Fenomena Rizieq Shihab
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
HABIB Rizieq Shihab kadung menjadi fenomena politik dan keagamaan. Segala tingkah laku, perkataan, dan aktivitasnya memantik diskusi panas. Sosoknya anti-pemerintah, agresif secara verbal, dan kerap menyerang mazhab Islam moderat. Sejak pulang ke Indonesia publik tanpa henti membincangkan sepak terjang pentolan Front Pembela Islam (FPI) ini. Kisruh dan penuh kegaduhan.
Persoalan dimulai sejak kepulangan Rizieq disambut ribuan pengikutnya di Bandara Soekarno-Hatta. Selang beberapa hari Rizieq mengadakan pertemuan di Bogor, Jawa Barat, lalu merayakan Maulid Nabi dan menggelar resepsi pernikahan putrinya yang dihadiri jubelan massa. Tak hanya itu Rizieq menyatakan siap berekonsiliasi dengan catatan pemerintah membebaskan sejumlah tahanan yang dinilai dikriminalisasi.
Lalu apa yang menyebabkan Rizieq Shihab menjadi sebuah fenomena? Secara politik posisinya yang kontra-pemerintah membuat dirinya dijadikan simbol dan tumpuan untuk menyerang penguasa secara vulgar. Terutama oleh kelompok yang selama ini bernafsu mengganti presiden dan kalah pada Pemilu Presiden 2019. Sikap keras dan serangan terbuka membuat Rizieq dinilai memiliki karakter tersendiri. Berbeda dengan elite aliran agama lain yang cenderung soft dan diplomatis.
Secara keagamaan Rizieq dikonotasikan memiliki warna keislaman berbeda dengan ormas Islam lain. Filosofi perjuangan amar ma’ruf nahi munkar diaksentuasikan lebih keras ke permukaan yang dinarasikan lebih agresif menyerang pihak lain dan pemerintah yang dituding anti-Islam. Agitasi dan propagandanya dibangun atas dasar tembok tebal pemisah “kita” dan “mereka”. Hitam putih tanpa toleransi apa pun bagi pihak yang berbeda. (Baca Juga: HRS, Ratu Adil, dan Krisis Sosial)
Wajar jika wacana Rizieq selalu memancing keriuhan. Bukan hanya pemerintah yang dikritik keras, tetapi ormas Islam lain yang dituding tak sejalan juga diserang. Tak jarang agama lain juga dicibir. Banyak pihak khawatir kembalinya Rizieq memunculkan kembali sentimen politik identitas yang potensial memecah belah. Padahal luka politik efek Pilpres 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 belum sepenuhnya sembuh. Kini publik kembali hidup dalam bayang-bayang kebangkitan politik identitas.
Komoditas Politik
Suka atau tak suka, Rizieq kini menjelma sebagai komoditas politik. Di tengah melemahnya oposisi, posisi Rizieq seakan mendapat tempat “istimewa” di hati khalayak yang selama ini kontra-pemerintah. Sebab dari beragam peristiwa politik genting di negara ini nyaris tak ada yang frontal melawan. Hanya Rizieq dan pengikutnya yang berani member kritik lantang yang menusuk langsung jantung kekuasaan negara.
Saat ini publik cenderung menyukai aktor yang dinilai berani hitam putih terhadap penguasa. Bukan seperti politisi yang kadang oposan dan kadang pula kontra pemerintah. PKS dan Demokrat tak terlampau bisa diharapkan sebagai oposisi sejati. Dalam banyak hal dua partai non-pemerintah ini berkompromi dengan kebijakan penuh polemik seperti revisi UU KPK.
Begitu pun dengan civil society dan mahasiswa yang isu politiknya musiman. Stamina politiknya sangat ditentukan hanya oleh isu-isu tertentu yang kadang elitis seperti UU Cipta Karja, UU Minerba. Tapi isu populis seperti kemiskinan dan kesejahteraan nyaris tak pernah disentuh. Protes sesaat setelah itu tenggelam ditelan bumi. Wajar jika akhirnya publik mencari pelarian terhadap sosok yang dinilai lantang ke pemerintah.
Rizieq hadir di tengah gersangnya kelompok yang berani keras mengkritik penguasa. Andai partai politik, mahasiswa, dan gerakan masyarakat sipil konsisten hadir di saat banyak isu krusial, tentunya fenomena Rizieq tak akan besar seperti saat ini. Sejak dulu Rizieq sudah vokal, tetapi penerimaan publik tak sehebat sekarang. Ini hanya soal sosok yang dinilai berani mengisi peran kosong oposan.
Pada saat bersamaan, Rizieq mendapat sambutan meriah dari kelompok Islam tertentu yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Kelompok Islam ini menafsirkan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang lebih tekstual dan rigid. Mereka kerap membuat kavling pemisah dengan pihak yang berbeda mazhab. Tak seperti NU dan Muhammadiyah yang relatif fleksibel, kontekstual, dan toleran.
