UU Cipta Kerja, Pemerhati Lingkungan dan LSM Tetap Dilibatkan dalam Proses Amdal
loading...

Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Profesor San Afri Awang memaparkan bahwa dalam RPP Pelaksaan UU Cipta Kerja diatur ketentuan pelibatan pihak LSM dan pemerhati lingkungan dalam proses Amdal sebagai syarat pendirian usaha berisiko tinggi. Foto/Ilustrasi/
A
A
A
JAKARTA - Sejak masih berbentuk RUU hingga sudah disahkan, Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengundang pro dan kontra. Salah satu pasal dalam UU ini yang disorot oleh pihak kontra, khususnya para pegiat lingkungan, adalah Pasal 26 ayat (2) yang terdapat dalam Paragraf 3 Persetujuan Lingkungan .
“Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan,” demikian bunyi pasal itu yang merupakan perubahan dari Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU PPLH. (Baca juga: Penyusun RPP: UU Cipta Kerja Tidak Turunkan Standar Penilaian AMDAL)
Mereka menilai pasal tersebut menghilangkan ketentuan penting dalam UU PPLH, yakni pelibatan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Dalam diskusi daring bertajuk UU Cipta Kerja dan Pembangunan Berkelanjutan, Perspektif Lingkungan Hidup yang digelar Institut Teknologi Indonesia (ITI) Tangerang Selatan, pada Selasa (15/12), Profesor San Afri Awang meluruskan kritik tersebut.
Selaku salah satu kalangan independen yang menjadi tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), San Afri memaparkan bahwa dalam RPP tersebut diatur ketentuan pelibatan pihak LSM dan pemerhati lingkungan dalam proses Amdal sebagai syarat pendirian usaha berisiko tinggi.
“Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan,” demikian bunyi pasal itu yang merupakan perubahan dari Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU PPLH. (Baca juga: Penyusun RPP: UU Cipta Kerja Tidak Turunkan Standar Penilaian AMDAL)
Mereka menilai pasal tersebut menghilangkan ketentuan penting dalam UU PPLH, yakni pelibatan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Dalam diskusi daring bertajuk UU Cipta Kerja dan Pembangunan Berkelanjutan, Perspektif Lingkungan Hidup yang digelar Institut Teknologi Indonesia (ITI) Tangerang Selatan, pada Selasa (15/12), Profesor San Afri Awang meluruskan kritik tersebut.
Selaku salah satu kalangan independen yang menjadi tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), San Afri memaparkan bahwa dalam RPP tersebut diatur ketentuan pelibatan pihak LSM dan pemerhati lingkungan dalam proses Amdal sebagai syarat pendirian usaha berisiko tinggi.
Lihat Juga :