Peran Strategis Kader NU Kembalikan Kejayaan PPP
loading...
A
A
A
Drs Maman Fatchurohman
Kader NU dan Kader PPP Jawa Tengah
Mantan Anggota FPP DPRD Kota Semarang
Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, tidak bisa dilepaskan dengan upaya Pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai mempraktikkan kehidupan politik yang hegemonik dan represif. Di antara langkah paling mendasar adalah memaksa partai-partai bergabung satu sama lain.
Seluruh partai Islam dipaksa bergabung menjadi PPP, serta partai nasionalis dan Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. PPP merupakan hasil fusi politik Partai Nahdlatul Ulama (NU ), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
PPP penerus estafet empat partai Islam dan wadah penyelamat aspirasi umat Islam, serta cermin kesadaran dan tanggungjawab tokoh-tokoh umat Islam dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu-membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui perjuangan politik.
Perjalanan PPP dari lahir hingga saat ini penuh dengan dinamika yang membuat lika-liku PPP dalam mengikuti kontestasi politik dari pemilu ke pemilu. Perjalanan panjang dan dinamika politik yang muncul sudah barang tentu memberikan warna dan pelajaran tersendiri bagi PPP dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul baik internal maupun eksternal.
PPP juga telah melalui berbagai masa uji dalam upaya mengembangkan sayap dan pengaruhnya untuk tetap dapat eksis dalam percaturan perpolitikan di Indonesia. Prestasi yang ditorehkan utamanya dalam perolehan suara dan kursi kekuasaan (legislatif dan eksekutif) juga mengalami pasang surut mengikuti dinamika politik yang terjadi.
Sebagai salah satu partai yang memiliki sejarah paling panjang dibandingkan partai-partai politik Islam yang lain, PPP memiliki keunggulan modal dasar perjuangan, yaitu latar belakang historis sebagai fusi politik penerus perjuangan empat partai Islam. Fusi ini tidak hanya menjadi dokumen historis, tapi juga merupakan kekuatan strategis yang tetap aktual untuk menyatukan sikap perjuangan politik umat.
Sebagai partai hasil fusi, juga tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi, posisi dan peran serta perkembangan PPP tidak bisa dilepaskan dari asal mula komponen yang telah membentuknya. Tanpa menafikan komponen yang lain, pada kesempatan ini penulis akan mengupas secara khusus mengenai dinamika perjalanan hubungan PPP dengan salah satu partai pembentuknya yang memiliki kontribusi dan saham terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Kontribusi dan saham terbesar yang diberikan NU kepada PPP tidak semata-mata berupa perolehan suara yang dikumpulkan PPP dari lumbung-lumbung basis massa NU. Akan tetapi secara politik juga bisa ditelusuri dari betapa besarnya “pengorbanan politik” NU ketika suka tidak suka, mau tidak mau harus bergabung dengan partai lain yang memiliki basis massa yang lebih kecil.
Dibutuhkan kebesaran jiwa dan keteguhan sikap politik untuk mau duduk dalam posisi setara dalam satu wadah. Bahkan dalam dinamika perjalanan politik di PPP, baik secara langsung maupun tidak langsung juga tidak luput dari “skenario” rezim Orde Baru untuk melakukan proses “peminggiran” terhadap posisi dan peran politik NU.
Meskipun fusi partai ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan identitas komponen-komponennya, dan sejarah PPP berikutnya ditandai oleh konflik-konflik antara keempat komponen ini dalam pembagian jatah kursi dan kue kekuasaan. Faktanya konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan.
Namun demikian, hal ini tidak begitu saja menyurutkan NU dalam mengambil gelanggang politik di PPP. Karena pada saat yang sama, para pimpinan dan politisi NU memanfaatkan situasi yang ada dengan menggunakan PPP sebagai kendaraan politik dalam melakukan perlawanan terhadap Golkar dan pemerintahan Soeharto dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Konfrontasi serius dengan pemerintah pernah beberapa kali terjadi terutama pada saat-saat menghadapi pemilu. Seperti pada Pemilu 1971, kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara kekuatan politik Islam dan rezim Orde Baru (Liddle, 1978).
Pihak militer dan penguasa sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal dan berani. Para juru kampanye PPP diancam dan bahkan diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok yang disponsori Golkar.
