Wabah Covid-19: Perenungan atas Praktik Keberagaman Kita

Senin, 11 Mei 2020 - 08:23 WIB
loading...
Wabah Covid-19: Perenungan...
Abdul Rosyid, Pengamat Masalah Sosial. Dokumen/SINDOnews
A A A
Abdul Rosyid
Pengamat Masalah Sosial

Wabah yang ditimbulkan oleh virus korona atau yang disebut Covid-19 dalam waktu yang sangat singkat telah "mengacaukan" berbagai sisi kehidupan manusia di wilayah- wilayah yang terdampak. Satu di antaranya yang sangat mencolok adalah kehidupan beragama di kalangan masyarakat. Berbagai fenomena besar muncul. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang setiap harinya tidak pernah sepi dari kegiatan salat dan ibadah umrah menjadi sepi karena Pemerintah Arab Saudi menutupnya dan meniadakan aktivitas di dalamnya untuk sementara waktu.Di Tanah Air, segera setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan mulai dari physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk merespons semakin meluasnya penyebaran wabah tersebut, masjid-masjid dan musala-musala menjadi kosong karena pertemuan-pertemuan yang mengumpulkan banyak orang, termasuk salat Jumat, pengajian atau kajian agama, untuk sementara waktu ditiadakan.Tanggapan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terbelah dua. Ini terlihat dari polemik yang muncul. Di satu sisi, banyak ulama dan organisasi keagamaan Islam mendukung kebijakan pemerintah. Mereka mendasarkan pada kaidah Usul Fikih: "dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih " (menghindari keburukan lebih utama dibanding mengejar kebaikan) serta riwayat-riwayat sahih yang membolehkan penggantian dengan ibadah di rumah. Selama wabah berjangkit salat berjamaah bisa dilaksanakan di rumah, salat Jumat bisa diganti dengan salat zuhur di rumah.Di sisi lain, ada sebagian kaum muslim yang masih "membandel" dengan tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut sebagaimana lazimnya. Mereka meyakini bahwa salat Jumat, salat jamaah di masjid/musala, semua itu perintah Allah dan merupakan syiar Islam. Perintah Allah tidak boleh dilawan. Sayangnya, mereka merasa seolah-olah mereka yang benar sendiri dengan lantang menyebut kelompok yang menyetujui kebijakan pemerintah tidak taat pada hukum Allah, munafik, dan melakukan makar terhadap Allah. Mereka mencoba membenturkan kebijakan tersebut dengan nas Alquran yang mengharuskan berpegang pada hukum Allah tanpa meneliti secara saksama dalil-dalil lain yang ada.Di luar polemik tentang wabah Covid-19 dengan segala rentetan akibatnya ini, sebagai bangsa yang religius sudah sepatutnya bertanya dan merenung, ada apa sebenarnya dengan kehidupan beragama kita selama ini; apa yang salah dengan cara beragama kita?Trilogi Ketaatan Dalam kasus wabah Covid-19 ini, pemerintah dengan segenap sumber daya yang dimiliki telah mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh warga, menjaga agar mereka yang terpapar virus tidak menulari mereka yang sehat dan orang yang sehat tidak terpapar virus. Intinya, mencegah semakin memburuknya kondisi, walaupun dengan terpaksa, harus meninggalkan keutamaan dalam pelaksanaan ibadah. Tidak hanya umat Islam yang merasakan dampaknya. Umat-umat agama lainnya pun merasakan hal yang sama.Apakah kebijakan semacam ini merupakan kemaksiatan kepada Allah? Sekilas, ya. Tetapi, kalau dicermati berbagai dalil yang ada, kita menjadi tahu betapa Allah tidak memberatkan hamba-Nya dalam menunaikan ketaatan kepada-Nya. Ada illat yang membolehkan substitusi sebagaimana disinggung di atas.Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga ketaatan kepada tiga pihak sebagaimana disebutkan di dalam Alquran: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu." (QS An-Nisa' [4]: 59) Redaksi ayat ini menempatkan ulil amri pada urutan ketiga setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa disertai lafal "taatilah". Artinya, ketaatan kepada Allah dan Rasulullah merupakan ketaatan yang mutlak, sedangkan ketaatan kepada ulil amri merupakan ikutan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya—ketaatan yang bersyarat. Dalil-dalil di atas tidak hanya sebagai referensi. Yang lebih penting adalah sejauh mana ketaatan kita kepada ulil amri alias ulama dan umara ’ di negara kita ini?Hikmah Di balik kehidupan yang di luar kebiasaan kita selama ini—sekolah, kerja, jualan, sampai rapat penting—dilakukan di rumah, sebagai konsekuensi dari munculnya wabah Covid- 19, ada beberapa pertanyaan reflektif yang bisa kita ajukan kepada diri sendiri untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah kita perbuat selama ini; kepada Allah, kepada sesama, dan kepada negara ini.Penghentian sementara aktivitas umrah di Tanah Suci sudah pasti berdampak besar tidak hanya terhadap biro perjalanan umrah, tetapi juga jamaah yang sudah mendaftar umrah. Ini merupakan saat yang tepat untuk mengkaji ulang bagaimana selama ini bisnis mulia ini dijalankan dan kemudian menata kembali segala sesuatunya. Tentu kita masih ingat beberapa kasus yang melibatkan biro-biro haji dan umrah yang nakal. Betapa mudahnya mereka mengecewakan jamaah dengan layanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Betapa teganya oknum-oknum biro haji dan umrah menipu jamaahnya dan membawa kabur uang yang terkumpul dari ribuan jamaah.Di sisi lain, barangkali kita yang melaksanakan ibadah haji dan umrah lebih mengutamakan "jalan-jalan" dan belanja daripada rangkaian ibadahnya sendiri, lebih tergerak karena faktor orang lain, demi gengsi atau popularitas, misalnya. Inilah momen untuk memperbaiki niat ibadah dan ketulusan dalam penghambaan diri kepada Allah. Kumpul-kumpul kini tidak ada lagi dalam kondisi pandemi ini. Barangkali kita tidak menyadari kalau sebelum ini kumpul-kumpul kita itu kosong dari makna, sepi dari mengingat Allah, hanya sebatas ngerumpi, ngobrol sana-sini tanpa esensi, sehingga banyak waktu terbuang percuma.Masjid dan musala kini jadi kosong, tidak ada salat jamaah dan tidak ada salat Jumat. Yang tersisa hanya panggilan azan. Fungsinya yang sangat sentral bagi umat Islam sebagai pusat ibadah, pendidikan, dan dakwah tidak jalan. Coba kita tengok sebentar ke belakang. Dalam beberapa waktu terakhir ini mimbar-mimbar dakwah dan pengajian di masjid sudah banyak yang beralih fungsi menjadi ajang untuk menebar kebencian dan permusuhan kepada sesama muslim yang tidak sepaham; ajang untuk saling menghujat lawan-lawan politik yang berseberangan dalam mendukung dan memilih pemimpin. Pun, hanya karena persoalan bendera ormas yang kini sudah dilarang oleh pemerintah, banyak ustaz dan penceramah yang menjadikan pengajian sebagai tempat mengumbar caci-makian. Tuduhan-tuduhan keji bergema di masjid-masjid yang seharusnya suci dari rasa iri dan sikap sok benar sendiri.Pertanyaannya, apakah kita tidak yakin bahwa ikhtilaf itu merupakan rahmat dari Allah? Tidak bisakah kita bersikap tasamuh kepada saudara kita yang berbeda pandangan dalam ihwal yang bersifat furu’ atau yang bersifat sosial-kultural? Padahal, Rasulullah membenarkan dua pendapat sahabat yang berbeda soal salat asar di Bani Quraizhah. Beliau juga menyatakan ijtihad yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah satu pahala.Peran Pemimpin Dampak wabah Covid-19 tentu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang berekonomi lemah. Bantuan kepada mereka kini terus mengalir dari para dermawan. Tetapi, apakah selama ini, dalam kondisi normal, mereka juga mendapatkan bantuan? Apakah filantropi semacam ini bersifat kontinu atau hanya insidental sewaktu ada bencana saja?Bagaimana dengan bantuan dari pemerintah, apakah selalu sampai kepada mereka sesuai harapan? Sampai kepada mereka, tetapi berkurang jumlahnya? Atau, jangan-jangan malah ada yang tidak sampai sama sekali karena dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang hakikatnya adalah penerima amanah dari rakyat harus ada di dekat mereka ketika mereka membutuhkan pertolongan. Pemerintah tidak boleh membiarkan rakyat berjuang sendiri mengatasi masalah (baca: kemiskinan) mereka. Mereka butuh pendampingan, perlindungan, bahkan dukungan finansial dalam memperbaiki kualitas kehidupan mereka.Di sisi lain, para pemimpin informal, seperti pimpinan organisasi kemasyarakatan, turut bertanggung jawab atas suksesnya upaya pemerintah mengatasi wabah ini. Mereka harus memberikan edukasi kepada masyarakat.

