Memaknai World without Strangers
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
“WHEN your days break, my evenings descend, but there is no such thing as distance. In every shade and shape we were spun, but there is no such thing as difference, for we all are, jewels in the sun, yeah there is no such thing as difference. From mountains high, to desert seas ,I am you and you are me. Neath jeepney sky, and blossom shade, no pride, no fear no hate.”
Artikel ini saya mulai dengan mengutip petikan lirik lagu World without Strangers yang menggambarkan bentuk pluralisme global yang menjadi tujuan seluruh umat manusia di muka bumi. Pluralisme global dikatakan menjadi tujuan karena di dalamnya terkandung kesadaran akan perbedaan pada saat membangun perdamaian dunia.
Sebagaimana diketahui isu pluralisme kembali menjadi persoalan serius baik secara internasional maupun nasional. Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron atas gambar karikatur media Charlie Hebdo yang menyinggung umat Islam memantik polemik dunia internasional. Kondisi tersebut diikuti dengan penyerangan di gereja Northerdame Dame dan juga penyerangan di kedutaan Arab Saudi di Prancis.
Dalam skala nasional persoalan pluralisme menjadi sorotan dan trending di berbagai media, baik cetak maupun media sosial. Peristiwa bermula ketika seorang guru turut menyuarakan politik identitas, yakni menyarankan agar para siswa memilih ketua OSIS yang beragama sama. Peristiwa ini terjadi di salah satu sekolah negeri di Jakarta yang seharusnya memegang teguh pluralisme dan berasas Pancasilais.
Persoalan pluralisme, khususnya yang menyangkut identitas agama, perlu disikapi secara bijak mengingat persoalan tersebut berpotensi membuat masyarakat terbelah atas dampak politik identitas. Selain itu hal tersebut akan membentuk eksklusivitas pada tiap kelompok dan pada akhirnya justru tidak terbentuk pluralisme dalam masyarakat. Abdurahman Wahid (1995) menjelaskan bahwa esensi pluralisme adalah meleburnya eksklusivitas antarkelompok sehingga terbentuk keragaman tanpa tersekat identitas agama, suku maupun ras. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa world without strangers adalah keberagaman itu sendiri.
World without Strangers = Pluralisme
Presiden Prancis melalui duta besarnya dalam berbagai rilisnya menyatakan bahwa pernyataan “dukungan” terhadap media Charlie Hebdo atas karikatur yang dipandang menyinggung muslim tersebut adalah bentuk dukungan atas kebebasan berekspresi. Seharusnya dukungan terhadap kebebasan berekspresi diungkapkan dalam bentuk yang lebih “teduh” dengan meletakkan pluralisme sebagai sendi utama sehingga kebebasan berekspresi dapat memperkuat keberagaman yang ada dalam masyarakat, bukan sebaliknya.
Demikian juga kasus pemilihan ketua OSIS di sekolah negeri di Jakarta menunjukkan bahwa pluralisme masih sebatas angan-angan. Guru yang seharusnya menjadi contoh penerapan kehidupan pluralisme justru terjebak dalam politik identitas agama. Istilah world without strangers itu sendiri perlu dipahami secara benar. Banyak komponen masyarakat yang memaknai world without strangerssebagai bentuk homogenitas. Katastrangers dimaknai sebagai perbedaan (baca: pluralitas).
Seglow (2004: 1–9) mengutarakan telah terjadi perubahan global dan altruisme menjadi soal moral yang penting dewasa ini karena globalisasi telah mengubah state of nature kehidupan masyarakat menjadi a world of strangers. Sebuah dunia di mana melalui tindakan, baik sengaja maupun tidak, dapat memengaruhi atau membedakan hingga memberi stigma pada manusia lain berdasarkan perbedaan asasi yang dimiliki seperti ras hingga agama dan pada akhirnya masyarakat menjadi terkotak-kotak dan memandang asing masyarakat di luar kelompoknya.
