Bela Negara dan Fenomena Clicktivism
loading...
A
A
A
Menariknya, bahkan pengadilan pun dimanfaatkan menjadi panggung intelektual mereka untuk menohok Belanda lewat ketajaman pikir dan argumentasi. Seperti pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka (1928), dan Bung Karno, Indonesia Menggugat (1930).
Namun, bukan berarti hubungan sesama mereka sunyi dari perdebatan dan pertentangan. Perbedaan strategi perjuangan seperti antara membentuk partai massa (Bung Karno) dan partai kader (Hatta, Syahrir) dan perbedaan spektrum pemikiran nasionalis sekuler (Bung Karno) dan nasionalis Islam (Natsir) telah menyulut polemik dan perang tulisan sesama mereka. Debat intelektual, proses dialektika nan mencerahkan dan memajukan namun miskin benci.
Betapa pun besar pertentangan ide dan gagasan tidak membuat hubungan mereka terputus, apalagi sampai mengorbankan semangat kebangsaan. Pancasila dan UUD 1945 adalah buktinya. Dasar negara dan konstitusi tersebut merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari beragam latar belakang pemikiran. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk dialektika intelektual yang berusaha sedalam mungkin mengubur benci dan dendam ideologis.
Perkuat Literasi
Semangat bela negara yang dikobarkan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini harus terus diteladani. Kita, anak muda, sebagai penerus bangsa menanggung beban untuk meneruskan perjuangan mereka. Karena ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT) terhadap bangsa kita senantiasa mengintai, bahkan semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi.
Karena itu, tugas kita sekarang adalah memastikan tidak ada yang berani atau bisa mengusik kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Segala upaya harus kita lakukan sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu kita.
Mengacu pada pengalaman para pendiri bangsa, memperkuat literasi untuk meninggikan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman sosial budaya, saat ini mutlak dibutuhkan sebagai modalitas dasar. Intinya, kita harus mempunyai pengetahuan yang utuh tentang Indonesia, seperti disinggung di atas. Penguasaan informasi yang komprehensif ini akan mendorong adanya partisipasi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama di era media sosial saat ini, yang sering kali melahirkan individu-individu yang terbiasa monolog bahkan cenderung narsistik, hanya mau bercakap-cakap dengan mereka-mereka yang dianggap satu pandangan, tanpa bersedia untuk membuka diri terbiasa dengan dialog, di mana percakapan dibangun dengan pandangan yang heterogen.
Era Clicktivism
Meminjam kajian Merlyna Lim, seorang peneliti dari Arizona State University, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), sebuah isu bisa menjadi viral (online) yang kemudian menjadi gerakan (offline) setidaknya light package (dapat dipahami tanpa refleksi mendalam), headline appetite (hanya membutuhkan perhatian kecil dan percakapan satu arah alias monolog), dan trailer vision (cerita sensasional, sederhana atau disederhanakan).
Selain itu pula, isu tersebut berisiko rendah dan sejalan dengan metanarasi ideologis, seperti nasionalisme dan religiusitas.
Inilah kunci kesuksesan isu Coin for Prita (Prita Mulyasari Vs RS Omni International) dan Cicak vs Buaya (Bibit-Chandra kontra Susno Duadji). Padahal, ada banyak kasus lainnya ketika itu, seperti kasus Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo tapi tidak viral dan menjadi sebuah gerakan.
Itu pun dalam kasus Cicak vs Buaya, hanya lima ribu orang yang turun aksi ke jalan. Padahal, lebih dari sejuta Facebooker yang mendukung Bibit-Samad.
Rendahnya literasi digital ini acap kali membuat keriuhan di medsos tidak mendorong pada peningkatan partisipasi politik. Istilah-istilah slacktivism, clicktivism, armchair activism dan keyboard activism merujuk pada kondisi tersebut. Merasa menjadi hero hanya sekadar mengunggah, membagikan, menyukai, mengomentari, dan menandatangani petisi online tanpa disertai aksi nyata. Fenomena berisik tanpa gerak, bahkan tanpa disertai dengan dialektika intelektual dan hanya diisi ejekan dan makian ala sosmed telah menjadi fenomena baru abad ini. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah anak muda saat ini adalah bagaimana meninggikan literasi untuk kembali menghidupkan tradisi dialektika intelektual.