Maknai Biasa Saja
Di negara demokratis, mestinya memaknai fenomena Rizieq Shihab biasa saja. Tak usah berlebihan. Ia adalah warga negara biasa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain. Tak lebih dan tak ada yang spesial. Perihal punya banyak pengikut itu perkara lain. Toh, banyak elite agama di negara ini yang pengikutnya lebih banyak, tetapi memilih model perjuangan yang berbeda. Misalnya membina pesantren di pelosok, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan memberdayakan ekonomi umat. Membela Islam tak mesti teriak lantang di jalanan. Masih banyak cara lain.
Perlakuan spesial terhadap seseorang karena keturunan (nasab) hanya mungkin terjadi di negara yang menganut sistem politik kerajaan absolut. Ada perlakuan khusus terhadap orang tertentu karena dinilai mewarisi darah biru, ningrat, dan keturunan raja. Tapi fenomena ini tak mungkin terjadi di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem politik bernegara. Budaya dan perilaku politik warganya sangat berbeda. Demokrasi bertujuan menghancurkan budaya feodal yang memandang seseorang karena keturunan.
Begitu pun Islam hadir membawa segudang misi kemanusiaan universal menempatkan semua manusia setara. Menghancurkan perilaku jahiliah Arab yang memperlakukan seseorang karena superioritas nasab. Dalam Islam hanya kadar ketakwaan yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Bukan keturunan maupun faktor apa pun yang masih mengadopsi tradisi zaman kegelapan.
Pada titik inilah mesti disadari dunia kian modern. Perlakuan istimewa karena faktor keturunan sudah ketinggalan zaman. Sejarah Islam, perjuangan HAM, dan demokrasi memiliki kemiripan serupa, yakni menghilangkan praktik kultus individual yang dalam banyak hal menimbulkan perilaku diskriminatif. Membedakan manusia hanya karena pertalian darah. Satu budaya primitif, jahiliah, dan terbelakang.
Mari bersama membangun masa depan indah tanpa sekat apa pun. Jangan lagi melihat keturunan sebagai faktor determinan dalam pergaulan hidup. Tak perlu menoleh ke belakang yang penuh tradisi kegelapan. Bangsa ini sudah maju berjalan jauh menerabas semak belukar ketidakadilan. Berhasil membuang jauh perasaan superior atas nama suku, keturunan, budaya, dan agama.
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
HABIB Rizieq Shihab kadung menjadi fenomena politik dan keagamaan. Segala tingkah laku, perkataan, dan aktivitasnya memantik diskusi panas. Sosoknya anti-pemerintah, agresif secara verbal, dan kerap menyerang mazhab Islam moderat. Sejak pulang ke Indonesia publik tanpa henti membincangkan sepak terjang pentolan Front Pembela Islam (FPI) ini. Kisruh dan penuh kegaduhan.
Persoalan dimulai sejak kepulangan Rizieq disambut ribuan pengikutnya di Bandara Soekarno-Hatta. Selang beberapa hari Rizieq mengadakan pertemuan di Bogor, Jawa Barat, lalu merayakan Maulid Nabi dan menggelar resepsi pernikahan putrinya yang dihadiri jubelan massa. Tak hanya itu Rizieq menyatakan siap berekonsiliasi dengan catatan pemerintah membebaskan sejumlah tahanan yang dinilai dikriminalisasi.
Lalu apa yang menyebabkan Rizieq Shihab menjadi sebuah fenomena? Secara politik posisinya yang kontra-pemerintah membuat dirinya dijadikan simbol dan tumpuan untuk menyerang penguasa secara vulgar. Terutama oleh kelompok yang selama ini bernafsu mengganti presiden dan kalah pada Pemilu Presiden 2019. Sikap keras dan serangan terbuka membuat Rizieq dinilai memiliki karakter tersendiri. Berbeda dengan elite aliran agama lain yang cenderung soft dan diplomatis.
Secara keagamaan Rizieq dikonotasikan memiliki warna keislaman berbeda dengan ormas Islam lain. Filosofi perjuangan amar ma’ruf nahi munkar diaksentuasikan lebih keras ke permukaan yang dinarasikan lebih agresif menyerang pihak lain dan pemerintah yang dituding anti-Islam. Agitasi dan propagandanya dibangun atas dasar tembok tebal pemisah “kita” dan “mereka”. Hitam putih tanpa toleransi apa pun bagi pihak yang berbeda. (Baca Juga: HRS, Ratu Adil, dan Krisis Sosial)
Wajar jika wacana Rizieq selalu memancing keriuhan. Bukan hanya pemerintah yang dikritik keras, tetapi ormas Islam lain yang dituding tak sejalan juga diserang. Tak jarang agama lain juga dicibir. Banyak pihak khawatir kembalinya Rizieq memunculkan kembali sentimen politik identitas yang potensial memecah belah. Padahal luka politik efek Pilpres 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 belum sepenuhnya sembuh. Kini publik kembali hidup dalam bayang-bayang kebangkitan politik identitas.
