BPJS Naik Lagi, Beban Rakyat Kian Berat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah penanganan pandemi Covid-19 yang belum tuntas, pemerintah tiba-tiba membuat kebijakan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenaikan iuran pada saat perekonomian tidak stabil ini membuat beban yang dipikul rakyat semakin berat.
Sejumlah kalangan menyesalkan langkah pemerintah yang nekat membuat kebijakan ini. Mereka menilai, pemberlakuan kenaikan mulai Juli mendatang untuk kelas I dan II dan awal 2021 untuk kelas III itu menunjukkan pemerintah kurang peka dengan situasi yang dialami rakyat. Di tengah kesulitan keuangan yang dihadapi BPJS, pemerintah semestinya melakukan evaluasi komprehensif tanpa buru-buru membebankan masalahnya ke rakyat.
Kenaikan iuran BPJS terbaru ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan akan dimulai untuk kelas I dan II terlebih dahulu, yakni pada Juli mendatang. “Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkap alasan kenaikan tersebut, seusai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi kemarin.
Meski begitu, dia menyebut bahwa pemerintah tetap memberikan subsidi kepada peserta BPJS. Dalam Pasal 29 perpres tersebut, pemerintah menanggung iuran bagi peserta penerima bantuan iuran. Pada Pasal 34, pemerintah akan menanggung iuran kelas III pada 2020 sebesar Rp16.500 per orang per bulan, dari yang seharusnya Rp25.500 per orang per bulan. Pada 2021 iuran kelas III naik menjadi Rp35.000 per orang per bulan, di mana Rp7.000 di antaranya ditanggung pemerintah pusat atau daerah.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat memberatkan masyarakat. “Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri,” katanya dalam keterangan tertulisnya. (Baca: Iuran BPJS Dinaikkan Lagi, Wakteum Gerindra: Menyakitkan Hati Rakyat)
Dengan kebijakan baru ini, putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Di tengah pandemi yang berdampak luas terhadap kondisi perekonomian warga, menurutnya, masih banyak cara untuk mengatasi defisit keuangan yang kini mendera BPJS. “Jangan lantas menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini,” ungkapnya.
Timboel mengungkapkan, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang sangat terdampak ekonominya karena Covid-19. Dia pun meminta Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi kepada seluruh jajarannya yang terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan,” imbuhnya.
Dia memaparkan, pada Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan Periode 2020, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Tetapi, karena ada putusan MA, maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun. Pemerintah pun sudah menambah Rp3 triliun bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Dengan demikian, penerimaan menjadi Rp135 triliun. Penerimaan BPJS ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun jika pemerintah daerah membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. (Baca juga: Politikus PKS Desak Pemerintah Jangan Ugal-ugalan Buat Kebijakan)
Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini menilai, kebijakan terbaru pemerintah ini jelas sangat meresahkan, bahkan membuat marah masyarakat. “Jangan begitu dululah, kondisi negara lagi begini. Jangan dibikin pusing lagi. Informasi (kenaikan tarif BPJS) ini benar-benar menurunkan imunitas masyarakat,” ungkapnya.
Politikus PKB ini meminta pemerintah mencari solusi terbaik dalam setiap kebijakan yang diambil. Menurut Anggia, ketika MA mengabulkan untuk tidak menaikkan iuran BPJS, semua pihak senang, termasuk anggota Komisi IX DPR yang memang menolak keras kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Meskipun, fakta yang terjadi di lapangan beragam, ada yang sudah kembali diturunkan, ada pula yang belum.
Menurut Anggia, kebijakan ini jelas membuat rakyat semakin pusing. Apalagi, saat ini kurva penderita Covid-19 belum menunjukkan ada tanda-tanda penurunan, namun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan baru yang menambah beban masyarakat. “Biarkan rakyat ini punya kekuatan untuk bisa melawan Covid-19 ini dengan baik. Kita tahu persis dampaknya enggak hanya kesehatan, ekonomi jelas kita sangat terdampak,” tandas ketua umum PP Fatayat NU ini.
