Perihal Jalur Konstitusional Pembatalan UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
Adam Muhshi
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
YUSRILIhza Mahendra melalui tulisannya yang berjudul "permasalahan Sekitar UU Omnibus Law Cipta Kerja " menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ) yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara adalah sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak (Detik.com, Rabu, 4/11). Pendapat tersebut tak terbantahkan kebenarannya sebab sejak UU Cipta Kerja diundangkan, berlakulah asas praesumptio iustae causa (asas praduga keabsahan) terhadapnya. Berdasarkan asas ini, meskipun UU Cipta Kerja dinilai cacat hukum tetapi ia harus tetap dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Namun, tidak tepat kemudian ketika Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan Pimpinan DPR dapat mengadakan perbaikan terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Pendapat yang kedua ini bertentangan dengan pendapatnya yang pertama, di mana dikatakan bahwa UU Cipta kerja tersebut sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak. Sebab sejak UU Cipta Kerja tersebut diundangkan, keabsahan dan keberlakuannya bukan hanya mengikat kepada pihak lain tetapi ia berlaku dan mengikat pula bagi pembentuknya sendiri, yaitu DPR dan Presiden.
Konsekuensinya, sejak UU Cipta kerja diundangkan, DPR dan Presiden terikat untuk tidak melakukan perbaikan (perubahan) terhadapnya kecuali dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 (UU PPP). Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU PPP, hanya ada dua jalan bagi Presiden dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, yaitu pertama, melalui Perppu yang ditetapkan oleh Presiden dan selanjutnya harus dimintakan persetujuan kepada DPR dalam persidangan yang berikut; dan kedua, melalui legislatif review di mana DPR dengan kewenangan legislasinya membentuk UU perubahan atas UU Cipta Kerja bersama Presiden. ( )
Batal Demi Hukum
Artinya bahwa jika ingin melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, tak ada jalan lain bagi DPR dan Presiden selain harus melewati dua alternatif rute konstitusional tersebut di atas. Penegasan berkenaan dengan limitasi dua jalur perubahan ini penting dikemukakan karena wewenang DPR dan Presiden dalam pembentukan UU tidak tak terbatas.
Wewenang DPR dan Presiden untuk melakukan pembahasan dan perubahan terhadap substansi hanya dapat dilakukan sampai keputusan persetujuan diambil dalam rapat paripurna. A contrario, sejak persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja tersebut.
Jangankan setelah diundangkan, pasca persetujuan dalam rapat paripurna wewenang DPR terbatas hanya untuk membenahi teknis penulisan sebelum dikirim kepada Presiden untuk disahkan dan kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU PPP yang menyatakan bahwa "Tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang …".
Pun demikian dengan Presiden, setelah persetujuan dalam rapat paripurna kewenangannya terbatas hanya untuk mengesahkan UU Cipta Kerja tersebut. Itu bermakna bahwa setelah persetujuan dalam rapat peripurna, Presiden tidak lagi punya kewenangan untuk mengubah ketentuan-ketentuan UU Cipta Kerja meskipun "hanya sebatas" kata, titik, dan/atau koma sebab ia dapat menyebabkan perubahan makna (substansi). ( )
Jika Presiden dan/atau DPR masih melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja yang telah diundangkan, maka itu sama artinya dengan mengubah UU Cipta Kerja tanpa adanya dasar kewenangan. Jadi sangat tidak tepat manakala Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan DPR masih dapat melakukan perbaikan (perubahan) terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta kerja yang telah diundangkan untuk kemudian diumumkan (diundangkan) kembali dalam lembaran negara (Detik.com, Rabu, 4/11). Sebab, UU Perubahan yang dibentuk tanpa adanya dasar kewenangan tersebut adalah batal demi hukum. Batal demi hukum bermakna bahwa UU Perubahan yang dihasilkan dari tindakan yang nyata-nyata tak ada dasar kewenangannya harus dianggap tidak pernah ada dan sekaligus tidak memiliki implikasi apapun (ex tunc) terhadap UU Cipta kerja yang telah diundangkan pada hari Senin (2/11) tersebut.
