Berharap Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Jum'at, 27 November 2020 - 08:14 WIB
loading...
Berharap Pengesahan...
Tren kekerasan seksual terus menunjukkan peningkatan. Ironisnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak kunjung disahkan. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tren kekerasan seksual terus menunjukkan peningkatan. Ironisnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak kunjung disahkan. Banyak kalangan berharap RUU PKS bisa disahkan pada 2021.

Saat ini RUU PKS menjadi salah satu usulan rancangan undang-undang yang menjadi prioritas untuk dibahas pada 2021 di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jika disepakati untuk dibahas, bukan berarti RUU PKS bakal mulus. Masih banyak kendala menghadang. Dari ketidaksepakatan antarfraksi hingga kekhawatiran RUU PKS bakal menjadi dasar legitimasi hubungan sesama jenis. Perbedaan pandangan terhadap RUU PKS ini bisa dilihat dari jejaknya di masa lalu. Sejak diusulkan pada 2016 fraksi-fraksi di DPR belum juga menemukan titik temu untuk menyepakati RUU PKS menjadi Undang-Undang PKS. (Baca: Ketika Ujian Kekurangan Harta Menerpa)

Kondisi ini memang memunculkan ironi mengingat tren kekerasan seksual terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dalam semester I 2020 saja terjadi 4.116 kasus kekerasan kepada anak Indonesia. Sebagian besar dari bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual.

Jika dirincikan ada 2.556 korban kekerasan seksual, 1.111 korban kekerasan fisik, 979 korban kekerasan psikis. Kemudian, ada 346 korban penelantaran, 73 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan 68 korban eksploitasi. Sebanyak 3.296 korban anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki. Berdasarkan data Komnas Perempuan, selama 2020 ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, 4.898 kasus adalah kekerasan seksual. Sebelumnya, dari 2011-2019 ada 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik. (Baca juga: Mendikbud: Hak untuk Guru Akan Terus Diperjuangkan)

Asnifriyanti Damanik dari LBH Apik mengatakan, korban kekerasan seksual dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkat. Bahkan kasus kekerasan seksual yang mencuat ke publik hanya seperti fenomena gunung es. Di mana yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus sebenarnya yang terjadi di masyarakat. “Saat ini dibutuhkan regulasi khusus yang mencegah kekerasan seksual, termasuk melindungi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku maupun menimbulkan ketakutan bagi para calon pelaku,” katanya.

Saat ini pasal-pasal penghapusan kekerasan seksual di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat terbatas. Dia mencontohkan kekerasan seksual di KUHP hanya mengatur tentang kasus pemerkosaan maupun pencabulan. Padahal, di lapangan kekerasan seksual tidak hanya pada dua kasus tersebut. Banyak kekerasan seksual lain seperti pelecehan, pemaksaan, hingga persekusi yang tidak diatur di dalam KUHP. “KUHP hanya mengatur tentang pemerkosaan dan pencabulan, padahal kekerasan seksual dewasa ini terus berkembang modus dan ragamnya,” ujar Asni. (Baca juga: 5 Fakta Menarik Perilaku Traveling di Liburan Akhir Tahun)

Selain terlalu sempit, penghapusan kekerasan seksual dalam KUHP akan terkendala pada beban pembuktian yang diatur dalam Kitab Acara Hukum Pidana (KUHAP). Asni mencontohkan, untuk saksi, KUHAP mensyaratkan kasus pemerkosaan harus bisa menghadirkan minimal dua saksi. Kondisi ini menyulitkan korban karena sering kali pemerkosaan dilakukan di tempat-tempat terpencil. Pun dengan bukti fisik, di mana korban harus melapor maksimal tujuh hari setelah diperkosa. “Jika lebih dari dua hari maka bekas fisik yang ditinggalkan oleh kasus pemerkosaan dianggap sebagai luka lama dan hal ini akan bermasalah dalam proses pengadilan,” katanya.

Asni menegaskan bahwa Indonesia butuh undang-undang khusus untuk menghapus kekerasan seksual. Karena itu, tidak ada alasan untuk kembali membahas dan mengesahkan RUU PKS. “Jika melihat tren peningkatan kekerasan seksual dan terbatasnya KUHP dalam mengatur kekerasan seksual, RUU PKS menjadi kebutuhan pokok yang harus ada di dalam hukum Indonesia,” katanya.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor meyakini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diusulkan sejumlah anggota DPR akan ditetapkan sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021. Dia berharap rancangan undang-undang tersebut dapat serius dibahas dan disahkan DPR dan pemerintah tahun depan.

Menurut Maria, lembaganya juga telah melakukan sejumlah lobi ke anggota DPR dan fraksi DPR untuk meloloskan rancangan undang-undang ini sebagai undang-undang. "Untuk anggota DPR pengusul, kami sudah sampaikan draf akademik maupun RUU-nya sebagai usulan Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil, akademisi sudah masuk ke anggota legislatif pengusul," ujarnya. (Lihat videonya: Satu Desa Positif Terpapar Covid-19 di Purbalingga)

Anggota Fraksi PKB DPR, Nur Nadzifah, meminta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dimasukkan dalam Prolegnas 2021. Prolegnas 2021 masih dalam pembahasan di Baleg dan rencananya akan diputuskan hari ini, Kamis, 26 November 2021. Aktivis perempuan yang akrab disapa Mba Nad ini menerangkan, penghapusan kekerasan seksual sangat penting sebagai perlindungan bagi semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan. (Dita Angga)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1293 seconds (0.1#10.140)