (medsos) harusnya diisi dengan konten yang menyejukkan, meneduhkan dan mendamaikan. Dampaknya bisa sangat fatal jika medsos justru digunakan untuk menyebar hoaks, provokasi, kebencian dan memecah belah masyarakat.

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan, sejatinya hoaks, misinformasi dan disinformasi hanya akan tumbuh subur di tengah ketidakpercayaan, di tengah kecurigaan, di tengah ketidakrukunan.

Menurut dia, kalau masyarakaa rukun, saling pengertian maka secara umum hoaks tidak akan mudah beredar. ”Kalau kita lihat di Indonesia, setiap upaya baik itu literasi digital atau pemberian pemahaman kepada masyarakat itu perlu untuk merangkul para tokoh masyarakat. Apalagi kalau terkait isu kerukunan, bentuk forum-forum silaturahmi untuk meredam berbagai isu yang meresahkan di masyarakat,” ujar Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Jumat 25 Desember 2020.

Eko menyampaikan itu karena menurutnya media sosial adalah teknologi yang memungkinkan untuk siapa pun mudah bersosialisasi dengan orang lain. Tapi yang juga perlu diingat, medsos juga bisa membuat orang-orang menjadi berkelompok yang mengarah kepada homogen.

”Maka ketika sebuah kelompok menjadi sangat homogen, dia akan cenderung menjadi tidak toleran terhadap yang berbeda, baik itu suku, agama hingga pilihan politik. Hal ini menjadi masalah ketika fanatisme itu menjadi tumbuh subur dalam kelompok-kelompok itu,” tuturnya.( )

Untuk itu, kata dia, jika ingin damai dalam bermedia sosial maka tidak boleh terlalu fanatik, baik itu kepada tokoh politik atau kepada siapa pun yang berpotensi menimbulkan sikap tidak toleran terhadap yang berbeda.

Jangan hanya melihat sudut pandang dari satu orang saja. Tetapi perlu juga mengenal yang lain agar paham konteks yang terjadi. ”Jangan buru-buru menghakimi ketika ada suatu permasalahan, harus dilihat dari berbagai prespektif. Prinsip-prinsip seperti itulah yang harus kita tanamkan kepada diri sendiri dan masyarakat sehingga kita akan berhati-hati dalam setiap membuat unggahan atau status di media sosial dengan tidak menghakimi orang lain,” ucap Eko.( )

Menurut dia, salah satu tantangan yang ada di medsos adalah banyaknya informasi yang sangat mungkin disalahpahami. Misalnya, ada foto atau tulisan yang tidak lengkap atau sudah diedit lalu disebar ke aplikasi WhatsApp Grup (WAG) atau media sosial lain.

Dia menegaskan, masyarakat jangan mudah percaya begitu saja, namun pastikan dulu kebenarannya. ”Apalagi kalau sampai hal ini kemudian ditambah dengan rasa tidak suka terhadap sesuatu itu hingga akhirnya dia terbiasa dan mentolerir disinformasi yang dia terima. Maka selain kita harus punya kemampuan untuk menyaring informasi, kita juga harus bisa menjaga suasana hati,” ujarnya.

Menurut dia, literasi digital harus dibarengi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk bisa bersikap toleran kepada yang berbeda. Literasi digital adalah bicara mengenai kemampuan dalam menyaring informasi yang ada saja.

Dia mengatakan, masalah hati, batin juga penting. Misalnya apakah cenderung suka dengan narasi-narasi damai atau malah nyaman dengan narasi provokatif yang menjelekkan orang lain. ”Keduanya perlu didorong bersama, suasana rukun kita dengan orang yang berbeda dibarengi dengan skill untuk bermedia sosial. Jadi secara psikis kita juga harus membangun kesadaran keberagaman itu,” katanya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2583 seconds (0.1#10.140)