Namun, bukan berarti hubungan sesama mereka sunyi dari perdebatan dan pertentangan. Perbedaan strategi perjuangan seperti antara membentuk partai massa (Bung Karno) dan partai kader (Hatta, Syahrir) dan perbedaan spektrum pemikiran nasionalis sekuler (Bung Karno) dan nasionalis Islam (Natsir) telah menyulut polemik dan perang tulisan sesama mereka. Debat intelektual, proses dialektika nan mencerahkan dan memajukan namun miskin benci.
Betapa pun besar pertentangan ide dan gagasan tidak membuat hubungan mereka terputus, apalagi sampai mengorbankan semangat kebangsaan. Pancasila dan UUD 1945 adalah buktinya. Dasar negara dan konstitusi tersebut merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari beragam latar belakang pemikiran. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk dialektika intelektual yang berusaha sedalam mungkin mengubur benci dan dendam ideologis.
Perkuat Literasi
Semangat bela negara yang dikobarkan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini harus terus diteladani. Kita, anak muda, sebagai penerus bangsa menanggung beban untuk meneruskan perjuangan mereka. Karena ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT) terhadap bangsa kita senantiasa mengintai, bahkan semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi.
Karena itu, tugas kita sekarang adalah memastikan tidak ada yang berani atau bisa mengusik kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Segala upaya harus kita lakukan sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu kita.
Mengacu pada pengalaman para pendiri bangsa, memperkuat literasi untuk meninggikan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman sosial budaya, saat ini mutlak dibutuhkan sebagai modalitas dasar. Intinya, kita harus mempunyai pengetahuan yang utuh tentang Indonesia, seperti disinggung di atas. Penguasaan informasi yang komprehensif ini akan mendorong adanya partisipasi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama di era media sosial saat ini, yang sering kali melahirkan individu-individu yang terbiasa monolog bahkan cenderung narsistik, hanya mau bercakap-cakap dengan mereka-mereka yang dianggap satu pandangan, tanpa bersedia untuk membuka diri terbiasa dengan dialog, di mana percakapan dibangun dengan pandangan yang heterogen.
Era Clicktivism
Meminjam kajian Merlyna Lim, seorang peneliti dari Arizona State University, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), sebuah isu bisa menjadi viral (online) yang kemudian menjadi gerakan (offline) setidaknya light package (dapat dipahami tanpa refleksi mendalam), headline appetite (hanya membutuhkan perhatian kecil dan percakapan satu arah alias monolog), dan trailer vision (cerita sensasional, sederhana atau disederhanakan).
Selain itu pula, isu tersebut berisiko rendah dan sejalan dengan metanarasi ideologis, seperti nasionalisme dan religiusitas.
Inilah kunci kesuksesan isu Coin for Prita (Prita Mulyasari Vs RS Omni International) dan Cicak vs Buaya (Bibit-Chandra kontra Susno Duadji). Padahal, ada banyak kasus lainnya ketika itu, seperti kasus Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo tapi tidak viral dan menjadi sebuah gerakan.
Itu pun dalam kasus Cicak vs Buaya, hanya lima ribu orang yang turun aksi ke jalan. Padahal, lebih dari sejuta Facebooker yang mendukung Bibit-Samad.
Rendahnya literasi digital ini acap kali membuat keriuhan di medsos tidak mendorong pada peningkatan partisipasi politik. Istilah-istilah slacktivism, clicktivism, armchair activism dan keyboard activism merujuk pada kondisi tersebut. Merasa menjadi hero hanya sekadar mengunggah, membagikan, menyukai, mengomentari, dan menandatangani petisi online tanpa disertai aksi nyata. Fenomena berisik tanpa gerak, bahkan tanpa disertai dengan dialektika intelektual dan hanya diisi ejekan dan makian ala sosmed telah menjadi fenomena baru abad ini. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah anak muda saat ini adalah bagaimana meninggikan literasi untuk kembali menghidupkan tradisi dialektika intelektual.