Membangun Reputasi IDI sebagai Organisasi Profesi Dokter

Kamis, 17 Desember 2020 - 05:10 WIB
loading...
Membangun Reputasi IDI sebagai Organisasi Profesi Dokter
Zaenal Abidin (Foto: Istimewa)
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012-2015) dan Anggota Panitia Pengarah Rakernas IDI 2020

RAPAT Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) direncanakan berlangsung pada 18–20 Desember 2020 dengan tema: “Peran strategis IDI dalam Membangun Kemandirian dan Meningkatkan Ketahanan Bangsa”. Tema ini menarik, namun hanya dapat dicapai bila IDI dibangun dan diperkukuh terlebih dulu. Bila IDI sendiri belum mandiri tentu tidak dapat berperan maksimal sesuai tema tersebut. Setelah IDI kukuh dan menyusun agenda-agenda strategis barulah mampu melaksanakan agenda strategisnya secara maksimal.

Dalam beberapa kali rapat penyiapan rekomendasi di adhoc F, acap kali muncul wacana “membangun reputasi IDI”. Reputasi dikaitkan dengan kondisi kekinian, seperti kemajuan teknologi, liberalisasi kesehatan, jaminan kesehatan nasional, regulasi sering berubah dan seterusnya. Terlebih lagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang meminta perhatian IDI. Karena itu, penulis beranggapan bahwa saat ini IDI sedang menghadapi masalah yang cukup kompleks yang bernama reputasi. Reputasi dalam arti perbuatan yang menjadi sebab mendapatkan nama baik.

Profesi dan Organisasi Profesi
Banyak yang menganggap profesi (profession) dan okupasi (occupation) sama saja. Memang keduanya sama-sama menunjuk kepada suatu pekerjaan yang dapat dipergunakan mencari nafkah, namun keduanya amat berbeda. Azrul Azwar (1990), mengatakan bahwa profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of knowledge sebagai dasar perkembangan teori yang sistematis, menghadapi banyak tantangan sehingga membutuhkan latihan yang cukup lama, memiliki kode etik, serta orientasi utamanya memberikan pelayanan. Paul F Camenisch (1983) mengatakan, profesi adalah suatu moral community yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Artinya, profesi itu bukanlah sembarang pekerjaan.

Former (1981), telah mengembangkan ciri-ciri profesi kesehatan, sebagai menjadi : 1) Pekerjaannya merupakan sumber pendapatan utama dan purna waktu. 2) Memandang profesinya sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. 3) Dapat dibedakan dari pekerjaan lain karena memiliki ciri khusus yang sama dikenal. 4) Menggabungkan diri dengan sesama sejawat karena kesamaan cita-cita, bukan karena uang/keuntungan. 5) Memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil pendidikan cukup lama. 6) Menyelenggarakan pekerjaannya bukan karena motivasi uang. 7) Menyelenggarakan pekerjaannya atas dasar keputusan sendiri secara otonom.

Jika orang-orang profesional bergabung dan membentuk suatu organisasi maka organisasinya disebut organisasi profesi. Manfaat organisasi profesi antara lain menyatukan pendapat para anggota, memajukan profesi, memperluas bidang gerak profesi, memberikan kesempatan kepada anggota untuk berkarya, serta membuat pengaturan terhadap profesinya sendiri. Orang yang bergabung dalam profesi diharapkan mampu mengatur, mendisiplinkan, dan mengangkat diri sendiri. Karenanya dalam satu negara hanya ada satu organisasi profesi untuk satu profesi.

Penguatan IDI
Kalau urusan menyusun buku manual organisasi, biasanya IDI jagonya. Masalah kadang muncul dari aspek kelembagaan, kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang tidak merata, dan aspek pendanaan yang tidak mencukupi.

Bila diibaratkan mobil maka kelembagaan organisasi IDI meliputi body, mesin, roda, lampu dll. Kepemimpinan dan pemimpin adalah orang yang mengendalikan mobil. Sementara dana atau pendanaan adalah bahan bakarnya. Ketiga komponen ini harus berada dalam kondisi prima barulah mobil bernama IDI tampak elok dan mampu melaju cepat ke arah tujuan, membawa anggotanya menuju medan pengabdian melayani masyarakat.

Penguatan Kelembagaan
Pembentukan organisasi profesi selalu mengedepankan pentingnya independensi dan otonomi, serta mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebagai salah satu pilar pokok pembangunan kesehatan, IDI perlu mengembangkan diri menjadi kelompok pencerah atau agen pembaharu. Mengadvokasi penentu kebijakan agar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan mengutamakan manfaat dan keadilan bagi masyarakat.

Di tingkat PB IDI, hendaknya memaksimalkan fungsi “Tiga Serangkai Pimpinan” PB IDI, yakni Ketua Umum (President), Ketua Terpilih (President Elect), dan Ketua Purna (Immediate Past President). Word Medical Association (WMA) maupun Confederation of Medical Association in Asia and Oceania (CMAAO) menempatkan ketiganya sebagai “Presidium”, yang dapat mewakili organisasi secara resmi. Hal lain yang menarik dari WMA dan CMAAO adalah memaksimalkan fungsi General-Secretary untuk memegang posisi sangat penting sebagai Chief Executive untuk semua kegiatan organisai. Sebagai anggota aktif WMA dan CMAAO, tidak ada salahnya IDI mengadopsi mekanisme yang diterapkan organisasi kedokteran tersebut.