Sisi lain yang menjadi nilai positif dalam posisi peminggiran peran politik NU oleh Orde Baru adalah bahwa harus diakui PPP menjadi wadah dan sarana efektif dalam proses ideologisasi serta kaderisasi politik warga NU. Melalui peran politik di PPP banyak kader-kader NU baik yang berlatar belakang pesantren maupun pendidikan umum bisa “melek politik” serta berani memasuki gelanggang politik menjadi oposisi pemerintahan, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas.
Memasuki masa reformasi, di saat euforia politik mengilhami lahirnya banyak partai politik baru termasuk yang beraliran ideologi keagamaan, semula terasa menjadi ancaman serius bagi PPP. Alasannya sebagian besar dari komponen utama fusi dan penyokong suara PPP selama ini terlibat dalam pendirian partai baru.
NU memfasilitasi kelahiran PKB, Muhammadiyah melahirkan PAN. Belum lagi para tokoh yang melahirkan partai lain seperti PNU, PKU dan sebagainya.
Namun ternyata, jajaran kepengurusan PPP yang sudah tersebar di seluruh penjuru tanah air masih banyak yang menunjukkan loyalitasnya untuk tidak berpindah ke lain hati. Walhasil Pemilu 1999, pesta demokrasi pertama di era reformasi perolehan PPP masih menempati urutan ketiga secara nasional.
Prestasi ini, tidak terlepas dari istiqomahnya para fungsionaris PPP di seluruh Indonesia, utamanya para kader NU yang bahkan saat itu posisi puncak Ketua Umum PPP dipercayakan kepada kader NU, yaitu Dr. Hamzah Haz yang selanjutnya mengantarkannya menjadi wakil presiden. Posisi ini termasuk yang oleh pengamat dianggap efektif membendung perpindahan sebagian kader dan pemilih nahdliyin dari PPP ke partai lain.
Untuk masa-masa selanjutnya kader-kader NU selalu mendominasi dalam dinamika politik di PPP dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Basis-basis massa Nahdliyin juga masih menjadi pendulang utama suara dan kursi PPP.
Yang tidak kalah penting adalah tampilnya sesepuh PPP sebagai figur sentral yang menjadi tokoh besar nasional yang memiliki pengaruh luas di masyarakat seperti almarhum KH Maimoen Zubair (Mbah Moen). Beliau menjadi perekat dan penyelamat di saat PPP mengalami ujian perpecahan.
Benang Merah PPP dan NU
Jati diri, visi, dan prinsip perjuangan PPP tegak lurus dengan NU. Dengan melihat benang merah PPP dan NU, tidak bisa dilepaskan begitu saja PPP dari NU. Selain karena ikatan historis dan kultural maka ada ikatan tanggung jawab yang sama untuk saling bersinergi dalam upaya mewujudkan tujuan mulia.
Karena NU bukan merupakan lembaga politik praktis, maka tidak salah jika menyerahkan sebagian aspirasi politiknya kepada partai yang memiliki hubungan sejarah serta kesamaan paradigma keagamaan dan kebangsaan. PPP memiliki basis ikatan yang kuat untuk tidak lari menjauh dari amanah perjuangan NU.
Kejayaan PPP sedikit banyak pasti akan merepresentasikan kejayaan NU. Oleh karena itu, bisa dikatakan dalam tanggung jawab NU ada tanggung jawab PPP, begitu sebaliknya. Sehingga adanya kebutuhan tampilnya pelaku atau aktor dalam posisi dan peran yang sama menjadi sebuah keniscayaan.
Kader NU menjadi kader PPP atau sebaliknya. Dengan kata lain, terhadap eksistensi dan kejayaan PPP di negeri ini ada sebagian yang mengharuskan menuntut tanggung jawab kader-kader NU.
Merebut Kembali Simpati Basis Kaum Santri
Keberadaan kader-kader NU dalam posisi dan perannya untuk mengembalikan kejayaan PPP tidak lain tidak bukan adalah untuk mengambil posisi kepemimpinan dalam upaya mengatasi permasalahan serta tantangan yang dihadapi PPP hari ini dan masa yang akan datang. Permasalahan yang ada hari ini adalah perjalanan sejarah konflik yang terjadi di internal PPP.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang ada di tubuh PPP telah dirasakan di semua lapisan struktur dari pusat sampai ke basis. Diakui atau tidak dengan adanya konflik yang mulanya terjadi di tingkat DPP telah berakibat pada melemahnya dukungan dari berbagai komponen yang berujung pada tergerusnya basis suara PPP dalam pemilu 2019.