Harapan kepada MK
DPR dan Presiden tak perlu "khawatir dan risau" terhadap adanya "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Sebab, berdasarkan asas praesumptio iustae causa, penilaian adanya cacat hukum dalam UU Cipta Kerja tidak kemudian menyebabkan UU tersebut tidak sah dan batal. Artinya bahwa sejak UU Cipta Kerja diundangkan, maka "salah ketik pun" yang terdapat dalam UU tersebut harus dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Jadi apabila Presiden dan DPR tidak melakukan perubahan (revisi) melalui penerbitan Perppu atau melalui legislative review, maka "salah ketik" dan kemungkinan adanya cacat hukum bawaan lainnya yang terkandung dalam UU Cipta Kerja tetap sah dan berlaku serta mengikat semua pihak. "Keabsahan" salah ketik (cacat hukum) UU Cipta Kerja tersebut tentu saja tidak baik jika dibiarkan terus berlaku dan mengikat semua pihak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan langkah konstitusional lainnya untuk membatalkannya yaitu dengan cara mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sampai saat ini sudah ada beberapa pihak yang mengajukan judicial review atas UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Tercatat misalnya bahwa dua konfederasi buruh terbesar di Indonesia, Konfederasi Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), telah mengajukan uji materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (Sindonews, Selasa, 3/11). Sangat memungkinkan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi akan terus mengalir dari berbagai pihak mengingat materi muatan UU Cipta Kerja tersebut bukan hanya tentang ketenagakerjaan, akan tetapi ia juga mengatur klaster-klaster lainnya yang juga dinilai bermasalah (cacat hukum) oleh publik.
Selain pengujian materiil, pengujian formil UU Cipta Kerja sangat berpeluang juga untuk diajukan ke Mahkmah Konstitusi. Dikatakan demikian karena proses pembentukan UU Cipta Kerja tersebut seperti dikatakan Zainal Arifin Mochtar memang tak wajar (Kompas, Selasa, 20/10). Bahkan lebih dari itu, publik menduga bahwa setelah persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden masih melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja. Apabila dugaan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, maka UU Cipta Kerja bukan hanya megandung cacat prosedur tetapi juga mengandung cacat wewenang.
Penilaian adanya cacat prosedur yang didukung pula oleh penilaian adanya adanya cacat wewenang merupakan modal yang kuat untuk menguji legalitas (keabsahan) formal UU Cipta Kerja. Jika terbukti, tentu saja publik termasuk saya berharap dan menyerukan kepada Mahkamah Konstitusi agar berani untuk mengabulkan pengujian formil tersebut yang akan mengakibatkan batalnya UU Cipta Kerja secara keseluruhan.
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
YUSRILIhza Mahendra melalui tulisannya yang berjudul "permasalahan Sekitar UU Omnibus Law Cipta Kerja " menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ) yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara adalah sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak (Detik.com, Rabu, 4/11). Pendapat tersebut tak terbantahkan kebenarannya sebab sejak UU Cipta Kerja diundangkan, berlakulah asas praesumptio iustae causa (asas praduga keabsahan) terhadapnya. Berdasarkan asas ini, meskipun UU Cipta Kerja dinilai cacat hukum tetapi ia harus tetap dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Namun, tidak tepat kemudian ketika Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan Pimpinan DPR dapat mengadakan perbaikan terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Pendapat yang kedua ini bertentangan dengan pendapatnya yang pertama, di mana dikatakan bahwa UU Cipta kerja tersebut sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak. Sebab sejak UU Cipta Kerja tersebut diundangkan, keabsahan dan keberlakuannya bukan hanya mengikat kepada pihak lain tetapi ia berlaku dan mengikat pula bagi pembentuknya sendiri, yaitu DPR dan Presiden.
Konsekuensinya, sejak UU Cipta kerja diundangkan, DPR dan Presiden terikat untuk tidak melakukan perbaikan (perubahan) terhadapnya kecuali dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 (UU PPP). Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU PPP, hanya ada dua jalan bagi Presiden dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, yaitu pertama, melalui Perppu yang ditetapkan oleh Presiden dan selanjutnya harus dimintakan persetujuan kepada DPR dalam persidangan yang berikut; dan kedua, melalui legislatif review di mana DPR dengan kewenangan legislasinya membentuk UU perubahan atas UU Cipta Kerja bersama Presiden. ( )
Batal Demi Hukum
Artinya bahwa jika ingin melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, tak ada jalan lain bagi DPR dan Presiden selain harus melewati dua alternatif rute konstitusional tersebut di atas. Penegasan berkenaan dengan limitasi dua jalur perubahan ini penting dikemukakan karena wewenang DPR dan Presiden dalam pembentukan UU tidak tak terbatas.
Wewenang DPR dan Presiden untuk melakukan pembahasan dan perubahan terhadap substansi hanya dapat dilakukan sampai keputusan persetujuan diambil dalam rapat paripurna. A contrario, sejak persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja tersebut.
