Peran Strategis Kader NU Kembalikan Kejayaan PPP

Jum'at, 04 Desember 2020 - 15:03 WIB
loading...
A A A
Meskipun fusi partai ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan identitas komponen-komponennya, dan sejarah PPP berikutnya ditandai oleh konflik-konflik antara keempat komponen ini dalam pembagian jatah kursi dan kue kekuasaan. Faktanya konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan.

Namun demikian, hal ini tidak begitu saja menyurutkan NU dalam mengambil gelanggang politik di PPP. Karena pada saat yang sama, para pimpinan dan politisi NU memanfaatkan situasi yang ada dengan menggunakan PPP sebagai kendaraan politik dalam melakukan perlawanan terhadap Golkar dan pemerintahan Soeharto dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.

Konfrontasi serius dengan pemerintah pernah beberapa kali terjadi terutama pada saat-saat menghadapi pemilu. Seperti pada Pemilu 1971, kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara kekuatan politik Islam dan rezim Orde Baru (Liddle, 1978).

Pihak militer dan penguasa sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal dan berani. Para juru kampanye PPP diancam dan bahkan diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok yang disponsori Golkar.

Sisi lain yang menjadi nilai positif dalam posisi peminggiran peran politik NU oleh Orde Baru adalah bahwa harus diakui PPP menjadi wadah dan sarana efektif dalam proses ideologisasi serta kaderisasi politik warga NU. Melalui peran politik di PPP banyak kader-kader NU baik yang berlatar belakang pesantren maupun pendidikan umum bisa “melek politik” serta berani memasuki gelanggang politik menjadi oposisi pemerintahan, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas.

Memasuki masa reformasi, di saat euforia politik mengilhami lahirnya banyak partai politik baru termasuk yang beraliran ideologi keagamaan, semula terasa menjadi ancaman serius bagi PPP. Alasannya sebagian besar dari komponen utama fusi dan penyokong suara PPP selama ini terlibat dalam pendirian partai baru.

NU memfasilitasi kelahiran PKB, Muhammadiyah melahirkan PAN. Belum lagi para tokoh yang melahirkan partai lain seperti PNU, PKU dan sebagainya.

Namun ternyata, jajaran kepengurusan PPP yang sudah tersebar di seluruh penjuru tanah air masih banyak yang menunjukkan loyalitasnya untuk tidak berpindah ke lain hati. Walhasil Pemilu 1999, pesta demokrasi pertama di era reformasi perolehan PPP masih menempati urutan ketiga secara nasional.

Prestasi ini, tidak terlepas dari istiqomahnya para fungsionaris PPP di seluruh Indonesia, utamanya para kader NU yang bahkan saat itu posisi puncak Ketua Umum PPP dipercayakan kepada kader NU, yaitu Dr. Hamzah Haz yang selanjutnya mengantarkannya menjadi wakil presiden. Posisi ini termasuk yang oleh pengamat dianggap efektif membendung perpindahan sebagian kader dan pemilih nahdliyin dari PPP ke partai lain.

Untuk masa-masa selanjutnya kader-kader NU selalu mendominasi dalam dinamika politik di PPP dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Basis-basis massa Nahdliyin juga masih menjadi pendulang utama suara dan kursi PPP.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1181 seconds (0.1#10.140)