Anggota Komisi IX DPR lainnya, Netty Prasetyani juga menganggap pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap suasana kebatinan dan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, dia menilai itu sangat mencederai hati masyarakat. “Menurut beberapa pakar, kondisi ekonomi kita akan terganggu hingga akhir tahun, bahkan awal tahun depan. Maka kebijakan kenaikan ini sangat mencederai kemanusiaan,” ungkap Netty.
Menurut Netty, kenaikan iuran BPJS pun menjadi kado Lebaran yang buruk bagi masyarakat yang akan merayakan dalam beberapa hari lagi. Dia menilai masyarakat sudah gusar dengan banyaknya beban kehidupan yang ditanggung oleh rakyat. “Sebut saja kebaikan TDL (tarif dasar listrik), harga BBM yang tak kunjung turun, bahkan daya beli masyarakat yang semakin menurun,” ucapnya.
Dia meyakini kebijakan kenaikan iuran BPJS akan semakin mempersulit kehidupan masyarakat. Seharusnya pemerintah fokus dalam penanganan kesehatan terhadap Covid-19 dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah disiapkan. “Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif dan membingungkan,” tegasnya. (Baca juga: Iuran BPJS Dinaikkan Lagi, Pemerintah Tak Dengar Jeritan Hati Rakyat)
Netty menekankan kebijakan subsidi yang diberikan kepada kelompok kelas III PBPU juga harus bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan tepat sasaran mengingat persoalan data kepesertaan BPJS hingga kini masih karut-marut. Apalagi, ungkap Netty, jumlah peserta kelas III ini paling banyak dari kelas lainnya setelah terjadi migrasi dari kelas I dan II yang diakibatkan kenaikan premi Perpres 75/2019. “Seharusnya pemerintah melaksanakan putusan MA yang membatalkan sebagian Perpres 75/2019 ini secara sungguh-sungguh karena putusan ini mengikat. Jangan malah bermain-main dan mengakali hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020,” tandasnya.
Namun, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menilai penerbitan Perpres No 64/2020 ini justru menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan MA. “Perlu diketahui juga, perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja kelas III,” terang Iqbal dalam keterangan tertulisnya. (Dita Angga/Abdul Rochim/Fahmi Bachtiar)
Sejumlah kalangan menyesalkan langkah pemerintah yang nekat membuat kebijakan ini. Mereka menilai, pemberlakuan kenaikan mulai Juli mendatang untuk kelas I dan II dan awal 2021 untuk kelas III itu menunjukkan pemerintah kurang peka dengan situasi yang dialami rakyat. Di tengah kesulitan keuangan yang dihadapi BPJS, pemerintah semestinya melakukan evaluasi komprehensif tanpa buru-buru membebankan masalahnya ke rakyat.
Kenaikan iuran BPJS terbaru ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan akan dimulai untuk kelas I dan II terlebih dahulu, yakni pada Juli mendatang. “Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkap alasan kenaikan tersebut, seusai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi kemarin.
Meski begitu, dia menyebut bahwa pemerintah tetap memberikan subsidi kepada peserta BPJS. Dalam Pasal 29 perpres tersebut, pemerintah menanggung iuran bagi peserta penerima bantuan iuran. Pada Pasal 34, pemerintah akan menanggung iuran kelas III pada 2020 sebesar Rp16.500 per orang per bulan, dari yang seharusnya Rp25.500 per orang per bulan. Pada 2021 iuran kelas III naik menjadi Rp35.000 per orang per bulan, di mana Rp7.000 di antaranya ditanggung pemerintah pusat atau daerah.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat memberatkan masyarakat. “Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri,” katanya dalam keterangan tertulisnya. (Baca: Iuran BPJS Dinaikkan Lagi, Wakteum Gerindra: Menyakitkan Hati Rakyat)
Dengan kebijakan baru ini, putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Di tengah pandemi yang berdampak luas terhadap kondisi perekonomian warga, menurutnya, masih banyak cara untuk mengatasi defisit keuangan yang kini mendera BPJS. “Jangan lantas menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini,” ungkapnya.
