Fenomena Rizieq Shihab
loading...
A
A
A
Pada saat bersamaan, Rizieq mendapat sambutan meriah dari kelompok Islam tertentu yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Kelompok Islam ini menafsirkan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang lebih tekstual dan rigid. Mereka kerap membuat kavling pemisah dengan pihak yang berbeda mazhab. Tak seperti NU dan Muhammadiyah yang relatif fleksibel, kontekstual, dan toleran.
Maknai Biasa Saja
Di negara demokratis, mestinya memaknai fenomena Rizieq Shihab biasa saja. Tak usah berlebihan. Ia adalah warga negara biasa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain. Tak lebih dan tak ada yang spesial. Perihal punya banyak pengikut itu perkara lain. Toh, banyak elite agama di negara ini yang pengikutnya lebih banyak, tetapi memilih model perjuangan yang berbeda. Misalnya membina pesantren di pelosok, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan memberdayakan ekonomi umat. Membela Islam tak mesti teriak lantang di jalanan. Masih banyak cara lain.
Perlakuan spesial terhadap seseorang karena keturunan (nasab) hanya mungkin terjadi di negara yang menganut sistem politik kerajaan absolut. Ada perlakuan khusus terhadap orang tertentu karena dinilai mewarisi darah biru, ningrat, dan keturunan raja. Tapi fenomena ini tak mungkin terjadi di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem politik bernegara. Budaya dan perilaku politik warganya sangat berbeda. Demokrasi bertujuan menghancurkan budaya feodal yang memandang seseorang karena keturunan.
Begitu pun Islam hadir membawa segudang misi kemanusiaan universal menempatkan semua manusia setara. Menghancurkan perilaku jahiliah Arab yang memperlakukan seseorang karena superioritas nasab. Dalam Islam hanya kadar ketakwaan yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Bukan keturunan maupun faktor apa pun yang masih mengadopsi tradisi zaman kegelapan.
Pada titik inilah mesti disadari dunia kian modern. Perlakuan istimewa karena faktor keturunan sudah ketinggalan zaman. Sejarah Islam, perjuangan HAM, dan demokrasi memiliki kemiripan serupa, yakni menghilangkan praktik kultus individual yang dalam banyak hal menimbulkan perilaku diskriminatif. Membedakan manusia hanya karena pertalian darah. Satu budaya primitif, jahiliah, dan terbelakang.
Mari bersama membangun masa depan indah tanpa sekat apa pun. Jangan lagi melihat keturunan sebagai faktor determinan dalam pergaulan hidup. Tak perlu menoleh ke belakang yang penuh tradisi kegelapan. Bangsa ini sudah maju berjalan jauh menerabas semak belukar ketidakadilan. Berhasil membuang jauh perasaan superior atas nama suku, keturunan, budaya, dan agama.
Maknai Biasa Saja
Di negara demokratis, mestinya memaknai fenomena Rizieq Shihab biasa saja. Tak usah berlebihan. Ia adalah warga negara biasa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain. Tak lebih dan tak ada yang spesial. Perihal punya banyak pengikut itu perkara lain. Toh, banyak elite agama di negara ini yang pengikutnya lebih banyak, tetapi memilih model perjuangan yang berbeda. Misalnya membina pesantren di pelosok, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan memberdayakan ekonomi umat. Membela Islam tak mesti teriak lantang di jalanan. Masih banyak cara lain.
Perlakuan spesial terhadap seseorang karena keturunan (nasab) hanya mungkin terjadi di negara yang menganut sistem politik kerajaan absolut. Ada perlakuan khusus terhadap orang tertentu karena dinilai mewarisi darah biru, ningrat, dan keturunan raja. Tapi fenomena ini tak mungkin terjadi di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem politik bernegara. Budaya dan perilaku politik warganya sangat berbeda. Demokrasi bertujuan menghancurkan budaya feodal yang memandang seseorang karena keturunan.
Begitu pun Islam hadir membawa segudang misi kemanusiaan universal menempatkan semua manusia setara. Menghancurkan perilaku jahiliah Arab yang memperlakukan seseorang karena superioritas nasab. Dalam Islam hanya kadar ketakwaan yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Bukan keturunan maupun faktor apa pun yang masih mengadopsi tradisi zaman kegelapan.
Pada titik inilah mesti disadari dunia kian modern. Perlakuan istimewa karena faktor keturunan sudah ketinggalan zaman. Sejarah Islam, perjuangan HAM, dan demokrasi memiliki kemiripan serupa, yakni menghilangkan praktik kultus individual yang dalam banyak hal menimbulkan perilaku diskriminatif. Membedakan manusia hanya karena pertalian darah. Satu budaya primitif, jahiliah, dan terbelakang.
Mari bersama membangun masa depan indah tanpa sekat apa pun. Jangan lagi melihat keturunan sebagai faktor determinan dalam pergaulan hidup. Tak perlu menoleh ke belakang yang penuh tradisi kegelapan. Bangsa ini sudah maju berjalan jauh menerabas semak belukar ketidakadilan. Berhasil membuang jauh perasaan superior atas nama suku, keturunan, budaya, dan agama.
(bmm)