Kembali Dimulai dari Rumah Kegiatan belajar di semua tingkatan sekolah formal dialihkan untuk sementara waktu ke rumah masing-masing. Hikmah yang bisa didapatkan dari keadaan ini salah satunya adalah terbangunnya kembali komunikasi dan interaksi sosial antara orang tua dan anak yang sudah merenggang entah karena kesibukan kerja orang tua atau faktor lainnya. Peran guru pun beralih ke tangan orang tua. Bisa jadi, orang tua tidak menguasai materi pelajaran di sekolah. Tetapi, dari sisi lain orang tua bisa memberikan andil.Keluarga sebagai unit sosial terkecil juga merupakan madrasah awal bagi anak- anak. Dengan asuhan, arahan, didikan, dan teladan yang baik, orang tua bisa menggembleng putra-putrinya menjadi insan yang mampu menyikapi permasalahan secara arif. Orang tua juga bisa menanamkan beragam sikap positif kepada putra-putrinya sehingga pada saatnya nanti mereka mampu berkontribusi positif kepada masyarakat di lingkungannya sesuai dengan kapasitas masing-masing.Memasuki bulan suci Ramadan tahun ini, mari kita bersihkan hati dan pikiran, kita lepaskan ego sektarian kita untuk bersama-sama berjuang mengatasi wabah Covid-19. Selain menunaikan berbagai amaliah Ramadan secara îmânan dan ihtisâban agar mendapatkan rida dan ampunan Allah SWT, mari kita tingkatkan kekompakan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk ini. Semoga dengan doa-doa kaum mukmin yang sedang berpuasa, Allah segera mengangkat wabah Covid-19 ini dari negara kita sehingga kita bisa menjalani kehidupan sesudah itu dengan kesalehan individu dan kesalehan sosial yang senantiasa meningkat.
(nag)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1646 seconds (0.1#10.140)