Pernyataan Napoleon Menyesatkan Kebenaran, Kabareskrim: Saya Tak Pernah Ragu Usut Tuntas Kasus Djoko Tjandra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo angkat bicara soal klaim terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte dalam persidangan kasus dugaan penghapusan Red Notice Djoko Tjandra .
Listyo menegaskan, sejak awal Bareskrim menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas siapapun yang terlibat dalam perkara Djoko Tjandra tersebut. Sehingga, pengusutan kasus itu tidak ada intervensi dari siapapun di internal Polri. Sebab itu, Bareskrim menetapkan dua orang jenderal polisi, yakni Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo.
(Baca Juga: Kasus Djoko Tjandra, Keterangan Jenderal Polisi Ini Dibantah Kuasa Hukum Tommy)
"Faktanya saya sejak awal kasus ini bergulir tak pernah ragu usut tuntas kasus Djoko Tjandra. Siapapun yang terlibat kami usut tanpa pandang bulu. Kalau kita terlibat kan logikanya sederhana, tak mungkin kita usut sampai ke akar-akarnya," kata Listyo dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (26/11/2020).
(Baca juga : Prabowo Selamatkan Dua Hal Ini Jika Mundur dari Menhan )
Sekadar mengingatkan, Djoko Tjandra sendiri berhasil ditangkap setelah bertahun-tahun melarikan diri di era kepemimpinan Kabareskrim Komjen Listyo. Ketika itu, penangkapan tersebut merupakan jawaban dari adanya keraguan penegakan hukum terhadap Djoko Tjandra.
(Baca Juga: Napoleon Sebut Ada Restu Azis Syamsuddin untuk Cek Red Notice Djoko Tjandra)
Listyo menyayangkan, sekelas Napoleon yang jenderal bintang dua, mudah saja percaya dengan pengakuan oknum-oknum yang menyeret-nyeret seseorang untuk kepentingan pribadinya.
(Baca juga : Dari Omzet Ratusan Juta Per Bulan Hingga Tabungan Habis, Bu Rury Bangkit Lewat Online )
Seharusnya, kata Listyo, Napoleon melakukan crosscheck atau mengonfirmasi untuk mencari kebenaran terkait dengan klaim oknum tersebut kepada dirinya. Pernyataan, Napoleon sendiri juga tidak dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dirinya ketika itu.
"Kan dia jenderal bintang dua dan pejabat utama seharusnya yang bersangkutan crosscheck apakah betul TS memang dapat restu dari saya. Agak aneh kalau ada orang yang membawa nama kita dan orang itu langsung percaya begitu saja kalau mereka dekat dan mewakili orang itu," ujar Listyo.
(Baca Juga: Polri Sempat Melacak Pelarian Djoko Tjandra hingga Taiwan dan Korsel)
Pernyataan Napoleon dinilai hanya menyesatkan kebenaran yang ada. Seharunya, kata Listyo, yang bersangkutan fokus untuk menjawab subtansi fakta-fakta konstruksi hukum yang ditemukan oleh penyidik Bareskrim Polri. Tapi, hal itu tidak dilakukan oleh Napoleon.
"Pihak TS juga sudah membantah pengakuan dari NB. Kami meyakini Majelis Hakim pasti akan melihat fakta yang sesungguhnya. Mana yang suatu kebenaran dan mana hal yang mengada-ada," ucap Listyo.
Sebelumnya, terdakwa Tommy Sumardi membantah kesaksian Irjen Napoleon Bonaparte yang menyeret nama Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap terkait pengurusan penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari daftar red notice Polri, hari ini.
(Baca Juga: KPK Menerima Dokumen Skandal Djoko Tjandra Setelah Dua Kali Meminta)
Tommy menjelaskan, kedatangannya ke ruangan mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte, atas dasar arahan dari Brigjen Prasetijo Utomo. Tommy mengakui bahwa Brigjen Prasetijo Utomo yang mengenalkan dirinya dengan Irjen Napoleon Bonaparte. Namun, ia membantah jika dalam pertemuan itu membawa-bawa nama petinggi Polri dan pejabat di senayan.
Selain itu, kata Listyo, soal penghapusan Red Notice juga bukan kewenangan dari Bareskrim Polri. Melainkan memang ranah dari Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) Polri. Napoleon sendiri diketahui menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri.
"Bareskrim tidak punya kewenangan memerintah Kadiv Hubinter menghapus Red Notice karena yang mengajukan Red Notice Kejaksaan, alasan yang tidak masuk akal pernyataan itu," tegas Listyo.
Irjen Napoleon Bonaparte didakwa oleh jaksa penutut umum telah menerima uang sebesar 200.000 dolar Singapura dan 270.000 dolar AS atau senilai Rp6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra).
Uang itu diduga sebagai upaya untuk menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen imigrasi). Untuk melancarkan aksinya, Djoko Tjandra dibantu oleh rekannya, Tommy Sumardi.