Sekitar 2008 dunia memiliki kesadaran global untuk mengubah kondisi a world of strangers menjadi world without strangers. Kala itu penambahan kata without dimaksudkan pada terbentuknya pluralisme untuk menuju perdamaian global (global peace) dan hal itu masuk dalam salah satu resolusi komisi perdamaian PBB pada 2008. Dalam hal ini makna penambahan kata without adalah memandang manusia sama adanya tanpa pembedaan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Perdamaian global akan terwujud jika seluruh umat manusia menyadari akan adanya perbedaan tersebut tanpa pembedaan identitas tersebut dalam kehidupan keseharian sehingga tidak ada istilah “orang asing” (strangers) pada kehidupan masyarakat.
Membentuk Pluralisme
Dalam konteks nasional, mengacu pada falsafah Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara sudah tampak bahwa bangsa ini dibangun atas dasar keberagaman sehingga kesadaran pluralisme merupakan hal yang mutlak yang bermasyarakat. Upaya penyeragaman (homogenisasi) seperti dalam kasus pemilihan ketua OSIS sebagaimana diuraikan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
Implementasi dari Bhinneka Tunggal Ika dalam keseharian adalah perilaku tidak menyamakan apa yang berbeda dan tidak membedakan apa yang sama. Dalam kasus pemilihan ketua OSIS tersebut adalah membedakan apa yang seharusnya diperlakukan sama. Selain kasus ketua OSIS, memang di Indonesia masih sering terjadi persoalan keberagaman yang terjadi karena penyamaan apa yang berbeda atau pembedaan apa yang seharusnya diperlakukan dengan sama. Lebih lanjut kedua hal tersebut merupakan turunan dari hak asasi manusia (HAM), yakni equal treatment.
Perlu disadari bahwa upaya homogenisasi (penyeragaman) di Indonesia justru akan melemahkan masyarakat itu sendiri. Upaya homogenisasi justru membangun situasi masyarakat yang saling berhadap-hadapan dan pada akhirnya akan membelah masyarakat karena konflik identitas. Masyarakat perlu menyadari keragaman identitas sehingga dengan kesadaran akan keragaman tersebut masyarakat tidak terbelah akan konflik berbasis identitas seperti agama dan golongan. Dalam hal ini menerima keragaman artinya memandang semua individu sama tanpa membedakan identitas yang menyertainya.
Pada akhirnya perlu disadari bahwa secara historis bangsa Indonesia berdiri karena berbasis akan kemajemukan. Perilaku homogenisasi (penyeragaman) sama artinya dengan kembali pada masa penjajahan dengan devide et impera yang menggunakan konflik identitas sebagai alat memperlemah bangsa.
Sebaliknya masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pluralisme. Demikian juga masyarakat perlu menyadari pentingnya pluralisme mengingat jika masyarakat terjebak dalam konflik identitas maka akan sangat rawan dimanfaatkan dalam kontestasi politik mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan gelaran pilkada serentak.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
“WHEN your days break, my evenings descend, but there is no such thing as distance. In every shade and shape we were spun, but there is no such thing as difference, for we all are, jewels in the sun, yeah there is no such thing as difference. From mountains high, to desert seas ,I am you and you are me. Neath jeepney sky, and blossom shade, no pride, no fear no hate.”
Artikel ini saya mulai dengan mengutip petikan lirik lagu World without Strangers yang menggambarkan bentuk pluralisme global yang menjadi tujuan seluruh umat manusia di muka bumi. Pluralisme global dikatakan menjadi tujuan karena di dalamnya terkandung kesadaran akan perbedaan pada saat membangun perdamaian dunia.
Sebagaimana diketahui isu pluralisme kembali menjadi persoalan serius baik secara internasional maupun nasional. Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron atas gambar karikatur media Charlie Hebdo yang menyinggung umat Islam memantik polemik dunia internasional. Kondisi tersebut diikuti dengan penyerangan di gereja Northerdame Dame dan juga penyerangan di kedutaan Arab Saudi di Prancis.