Penurunan suara PPP tahun 2019 diikuti dengan penurunan perolehan kursi baik di pusat maupun di daerah. Melemahnya suara PPP sebetulnya sudah banyak diprediksi oleh para pengamat dan lembaga survei. Bahkan sebelum pemilu digelar sebagian ada yang meramalkan bahwa PPP tidak akan bisa memenuhi electoral threshold.
Alhamdulillah, ramalan tersebut meleset tidak sepenuhnya terjadi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa PPP masih bisa bertahan, kendati telah mengalami penurunan perolehan suara yang signifikan? Jawabannya, karena PPP masih memiliki basis pendukung setia (die hard voters) dari massa tradisional yang fanatic dan loyal dengan pengurus yang masih setia di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian ke mana larinya sebagian suara PPP? Di antaranya karena pemilih banyak yang telah memutuskan mencoba pilihan pada partai lain yang bahkan tidak memiliki kesamaan ideologi dengan PPP sekalipun, karena telah masuk dalam arus rasionalisme atupun pragmatisme politik. Banyak fakta bahwa pola hubungan politik terjadi dalam ikatan jangka pendek baik dengan menggunakan instrumen uang (money politics), jasa atau kepentingan politik sesaat.
Jadi tantangan dan persaingan yang dihadapi oleh PPP semakin hari semakin berat seperti deideologisasi, rasionalisme dan pragmatisme pemilih serta persaingan dalam penguasaan media komunikasi massa serta keterbatasan sumber pendanaan. Oleh karena itu PPP harus mengantisipasi dengan berbagai program percepatan (advanced planning) yang bisa menjawab tantangan tersebut melalui langkah-langkah transformasi PPP menuju parpol modern melalui rekonsolidasi, kaderisasi, modernisasi dan pengembangan narasi branding partai yang efektif.
Langkah rekonsolidasi mutlak diperlukan melalui upaya serius merapatkan barisan semua komponen partai serta menutup gejala dan potensi konflik, menciptakan stabilitas organisasi dan mengembangkan relasi structural yang sehat. Saat ini dengan situasi kondisi yang ada, PPP telah menemukan momentumnya untuk melakukan rekonsolidasi.
Pada saat yang sama kaderisasi adalah salah satu jawaban dan merupakan kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan secara serius, massif, dan sistemik oleh PPP. Bagi PPP kaderisasi memiliki arti penting setidaknya sebagai upaya pendidikan dan ideologisasi politik yang merupakan tanggung jawab PPP sebagai bagian dari komponen masyarakat politik sekaligus ajang dalam menyiapkan calon pemimpin untuk regenerasi politik.
Sedayung bersambut modernisasi infrastruktur dan suprastruktur partai menjadi keniscayaan dalam menghadapi era perkembangan jaman yang serba digital. Organisasi politik sebagai mesin utama harus diaktifkan dengan pendekatan profesionalisme dengan ditunjang perangkat system manajemen dan teknologi yang memadahi. Mengenai keterbatasan dukungan pendanaan, PPP harus melakukan upaya-upaya kreatif fund rising dengan mengoptimalkan kekuatan jaringan yang telah terbangun selama ini.
Pola komunikasi massa yang selama ini berjalan satu arah menggunakan media konvensional harus diubah mengikuti perkembangan media social yang semakin massif dan canggih. Dengan didukung oleh sistem produksi gagasan dan ide yang selalu up to date pengembangan narasi dan konten branding partai harus terus digelorakan sepanjang waktu.
Perubahan demografi pemilih yang makin didominasi kaum muda, membuat strategi, program, maupun komunikasi partai harus beradaptasi. Apalagi, ada harapan besar pada generasi muda, bahwa parpol-parpol besar ke depannya memberikan ruang semakin besar dan strategis bagi kaum muda. Dan bagi PPP yang paling relevan adalah upaya serius menggarap segmen kaum santri.