Irjen Napoleon diduga melakukan upaya penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dari DPO bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.
Listyo menegaskan, sejak awal Bareskrim menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas siapapun yang terlibat dalam perkara Djoko Tjandra tersebut. Sehingga, pengusutan kasus itu tidak ada intervensi dari siapapun di internal Polri. Sebab itu, Bareskrim menetapkan dua orang jenderal polisi, yakni Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo.
(Baca Juga: Kasus Djoko Tjandra, Keterangan Jenderal Polisi Ini Dibantah Kuasa Hukum Tommy)
"Faktanya saya sejak awal kasus ini bergulir tak pernah ragu usut tuntas kasus Djoko Tjandra. Siapapun yang terlibat kami usut tanpa pandang bulu. Kalau kita terlibat kan logikanya sederhana, tak mungkin kita usut sampai ke akar-akarnya," kata Listyo dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (26/11/2020).
(Baca juga : Prabowo Selamatkan Dua Hal Ini Jika Mundur dari Menhan )
Sekadar mengingatkan, Djoko Tjandra sendiri berhasil ditangkap setelah bertahun-tahun melarikan diri di era kepemimpinan Kabareskrim Komjen Listyo. Ketika itu, penangkapan tersebut merupakan jawaban dari adanya keraguan penegakan hukum terhadap Djoko Tjandra.
(Baca Juga: Napoleon Sebut Ada Restu Azis Syamsuddin untuk Cek Red Notice Djoko Tjandra)
Listyo menyayangkan, sekelas Napoleon yang jenderal bintang dua, mudah saja percaya dengan pengakuan oknum-oknum yang menyeret-nyeret seseorang untuk kepentingan pribadinya.
(Baca juga : Dari Omzet Ratusan Juta Per Bulan Hingga Tabungan Habis, Bu Rury Bangkit Lewat Online )
Seharusnya, kata Listyo, Napoleon melakukan crosscheck atau mengonfirmasi untuk mencari kebenaran terkait dengan klaim oknum tersebut kepada dirinya. Pernyataan, Napoleon sendiri juga tidak dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dirinya ketika itu.
"Kan dia jenderal bintang dua dan pejabat utama seharusnya yang bersangkutan crosscheck apakah betul TS memang dapat restu dari saya. Agak aneh kalau ada orang yang membawa nama kita dan orang itu langsung percaya begitu saja kalau mereka dekat dan mewakili orang itu," ujar Listyo.
(Baca Juga: Polri Sempat Melacak Pelarian Djoko Tjandra hingga Taiwan dan Korsel)
Pernyataan Napoleon dinilai hanya menyesatkan kebenaran yang ada. Seharunya, kata Listyo, yang bersangkutan fokus untuk menjawab subtansi fakta-fakta konstruksi hukum yang ditemukan oleh penyidik Bareskrim Polri. Tapi, hal itu tidak dilakukan oleh Napoleon.
"Pihak TS juga sudah membantah pengakuan dari NB. Kami meyakini Majelis Hakim pasti akan melihat fakta yang sesungguhnya. Mana yang suatu kebenaran dan mana hal yang mengada-ada," ucap Listyo.
Sebelumnya, terdakwa Tommy Sumardi membantah kesaksian Irjen Napoleon Bonaparte yang menyeret nama Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap terkait pengurusan penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari daftar red notice Polri, hari ini.
(Baca Juga: KPK Menerima Dokumen Skandal Djoko Tjandra Setelah Dua Kali Meminta)
Tommy menjelaskan, kedatangannya ke ruangan mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte, atas dasar arahan dari Brigjen Prasetijo Utomo. Tommy mengakui bahwa Brigjen Prasetijo Utomo yang mengenalkan dirinya dengan Irjen Napoleon Bonaparte. Namun, ia membantah jika dalam pertemuan itu membawa-bawa nama petinggi Polri dan pejabat di senayan.
Selain itu, kata Listyo, soal penghapusan Red Notice juga bukan kewenangan dari Bareskrim Polri. Melainkan memang ranah dari Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) Polri. Napoleon sendiri diketahui menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri.
"Bareskrim tidak punya kewenangan memerintah Kadiv Hubinter menghapus Red Notice karena yang mengajukan Red Notice Kejaksaan, alasan yang tidak masuk akal pernyataan itu," tegas Listyo.
Irjen Napoleon Bonaparte didakwa oleh jaksa penutut umum telah menerima uang sebesar 200.000 dolar Singapura dan 270.000 dolar AS atau senilai Rp6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra).
Uang itu diduga sebagai upaya untuk menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen imigrasi). Untuk melancarkan aksinya, Djoko Tjandra dibantu oleh rekannya, Tommy Sumardi.
Irjen Napoleon diduga melakukan upaya penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dari DPO bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.
(ymn)