IDI perlu memperkuat fungsi dan tugas majelis-majelis, baik MKEK, MKKI, dan MPPK. Selanjutnya mengoptimalkan forum koordinasi antara sesama majelis dan antara majelis-majelis dan kepengurusan IDI sesuai tingkatannya. Untuk tingkat pusat, tentu saja PB IDI terutama Tiga Serangkai Pimpinan PB IDI sangat perlu mengetahui secara spesifik tentang Etik dari MKEK, pendidikan dan MKKI, serta pelayanan dari MPPK.

Terakhir, perlu merumuskan nilai tambah baru yang kelak menjadi kekuatan IDI, yang dapat menjadi sebab ia patut diperhitungkan oleh berbagai pihak. Misalnya IDI memiliki data atau akses data terkait dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia, fasilitas layanan kesehatan, data penyakit, data status gizi, dll. Dengan memiliki data atau akses data, maka IDI mampu menyusun suatu kebijakan organisasi yang baik, menyusun proyeksi kesehatan dengan tepat, serta menyusun konsep advokasi untuk memperjuangkan kepentingan profesi dan masyarakat.

Penguatan Kepemimpinan dan Manajemen
Proses pergantian kepemimpinan IDI sangat menarik, sebab berlangsung penuh kesejawatan, demokratis, tanpa paksaan, dan bebas dari politik uang. Dalam semua tingkatan kepengurusan sudah ditetapkan bahwa anggota IDI hanya dibolehkan menduduki jabatan ketua sebanyak dua kali. Tentu sangat baik sebab akan memberi kesempatan kepada anggota yang lain untuk memimpin pada masa berikutnya.

Di tingkat PB IDI ada hal unik, yang boleh jadi tidak ditemukan di organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi politik, yakni pemilihan President Elect di muktamar. Jadi, pada muktamar tidak ada pemilihan ketua umum PB IDI, sebab sudah terpilih pada muktamar sebelumnya. Banyak hikmah di balik sistem ini, misalnya bila ada riak-riak karena perbedaan dukungan saat pemilihan President Elect tiga tahun sebelumnya boleh dikatakan sudah reda ketika akan dikukuhkan menjadi ketua umum. Meski tidak bisa dimungkiri, keberadaan sistem President Elect akan menjadikan seorang petahana mengurungkan niat untuk mencalonkan diri kembali, sebab berarti ia harus siap menjadi President Elect untuk kedua kalinya. Setidaknya sistem ini mempercepat lahirnya pemimpin baru. Soetomo dalam buku, “Kenang-Kenangan Dokter Soetomo”, mengatakan:“Pemimpin yang berhasil dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang menghasilkan pemimpin baru…”

Bila President Elect dan Ketua Purna difungsikan dengan baik seperti WMA dan CMAAO maka sejak seseorang terpilih menjadi President Elect ia sudah harus bersiap-siap menjadi pengurus inti PB IDI selama tiga periode (sembilan tahun). Waktu mengabdi dan menjadi pucuk pimpinan yang cukup lama. Hanya saja, pembagian tugasnya perlu diatur dengan baik agar ketiganya berfungsi efektif dan efisien.

Sistem President Elect sering dimaknai sebagai masa belajar atau menyiapkan diri untuk menjadi ketua umum. Sebagian orang kurang setuju argumentasi ini. Alasannya, ketika seseorang sudah terpilih sebagai President Elect berarti sudah siap dan mumpuni untuk menjadi pemimpin. Tidak perlu lagi ada proses belajar dan penyiapan diri. Pandangan ini sah saja, meski berbeda dengan pendapat Rick Waren yang mengatakan, “Begitu Anda berhenti belajar, Anda tidak lagi menjadi pemimpin.”

Pada masa mendatang, IDI dapat menjadi ladang subur untuk bersemainya calon pemimpin bangsa. Untuk menjadi tempat bersemai calon pemimpin bangsa, IDI sudah seharusnya membentuk institusi pelatihan kepemimpinan. “Sekolah Kepemimpinan dan Manajemen Dokter Indonesia”.

Penguatan Pendanaan
Sumber dana dari iuran 200.000 dokter, usaha, dan donasi, masih kurang memadai. Padahal untuk menggerakkan IDI sebagai organisasi modern butuh sumber daya manusia profesional serta sarana dan prasarana pendukung. Produk dan layanan IDI pun belum mampu menggerakkan berbagai pihak untuk mengeluarkan dana signifikan kepada IDI. Sumber lain yang perlu dicoba adalah fundrainsing dan dana abadi,yang dikelola secara transparan dan akuntabel serta mengembangkan institusi pelatihan yang berpotensi mendatangkan dana. Seperti pelatihan kepemimpinan dan manajemen, entrepreunership, pengelolaan klinik dan praktik mandiri, dan pelatihan lain sesuai kebutuhan.

Catatan Akhir
Reputasi IDI memang harus dibangun agar menjadi organisasi tepercaya dan disegani. Reputasi dibangun di atas fondasi lapis lima, yang merupakan ciri dari profesi dokter, yakni keilmuan/keahlian (expertise), bertanggung jawab (responsibility), kesejawatan (corporateness), etis (ethics), dan orientasi utama pelayanan kepada masyarakat. IDI harus menjadi tempat berhimpun yang nyaman bagi para pemegang jabatan mulia, “officium nobile”. Setelah itu, mengembangkan peran strategisnya dalam membangun kemandirian dan ketahanan bangsa melalui tiga pilar penyangga utama, yakni kelembagaan, kepemimpinan dan manajemen, serta pendanaan organisasi.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1224 seconds (0.1#10.140)