Gabungkan RUU Pemilu dan Pilkada, DPR Ungkap 5 Isu Krusial

Senin, 16 November 2020 - 20:01 WIB
loading...
Gabungkan RUU Pemilu dan Pilkada, DPR Ungkap 5 Isu Krusial
Komisi II DPR menjelaskan tentang Rancangan Perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) di hadapan Baleg DPR sebagai pengusul. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi II DPR menjelaskan tentang Rancangan Perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum ( RUU Pemilu ) di hadapan Badan Legislasi (Baleg) DPR sebagai pengusul, untuk diharmonisasi di baleg DPR sebelum ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR .

(Baca juga: Kemendikbud Didesak Sanksi Disdik yang Melanggar Aturan Pembukaan Sekolah)

Dalam penjelasan yang diwakilkan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung dan Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, terungkap bahwa Komisi II DPR menggabungkan UU Pemilu dan Pilkada dalam satu usulan RUU.

"Antara dua Undang-Undang atau dua rezim (UU Pemilu dan UU Pilkada), ada beberapa ketentuan pasal yang sama sehingga terjadi redundant atau overlapping, berkaca dari teori yang kita kembangkan selama ini, maka kita memutuskan sebaiknya masalah kepemiluan Indonesia hanya terdiri dari satu rezim dan satu Undang-Undang, dari pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden dan pemilihan kepada daerah (pilkada),” kata Doli dalam rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Kemudian, Doli juga mengungkap sejumlah isu krusial yang disusun dalam RUU ini. Isu krusial ini selalu mengemuka di setiap pembahasan RUU Pemilu, karena terkait dengan kepentingan sejumlah stakeholder, khususnya dari partai politik (parpol).

"Lima isu klasik yang selalu dan pasti akan ada perdebatan panjang dan selesai di lobi tingkat pimpinan parpol,” ujarnya. (Baca juga: Masih Ada 30% Masyarakat Ragu-ragu Diberikan Vaksin Covid-19)

Politikus Partai Golkar ini menguraikan 5 isu krusial tersebut. Di antaranya, sistem pemilu legislatif terbuka atau tertutup, besaran parliamentary threshold, besaran presidential threshold, district magnitude atau besaran jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil), dan sistem konversi suara ke kursi.

Karena setiap pembahasan UU Pemilu isu ini selalu mengemuka dan diselesaikan di tingkat akhir oleh para pimpinan parpol, sambung Doli, pihaknya belum memutuskan isu-isu itu melainkan hanya memberikan sejumlah opsi ketentuan sebagaimana aspirasi yang mengemuka.

"Itulah kenapa kami belum memutuskan salah satu alternatif, karena ada beberapa opsi karena saya yakin keputusan ada di tingkat akhir pembahasan bersama pimpinan parpol," terang Doli.

Doli juga mengungkap ada 4 isu kontemporer atau baru. Pertama, pembagian keserentakan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemilu legislatif (pileg) serentak dengan pemilu presiden (pilpres), dan pengaturan waktunya berkaitan dengan keserentakan pilkada yang rencana dalam UU terdahulu pada 2024 bersamaan dengan Pileg dan Pilpres.

"Ada opsi dilakukan antara 2 pemilu nasional, yang terdekat 2027, semua pilkada serentak yang berlangsung sekarang dinormalkan. 2015-2020, 2017-2022, 2018-2023, dan kalau mau serentak nasional di 2027 di antara pemilu serentak 2024-2029," paparnya.

Kedua Doli melanjutkan, pihaknya punya keinginan dalam pengembangan demokrasi ini, pemilu Indonesia semakin ramah, mudah, efisien dan semakin menyenangkan bagi pemilihnya. Memudahkan pemilu itu dikaitkan dengan pengembangkan teknologi informasi dan komunikasi.

"Kita mengkaji penerapan elektronisasi dan digitalsiasi, kita mulai uji coba tahapan rekapitulasi ketimbang e-voting karen e-voting di beberapa negara Eropa dan Skandinavia banyak penyimpangan," jelas Doli.

Ketiga kata Doli, tentang adanya pasal-pasal yang mendorong terjadinya pengurangan atau meminimalisasi moral hazard pemilu seperti money politic dan political transactional. Keempat, pihaknya ingin UU Pemilu semakin mempertegas tupoksi dari lembaga penyelenggara pemilu.

Karena, antara KPU, Bawaslu dan DKPP sering terjadi overlapping atau konflik. Seperti misalnya, DKPP yang berhentikan salah satu komisioner KPU dan digugat di PTUN, sudah keluar Keputusan Presiden (Kepres)-nya lalu dianulir.

"Ini kontra produktif pengembangan demokrasi kita, kita harus mengatur betul termasuk menjaga integritas lembaga penyelenggara pemilu, masih banyak kawan kita terjebak masalah hukum. Pola rekrutmennya lebih baik, bukan hanya profesional tapi juga berintegritras," tuturnya.

Selain itu, Doli menambahkan, isu keterwakilan perempuan, posisi ASN, TNI dan Polri, dan juga masalah soal apakah anggota DPR untuk maju kepala daerah harus mundur secara permanen, ketentuan ini berbeda dengan pejabat negara yang lain.

"Kita berharap UU Pemilu bisa menciptakan sistem politik demokratis bisa memperkuat sistem presidensial, bisa menjalankan pemerintahan secara efektif di puisat dan daerah. Tidak hanya memenuhi aspek prosedur tapi aspek substansial," harap Doli.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1492 seconds (0.1#10.140)