Mengapa kaum santri, karena sebagian besar dikalangan pemilih santri tradisional, tolak ukur untuk menentukan pilihan politik partai tidak semata pada platform partai melainkan pada siapa tokoh yang duduk di partai itu. Hal ini merupakan bagian dari tradisi di kalangan NU yang menjadikan pemimpin agama (dalam hal ini ulama/kyai) sebagai panutan.
Tidak hanya untuk urusan keagamaan dan kehidupan sosial, namun juga untuk urusan politik ulama menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik mereka. Karena hal ini lebih baik dan bermartabat jika dibandingkan dengan pragmatisme politik yang cenderung transaksional dengan catatan bahwa santri tidak semata dijadikan sebagai objek politik untuk dimobilisasi suaranya saja tanpa ada upaya pendidikan politik dan pemberdayaan aspirasi politiknya.
Lebih dari itu PPP harus terus meningkatkan sikap keberpihakan yang nyata kepada santri dan pesantren melalui perjuangan kebijakan dan implementasi program-programnya.
Potensi besar yang dimiliki PPP saat ini untuk menggalang kekuatan pada segmen kaum santri adalah dengan upaya membangkitkan spirit dan nama besar almarhum Mbah Moen sebagai figur inspirator panutan santri yang telah memiliki nama besar dalam percaturan politik kebangsaan di tanah air.
Ketokohan Mbah Moen tidak hanya diakui oleh generasi tua saja tapi juga telah terbukti menjadi panutan hingga melampaui jamannya, karena pengaruhnya telah dapat beradaptasi dengan generasi masa kini (millennial). Sebagaimana partai lain yang telah memiliki figur rujukan atau inspirator.
PPP bisa terus memanfaatkan ketokohan beliau sebagai perekat senyawa dalam mengkonsolidasikan persamaan spirit, pemikiran dan sikap politik santri. PPP harus percaya diri menampilkan sosok inspiratifnya sebagai referensi dalam memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya. Setidaknya bisa digunakan sebagai benteng terakhir untuk menanggulangi perpecahan internal kembali terjadi di tubuh PPP. Wasallam
Kader NU dan Kader PPP Jawa Tengah
Mantan Anggota FPP DPRD Kota Semarang
Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, tidak bisa dilepaskan dengan upaya Pemerintahan Orde Baru (melalui rancangan Ali Moertopo) mulai mempraktikkan kehidupan politik yang hegemonik dan represif. Di antara langkah paling mendasar adalah memaksa partai-partai bergabung satu sama lain.
Seluruh partai Islam dipaksa bergabung menjadi PPP, serta partai nasionalis dan Kristen digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. PPP merupakan hasil fusi politik Partai Nahdlatul Ulama (NU ), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
PPP penerus estafet empat partai Islam dan wadah penyelamat aspirasi umat Islam, serta cermin kesadaran dan tanggungjawab tokoh-tokoh umat Islam dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu-membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui perjuangan politik.
Perjalanan PPP dari lahir hingga saat ini penuh dengan dinamika yang membuat lika-liku PPP dalam mengikuti kontestasi politik dari pemilu ke pemilu. Perjalanan panjang dan dinamika politik yang muncul sudah barang tentu memberikan warna dan pelajaran tersendiri bagi PPP dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul baik internal maupun eksternal.
PPP juga telah melalui berbagai masa uji dalam upaya mengembangkan sayap dan pengaruhnya untuk tetap dapat eksis dalam percaturan perpolitikan di Indonesia. Prestasi yang ditorehkan utamanya dalam perolehan suara dan kursi kekuasaan (legislatif dan eksekutif) juga mengalami pasang surut mengikuti dinamika politik yang terjadi.
Sebagai salah satu partai yang memiliki sejarah paling panjang dibandingkan partai-partai politik Islam yang lain, PPP memiliki keunggulan modal dasar perjuangan, yaitu latar belakang historis sebagai fusi politik penerus perjuangan empat partai Islam. Fusi ini tidak hanya menjadi dokumen historis, tapi juga merupakan kekuatan strategis yang tetap aktual untuk menyatukan sikap perjuangan politik umat.