Komoditas Politik
Suka atau tak suka, Rizieq kini menjelma sebagai komoditas politik. Di tengah melemahnya oposisi, posisi Rizieq seakan mendapat tempat “istimewa” di hati khalayak yang selama ini kontra-pemerintah. Sebab dari beragam peristiwa politik genting di negara ini nyaris tak ada yang frontal melawan. Hanya Rizieq dan pengikutnya yang berani member kritik lantang yang menusuk langsung jantung kekuasaan negara.
Saat ini publik cenderung menyukai aktor yang dinilai berani hitam putih terhadap penguasa. Bukan seperti politisi yang kadang oposan dan kadang pula kontra pemerintah. PKS dan Demokrat tak terlampau bisa diharapkan sebagai oposisi sejati. Dalam banyak hal dua partai non-pemerintah ini berkompromi dengan kebijakan penuh polemik seperti revisi UU KPK.
Begitu pun dengan civil society dan mahasiswa yang isu politiknya musiman. Stamina politiknya sangat ditentukan hanya oleh isu-isu tertentu yang kadang elitis seperti UU Cipta Karja, UU Minerba. Tapi isu populis seperti kemiskinan dan kesejahteraan nyaris tak pernah disentuh. Protes sesaat setelah itu tenggelam ditelan bumi. Wajar jika akhirnya publik mencari pelarian terhadap sosok yang dinilai lantang ke pemerintah.
Rizieq hadir di tengah gersangnya kelompok yang berani keras mengkritik penguasa. Andai partai politik, mahasiswa, dan gerakan masyarakat sipil konsisten hadir di saat banyak isu krusial, tentunya fenomena Rizieq tak akan besar seperti saat ini. Sejak dulu Rizieq sudah vokal, tetapi penerimaan publik tak sehebat sekarang. Ini hanya soal sosok yang dinilai berani mengisi peran kosong oposan.
Pada saat bersamaan, Rizieq mendapat sambutan meriah dari kelompok Islam tertentu yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Kelompok Islam ini menafsirkan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang lebih tekstual dan rigid. Mereka kerap membuat kavling pemisah dengan pihak yang berbeda mazhab. Tak seperti NU dan Muhammadiyah yang relatif fleksibel, kontekstual, dan toleran.
Maknai Biasa Saja
Di negara demokratis, mestinya memaknai fenomena Rizieq Shihab biasa saja. Tak usah berlebihan. Ia adalah warga negara biasa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain. Tak lebih dan tak ada yang spesial. Perihal punya banyak pengikut itu perkara lain. Toh, banyak elite agama di negara ini yang pengikutnya lebih banyak, tetapi memilih model perjuangan yang berbeda. Misalnya membina pesantren di pelosok, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan memberdayakan ekonomi umat. Membela Islam tak mesti teriak lantang di jalanan. Masih banyak cara lain.
Perlakuan spesial terhadap seseorang karena keturunan (nasab) hanya mungkin terjadi di negara yang menganut sistem politik kerajaan absolut. Ada perlakuan khusus terhadap orang tertentu karena dinilai mewarisi darah biru, ningrat, dan keturunan raja. Tapi fenomena ini tak mungkin terjadi di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem politik bernegara. Budaya dan perilaku politik warganya sangat berbeda. Demokrasi bertujuan menghancurkan budaya feodal yang memandang seseorang karena keturunan.
Begitu pun Islam hadir membawa segudang misi kemanusiaan universal menempatkan semua manusia setara. Menghancurkan perilaku jahiliah Arab yang memperlakukan seseorang karena superioritas nasab. Dalam Islam hanya kadar ketakwaan yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Bukan keturunan maupun faktor apa pun yang masih mengadopsi tradisi zaman kegelapan.
Pada titik inilah mesti disadari dunia kian modern. Perlakuan istimewa karena faktor keturunan sudah ketinggalan zaman. Sejarah Islam, perjuangan HAM, dan demokrasi memiliki kemiripan serupa, yakni menghilangkan praktik kultus individual yang dalam banyak hal menimbulkan perilaku diskriminatif. Membedakan manusia hanya karena pertalian darah. Satu budaya primitif, jahiliah, dan terbelakang.
Mari bersama membangun masa depan indah tanpa sekat apa pun. Jangan lagi melihat keturunan sebagai faktor determinan dalam pergaulan hidup. Tak perlu menoleh ke belakang yang penuh tradisi kegelapan. Bangsa ini sudah maju berjalan jauh menerabas semak belukar ketidakadilan. Berhasil membuang jauh perasaan superior atas nama suku, keturunan, budaya, dan agama.
(bmm)