Jangankan setelah diundangkan, pasca persetujuan dalam rapat paripurna wewenang DPR terbatas hanya untuk membenahi teknis penulisan sebelum dikirim kepada Presiden untuk disahkan dan kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU PPP yang menyatakan bahwa "Tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang …".
Pun demikian dengan Presiden, setelah persetujuan dalam rapat paripurna kewenangannya terbatas hanya untuk mengesahkan UU Cipta Kerja tersebut. Itu bermakna bahwa setelah persetujuan dalam rapat peripurna, Presiden tidak lagi punya kewenangan untuk mengubah ketentuan-ketentuan UU Cipta Kerja meskipun "hanya sebatas" kata, titik, dan/atau koma sebab ia dapat menyebabkan perubahan makna (substansi). ( )
Jika Presiden dan/atau DPR masih melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja yang telah diundangkan, maka itu sama artinya dengan mengubah UU Cipta Kerja tanpa adanya dasar kewenangan. Jadi sangat tidak tepat manakala Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan DPR masih dapat melakukan perbaikan (perubahan) terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta kerja yang telah diundangkan untuk kemudian diumumkan (diundangkan) kembali dalam lembaran negara (Detik.com, Rabu, 4/11). Sebab, UU Perubahan yang dibentuk tanpa adanya dasar kewenangan tersebut adalah batal demi hukum. Batal demi hukum bermakna bahwa UU Perubahan yang dihasilkan dari tindakan yang nyata-nyata tak ada dasar kewenangannya harus dianggap tidak pernah ada dan sekaligus tidak memiliki implikasi apapun (ex tunc) terhadap UU Cipta kerja yang telah diundangkan pada hari Senin (2/11) tersebut.
Harapan kepada MK
DPR dan Presiden tak perlu "khawatir dan risau" terhadap adanya "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Sebab, berdasarkan asas praesumptio iustae causa, penilaian adanya cacat hukum dalam UU Cipta Kerja tidak kemudian menyebabkan UU tersebut tidak sah dan batal. Artinya bahwa sejak UU Cipta Kerja diundangkan, maka "salah ketik pun" yang terdapat dalam UU tersebut harus dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Jadi apabila Presiden dan DPR tidak melakukan perubahan (revisi) melalui penerbitan Perppu atau melalui legislative review, maka "salah ketik" dan kemungkinan adanya cacat hukum bawaan lainnya yang terkandung dalam UU Cipta Kerja tetap sah dan berlaku serta mengikat semua pihak. "Keabsahan" salah ketik (cacat hukum) UU Cipta Kerja tersebut tentu saja tidak baik jika dibiarkan terus berlaku dan mengikat semua pihak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan langkah konstitusional lainnya untuk membatalkannya yaitu dengan cara mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sampai saat ini sudah ada beberapa pihak yang mengajukan judicial review atas UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Tercatat misalnya bahwa dua konfederasi buruh terbesar di Indonesia, Konfederasi Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), telah mengajukan uji materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (Sindonews, Selasa, 3/11). Sangat memungkinkan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi akan terus mengalir dari berbagai pihak mengingat materi muatan UU Cipta Kerja tersebut bukan hanya tentang ketenagakerjaan, akan tetapi ia juga mengatur klaster-klaster lainnya yang juga dinilai bermasalah (cacat hukum) oleh publik.
Selain pengujian materiil, pengujian formil UU Cipta Kerja sangat berpeluang juga untuk diajukan ke Mahkmah Konstitusi. Dikatakan demikian karena proses pembentukan UU Cipta Kerja tersebut seperti dikatakan Zainal Arifin Mochtar memang tak wajar (Kompas, Selasa, 20/10). Bahkan lebih dari itu, publik menduga bahwa setelah persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden masih melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja. Apabila dugaan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, maka UU Cipta Kerja bukan hanya megandung cacat prosedur tetapi juga mengandung cacat wewenang.
Penilaian adanya cacat prosedur yang didukung pula oleh penilaian adanya adanya cacat wewenang merupakan modal yang kuat untuk menguji legalitas (keabsahan) formal UU Cipta Kerja. Jika terbukti, tentu saja publik termasuk saya berharap dan menyerukan kepada Mahkamah Konstitusi agar berani untuk mengabulkan pengujian formil tersebut yang akan mengakibatkan batalnya UU Cipta Kerja secara keseluruhan.
(abd)