Sebagai partai hasil fusi, juga tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi, posisi dan peran serta perkembangan PPP tidak bisa dilepaskan dari asal mula komponen yang telah membentuknya. Tanpa menafikan komponen yang lain, pada kesempatan ini penulis akan mengupas secara khusus mengenai dinamika perjalanan hubungan PPP dengan salah satu partai pembentuknya yang memiliki kontribusi dan saham terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Kontribusi dan saham terbesar yang diberikan NU kepada PPP tidak semata-mata berupa perolehan suara yang dikumpulkan PPP dari lumbung-lumbung basis massa NU. Akan tetapi secara politik juga bisa ditelusuri dari betapa besarnya “pengorbanan politik” NU ketika suka tidak suka, mau tidak mau harus bergabung dengan partai lain yang memiliki basis massa yang lebih kecil.
Dibutuhkan kebesaran jiwa dan keteguhan sikap politik untuk mau duduk dalam posisi setara dalam satu wadah. Bahkan dalam dinamika perjalanan politik di PPP, baik secara langsung maupun tidak langsung juga tidak luput dari “skenario” rezim Orde Baru untuk melakukan proses “peminggiran” terhadap posisi dan peran politik NU.
Meskipun fusi partai ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan identitas komponen-komponennya, dan sejarah PPP berikutnya ditandai oleh konflik-konflik antara keempat komponen ini dalam pembagian jatah kursi dan kue kekuasaan. Faktanya konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan.
Namun demikian, hal ini tidak begitu saja menyurutkan NU dalam mengambil gelanggang politik di PPP. Karena pada saat yang sama, para pimpinan dan politisi NU memanfaatkan situasi yang ada dengan menggunakan PPP sebagai kendaraan politik dalam melakukan perlawanan terhadap Golkar dan pemerintahan Soeharto dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Konfrontasi serius dengan pemerintah pernah beberapa kali terjadi terutama pada saat-saat menghadapi pemilu. Seperti pada Pemilu 1971, kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara kekuatan politik Islam dan rezim Orde Baru (Liddle, 1978).
Pihak militer dan penguasa sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal dan berani. Para juru kampanye PPP diancam dan bahkan diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok yang disponsori Golkar.
Sisi lain yang menjadi nilai positif dalam posisi peminggiran peran politik NU oleh Orde Baru adalah bahwa harus diakui PPP menjadi wadah dan sarana efektif dalam proses ideologisasi serta kaderisasi politik warga NU. Melalui peran politik di PPP banyak kader-kader NU baik yang berlatar belakang pesantren maupun pendidikan umum bisa “melek politik” serta berani memasuki gelanggang politik menjadi oposisi pemerintahan, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas.
Memasuki masa reformasi, di saat euforia politik mengilhami lahirnya banyak partai politik baru termasuk yang beraliran ideologi keagamaan, semula terasa menjadi ancaman serius bagi PPP. Alasannya sebagian besar dari komponen utama fusi dan penyokong suara PPP selama ini terlibat dalam pendirian partai baru.
NU memfasilitasi kelahiran PKB, Muhammadiyah melahirkan PAN. Belum lagi para tokoh yang melahirkan partai lain seperti PNU, PKU dan sebagainya.
Namun ternyata, jajaran kepengurusan PPP yang sudah tersebar di seluruh penjuru tanah air masih banyak yang menunjukkan loyalitasnya untuk tidak berpindah ke lain hati. Walhasil Pemilu 1999, pesta demokrasi pertama di era reformasi perolehan PPP masih menempati urutan ketiga secara nasional.
Prestasi ini, tidak terlepas dari istiqomahnya para fungsionaris PPP di seluruh Indonesia, utamanya para kader NU yang bahkan saat itu posisi puncak Ketua Umum PPP dipercayakan kepada kader NU, yaitu Dr. Hamzah Haz yang selanjutnya mengantarkannya menjadi wakil presiden. Posisi ini termasuk yang oleh pengamat dianggap efektif membendung perpindahan sebagian kader dan pemilih nahdliyin dari PPP ke partai lain.
Untuk masa-masa selanjutnya kader-kader NU selalu mendominasi dalam dinamika politik di PPP dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Basis-basis massa Nahdliyin juga masih menjadi pendulang utama suara dan kursi PPP.