Timboel mengungkapkan, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang sangat terdampak ekonominya karena Covid-19. Dia pun meminta Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi kepada seluruh jajarannya yang terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan,” imbuhnya.
Dia memaparkan, pada Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan Periode 2020, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Tetapi, karena ada putusan MA, maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun. Pemerintah pun sudah menambah Rp3 triliun bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Dengan demikian, penerimaan menjadi Rp135 triliun. Penerimaan BPJS ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun jika pemerintah daerah membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. (Baca juga: Politikus PKS Desak Pemerintah Jangan Ugal-ugalan Buat Kebijakan)
Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini menilai, kebijakan terbaru pemerintah ini jelas sangat meresahkan, bahkan membuat marah masyarakat. “Jangan begitu dululah, kondisi negara lagi begini. Jangan dibikin pusing lagi. Informasi (kenaikan tarif BPJS) ini benar-benar menurunkan imunitas masyarakat,” ungkapnya.
Politikus PKB ini meminta pemerintah mencari solusi terbaik dalam setiap kebijakan yang diambil. Menurut Anggia, ketika MA mengabulkan untuk tidak menaikkan iuran BPJS, semua pihak senang, termasuk anggota Komisi IX DPR yang memang menolak keras kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Meskipun, fakta yang terjadi di lapangan beragam, ada yang sudah kembali diturunkan, ada pula yang belum.
Menurut Anggia, kebijakan ini jelas membuat rakyat semakin pusing. Apalagi, saat ini kurva penderita Covid-19 belum menunjukkan ada tanda-tanda penurunan, namun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan baru yang menambah beban masyarakat. “Biarkan rakyat ini punya kekuatan untuk bisa melawan Covid-19 ini dengan baik. Kita tahu persis dampaknya enggak hanya kesehatan, ekonomi jelas kita sangat terdampak,” tandas ketua umum PP Fatayat NU ini.
Anggota Komisi IX DPR lainnya, Netty Prasetyani juga menganggap pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap suasana kebatinan dan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, dia menilai itu sangat mencederai hati masyarakat. “Menurut beberapa pakar, kondisi ekonomi kita akan terganggu hingga akhir tahun, bahkan awal tahun depan. Maka kebijakan kenaikan ini sangat mencederai kemanusiaan,” ungkap Netty.
Menurut Netty, kenaikan iuran BPJS pun menjadi kado Lebaran yang buruk bagi masyarakat yang akan merayakan dalam beberapa hari lagi. Dia menilai masyarakat sudah gusar dengan banyaknya beban kehidupan yang ditanggung oleh rakyat. “Sebut saja kebaikan TDL (tarif dasar listrik), harga BBM yang tak kunjung turun, bahkan daya beli masyarakat yang semakin menurun,” ucapnya.
Dia meyakini kebijakan kenaikan iuran BPJS akan semakin mempersulit kehidupan masyarakat. Seharusnya pemerintah fokus dalam penanganan kesehatan terhadap Covid-19 dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah disiapkan. “Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif dan membingungkan,” tegasnya. (Baca juga: Iuran BPJS Dinaikkan Lagi, Pemerintah Tak Dengar Jeritan Hati Rakyat)
Netty menekankan kebijakan subsidi yang diberikan kepada kelompok kelas III PBPU juga harus bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan tepat sasaran mengingat persoalan data kepesertaan BPJS hingga kini masih karut-marut. Apalagi, ungkap Netty, jumlah peserta kelas III ini paling banyak dari kelas lainnya setelah terjadi migrasi dari kelas I dan II yang diakibatkan kenaikan premi Perpres 75/2019. “Seharusnya pemerintah melaksanakan putusan MA yang membatalkan sebagian Perpres 75/2019 ini secara sungguh-sungguh karena putusan ini mengikat. Jangan malah bermain-main dan mengakali hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020,” tandasnya.
Namun, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menilai penerbitan Perpres No 64/2020 ini justru menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan MA. “Perlu diketahui juga, perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja kelas III,” terang Iqbal dalam keterangan tertulisnya. (Dita Angga/Abdul Rochim/Fahmi Bachtiar)
(ysw)