Akademisi Nilai RUU Perlindungan Data Pribadi Belum Sentuh Pemulihan Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Era digitalisasi atau pesatnya kemajuan teknologi digital semakin memudahkan proses transfer data, termasuk yang berkaitan identitas pribadi penduduk, sosial, dan lainnya. Dalam konteks nasional, negara berkewajiban mengumpulkan data serta untuk melengkapi identitas data digital warganya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, kelengkapan data digital itu menjadi salah satu isu penting yang menjadi pekerjaan pemerintah pusat hingga daerah. Menurutnya, data-data yang tidak terekam itu sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh akan beragam layanan terhadap masyarakat.
“Identitas data digital harus dilengkapi dan itu menjadi tanggung jawab negara karena itu akan berpengaruh terhadap layanan kepada masyarakat marjinal,” papar Sri dalam diskusi bertajuk Identitas Digital di Indonesia: Mengakhiri atau Melanggengkan Diskriminasi? yang digelar secara virtual, Jumat (4/12/2020).
Isu lainnya, lanjut Sri, yaitu identitas data dalam konteks kepentingan individu. Ini berkaitan dengan transaksi pribadi, berkomunikasi atau interaksi, aktivitas lainnya. Ia menilai pentingnya identitas digital tidak akan bisa dipahami banyak orang jika tidak diikuti dengan literasi digital.
“Ini menjadi kewajiban negara juga dan tanggung jawab semua pihak untuk melakukan literasi digital karena kehidupan digital tidak bisa dihindari, tetapi berdampak kalau kita tidak paham apa konsekuensinya ketika data kita diambil pihak lain,” ujarnya. (Baca: Dijemput Paksa KPK, Eks Direktur PT Garuda Indonesia Dijebloskan ke Penjara)
Sri menilai perlu kajian lebih mendalam mengenai segala bentuk pelanggaran privasi. Dengan begitu, kajian itu bisa menjadi dorongan bagi negara untuk melindungi warganya untuk menjadi hak atas privasi. Memang saat ini ada sejumlah ketentuan kewajiban negara dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang tengah dibahas di DPR. Termasuk di dalamnya terakit ketentuan sanksi pidana dan denda bagi pelanggar.
Namun, menurut dia, hal itu dirasakan belum cukup karena tidak adanya orientasi terhadap pemulihan terhadap korban. Padahal, selain data pribadi yang sudah dicuri atau diambil pihak lain, ada juga korban yang mendapatkan teror.
“Pemulihan korbannya tidak tercermin di dalam RUU tersebut menurut bacaan saya. Kalau kita punya kajian-kajian detail, akan membantu mendorong perbaikan terhadap draf tersebut agar mempertimbangkan dampak dari pelanggaran privasi, baik terhadap publik maupun privat tetapi berdimensi ekonomi,” tandasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, kelengkapan data digital itu menjadi salah satu isu penting yang menjadi pekerjaan pemerintah pusat hingga daerah. Menurutnya, data-data yang tidak terekam itu sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh akan beragam layanan terhadap masyarakat.
“Identitas data digital harus dilengkapi dan itu menjadi tanggung jawab negara karena itu akan berpengaruh terhadap layanan kepada masyarakat marjinal,” papar Sri dalam diskusi bertajuk Identitas Digital di Indonesia: Mengakhiri atau Melanggengkan Diskriminasi? yang digelar secara virtual, Jumat (4/12/2020).
Isu lainnya, lanjut Sri, yaitu identitas data dalam konteks kepentingan individu. Ini berkaitan dengan transaksi pribadi, berkomunikasi atau interaksi, aktivitas lainnya. Ia menilai pentingnya identitas digital tidak akan bisa dipahami banyak orang jika tidak diikuti dengan literasi digital.
“Ini menjadi kewajiban negara juga dan tanggung jawab semua pihak untuk melakukan literasi digital karena kehidupan digital tidak bisa dihindari, tetapi berdampak kalau kita tidak paham apa konsekuensinya ketika data kita diambil pihak lain,” ujarnya. (Baca: Dijemput Paksa KPK, Eks Direktur PT Garuda Indonesia Dijebloskan ke Penjara)
Sri menilai perlu kajian lebih mendalam mengenai segala bentuk pelanggaran privasi. Dengan begitu, kajian itu bisa menjadi dorongan bagi negara untuk melindungi warganya untuk menjadi hak atas privasi. Memang saat ini ada sejumlah ketentuan kewajiban negara dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang tengah dibahas di DPR. Termasuk di dalamnya terakit ketentuan sanksi pidana dan denda bagi pelanggar.
Namun, menurut dia, hal itu dirasakan belum cukup karena tidak adanya orientasi terhadap pemulihan terhadap korban. Padahal, selain data pribadi yang sudah dicuri atau diambil pihak lain, ada juga korban yang mendapatkan teror.
“Pemulihan korbannya tidak tercermin di dalam RUU tersebut menurut bacaan saya. Kalau kita punya kajian-kajian detail, akan membantu mendorong perbaikan terhadap draf tersebut agar mempertimbangkan dampak dari pelanggaran privasi, baik terhadap publik maupun privat tetapi berdimensi ekonomi,” tandasnya.
(hab)