Yang tidak kalah penting adalah tampilnya sesepuh PPP sebagai figur sentral yang menjadi tokoh besar nasional yang memiliki pengaruh luas di masyarakat seperti almarhum KH Maimoen Zubair (Mbah Moen). Beliau menjadi perekat dan penyelamat di saat PPP mengalami ujian perpecahan.
Benang Merah PPP dan NU
Jati diri, visi, dan prinsip perjuangan PPP tegak lurus dengan NU. Dengan melihat benang merah PPP dan NU, tidak bisa dilepaskan begitu saja PPP dari NU. Selain karena ikatan historis dan kultural maka ada ikatan tanggung jawab yang sama untuk saling bersinergi dalam upaya mewujudkan tujuan mulia.
Karena NU bukan merupakan lembaga politik praktis, maka tidak salah jika menyerahkan sebagian aspirasi politiknya kepada partai yang memiliki hubungan sejarah serta kesamaan paradigma keagamaan dan kebangsaan. PPP memiliki basis ikatan yang kuat untuk tidak lari menjauh dari amanah perjuangan NU.
Kejayaan PPP sedikit banyak pasti akan merepresentasikan kejayaan NU. Oleh karena itu, bisa dikatakan dalam tanggung jawab NU ada tanggung jawab PPP, begitu sebaliknya. Sehingga adanya kebutuhan tampilnya pelaku atau aktor dalam posisi dan peran yang sama menjadi sebuah keniscayaan.
Kader NU menjadi kader PPP atau sebaliknya. Dengan kata lain, terhadap eksistensi dan kejayaan PPP di negeri ini ada sebagian yang mengharuskan menuntut tanggung jawab kader-kader NU.
Merebut Kembali Simpati Basis Kaum Santri
Keberadaan kader-kader NU dalam posisi dan perannya untuk mengembalikan kejayaan PPP tidak lain tidak bukan adalah untuk mengambil posisi kepemimpinan dalam upaya mengatasi permasalahan serta tantangan yang dihadapi PPP hari ini dan masa yang akan datang. Permasalahan yang ada hari ini adalah perjalanan sejarah konflik yang terjadi di internal PPP.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang ada di tubuh PPP telah dirasakan di semua lapisan struktur dari pusat sampai ke basis. Diakui atau tidak dengan adanya konflik yang mulanya terjadi di tingkat DPP telah berakibat pada melemahnya dukungan dari berbagai komponen yang berujung pada tergerusnya basis suara PPP dalam pemilu 2019.
Penurunan suara PPP tahun 2019 diikuti dengan penurunan perolehan kursi baik di pusat maupun di daerah. Melemahnya suara PPP sebetulnya sudah banyak diprediksi oleh para pengamat dan lembaga survei. Bahkan sebelum pemilu digelar sebagian ada yang meramalkan bahwa PPP tidak akan bisa memenuhi electoral threshold.
Alhamdulillah, ramalan tersebut meleset tidak sepenuhnya terjadi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa PPP masih bisa bertahan, kendati telah mengalami penurunan perolehan suara yang signifikan? Jawabannya, karena PPP masih memiliki basis pendukung setia (die hard voters) dari massa tradisional yang fanatic dan loyal dengan pengurus yang masih setia di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian ke mana larinya sebagian suara PPP? Di antaranya karena pemilih banyak yang telah memutuskan mencoba pilihan pada partai lain yang bahkan tidak memiliki kesamaan ideologi dengan PPP sekalipun, karena telah masuk dalam arus rasionalisme atupun pragmatisme politik. Banyak fakta bahwa pola hubungan politik terjadi dalam ikatan jangka pendek baik dengan menggunakan instrumen uang (money politics), jasa atau kepentingan politik sesaat.
Jadi tantangan dan persaingan yang dihadapi oleh PPP semakin hari semakin berat seperti deideologisasi, rasionalisme dan pragmatisme pemilih serta persaingan dalam penguasaan media komunikasi massa serta keterbatasan sumber pendanaan. Oleh karena itu PPP harus mengantisipasi dengan berbagai program percepatan (advanced planning) yang bisa menjawab tantangan tersebut melalui langkah-langkah transformasi PPP menuju parpol modern melalui rekonsolidasi, kaderisasi, modernisasi dan pengembangan narasi branding partai yang efektif.
Langkah rekonsolidasi mutlak diperlukan melalui upaya serius merapatkan barisan semua komponen partai serta menutup gejala dan potensi konflik, menciptakan stabilitas organisasi dan mengembangkan relasi structural yang sehat. Saat ini dengan situasi kondisi yang ada, PPP telah menemukan momentumnya untuk melakukan rekonsolidasi.
Pada saat yang sama kaderisasi adalah salah satu jawaban dan merupakan kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan secara serius, massif, dan sistemik oleh PPP. Bagi PPP kaderisasi memiliki arti penting setidaknya sebagai upaya pendidikan dan ideologisasi politik yang merupakan tanggung jawab PPP sebagai bagian dari komponen masyarakat politik sekaligus ajang dalam menyiapkan calon pemimpin untuk regenerasi politik.
Sedayung bersambut modernisasi infrastruktur dan suprastruktur partai menjadi keniscayaan dalam menghadapi era perkembangan jaman yang serba digital. Organisasi politik sebagai mesin utama harus diaktifkan dengan pendekatan profesionalisme dengan ditunjang perangkat system manajemen dan teknologi yang memadahi. Mengenai keterbatasan dukungan pendanaan, PPP harus melakukan upaya-upaya kreatif fund rising dengan mengoptimalkan kekuatan jaringan yang telah terbangun selama ini.
Pola komunikasi massa yang selama ini berjalan satu arah menggunakan media konvensional harus diubah mengikuti perkembangan media social yang semakin massif dan canggih. Dengan didukung oleh sistem produksi gagasan dan ide yang selalu up to date pengembangan narasi dan konten branding partai harus terus digelorakan sepanjang waktu.
Perubahan demografi pemilih yang makin didominasi kaum muda, membuat strategi, program, maupun komunikasi partai harus beradaptasi. Apalagi, ada harapan besar pada generasi muda, bahwa parpol-parpol besar ke depannya memberikan ruang semakin besar dan strategis bagi kaum muda. Dan bagi PPP yang paling relevan adalah upaya serius menggarap segmen kaum santri.
Mengapa kaum santri, karena sebagian besar dikalangan pemilih santri tradisional, tolak ukur untuk menentukan pilihan politik partai tidak semata pada platform partai melainkan pada siapa tokoh yang duduk di partai itu. Hal ini merupakan bagian dari tradisi di kalangan NU yang menjadikan pemimpin agama (dalam hal ini ulama/kyai) sebagai panutan.
Tidak hanya untuk urusan keagamaan dan kehidupan sosial, namun juga untuk urusan politik ulama menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik mereka. Karena hal ini lebih baik dan bermartabat jika dibandingkan dengan pragmatisme politik yang cenderung transaksional dengan catatan bahwa santri tidak semata dijadikan sebagai objek politik untuk dimobilisasi suaranya saja tanpa ada upaya pendidikan politik dan pemberdayaan aspirasi politiknya.
Lebih dari itu PPP harus terus meningkatkan sikap keberpihakan yang nyata kepada santri dan pesantren melalui perjuangan kebijakan dan implementasi program-programnya.
Potensi besar yang dimiliki PPP saat ini untuk menggalang kekuatan pada segmen kaum santri adalah dengan upaya membangkitkan spirit dan nama besar almarhum Mbah Moen sebagai figur inspirator panutan santri yang telah memiliki nama besar dalam percaturan politik kebangsaan di tanah air.
Ketokohan Mbah Moen tidak hanya diakui oleh generasi tua saja tapi juga telah terbukti menjadi panutan hingga melampaui jamannya, karena pengaruhnya telah dapat beradaptasi dengan generasi masa kini (millennial). Sebagaimana partai lain yang telah memiliki figur rujukan atau inspirator.
PPP bisa terus memanfaatkan ketokohan beliau sebagai perekat senyawa dalam mengkonsolidasikan persamaan spirit, pemikiran dan sikap politik santri. PPP harus percaya diri menampilkan sosok inspiratifnya sebagai referensi dalam memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya. Setidaknya bisa digunakan sebagai benteng terakhir untuk menanggulangi perpecahan internal kembali terjadi di tubuh PPP. Wasallam
(poe)