Dalam skala nasional persoalan pluralisme menjadi sorotan dan trending di berbagai media, baik cetak maupun media sosial. Peristiwa bermula ketika seorang guru turut menyuarakan politik identitas, yakni menyarankan agar para siswa memilih ketua OSIS yang beragama sama. Peristiwa ini terjadi di salah satu sekolah negeri di Jakarta yang seharusnya memegang teguh pluralisme dan berasas Pancasilais.
Persoalan pluralisme, khususnya yang menyangkut identitas agama, perlu disikapi secara bijak mengingat persoalan tersebut berpotensi membuat masyarakat terbelah atas dampak politik identitas. Selain itu hal tersebut akan membentuk eksklusivitas pada tiap kelompok dan pada akhirnya justru tidak terbentuk pluralisme dalam masyarakat. Abdurahman Wahid (1995) menjelaskan bahwa esensi pluralisme adalah meleburnya eksklusivitas antarkelompok sehingga terbentuk keragaman tanpa tersekat identitas agama, suku maupun ras. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa world without strangers adalah keberagaman itu sendiri.
World without Strangers = Pluralisme
Presiden Prancis melalui duta besarnya dalam berbagai rilisnya menyatakan bahwa pernyataan “dukungan” terhadap media Charlie Hebdo atas karikatur yang dipandang menyinggung muslim tersebut adalah bentuk dukungan atas kebebasan berekspresi. Seharusnya dukungan terhadap kebebasan berekspresi diungkapkan dalam bentuk yang lebih “teduh” dengan meletakkan pluralisme sebagai sendi utama sehingga kebebasan berekspresi dapat memperkuat keberagaman yang ada dalam masyarakat, bukan sebaliknya.
Demikian juga kasus pemilihan ketua OSIS di sekolah negeri di Jakarta menunjukkan bahwa pluralisme masih sebatas angan-angan. Guru yang seharusnya menjadi contoh penerapan kehidupan pluralisme justru terjebak dalam politik identitas agama. Istilah world without strangers itu sendiri perlu dipahami secara benar. Banyak komponen masyarakat yang memaknai world without strangerssebagai bentuk homogenitas. Katastrangers dimaknai sebagai perbedaan (baca: pluralitas).
Seglow (2004: 1–9) mengutarakan telah terjadi perubahan global dan altruisme menjadi soal moral yang penting dewasa ini karena globalisasi telah mengubah state of nature kehidupan masyarakat menjadi a world of strangers. Sebuah dunia di mana melalui tindakan, baik sengaja maupun tidak, dapat memengaruhi atau membedakan hingga memberi stigma pada manusia lain berdasarkan perbedaan asasi yang dimiliki seperti ras hingga agama dan pada akhirnya masyarakat menjadi terkotak-kotak dan memandang asing masyarakat di luar kelompoknya.
Sekitar 2008 dunia memiliki kesadaran global untuk mengubah kondisi a world of strangers menjadi world without strangers. Kala itu penambahan kata without dimaksudkan pada terbentuknya pluralisme untuk menuju perdamaian global (global peace) dan hal itu masuk dalam salah satu resolusi komisi perdamaian PBB pada 2008. Dalam hal ini makna penambahan kata without adalah memandang manusia sama adanya tanpa pembedaan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Perdamaian global akan terwujud jika seluruh umat manusia menyadari akan adanya perbedaan tersebut tanpa pembedaan identitas tersebut dalam kehidupan keseharian sehingga tidak ada istilah “orang asing” (strangers) pada kehidupan masyarakat.
Membentuk Pluralisme
Dalam konteks nasional, mengacu pada falsafah Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara sudah tampak bahwa bangsa ini dibangun atas dasar keberagaman sehingga kesadaran pluralisme merupakan hal yang mutlak yang bermasyarakat. Upaya penyeragaman (homogenisasi) seperti dalam kasus pemilihan ketua OSIS sebagaimana diuraikan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
Implementasi dari Bhinneka Tunggal Ika dalam keseharian adalah perilaku tidak menyamakan apa yang berbeda dan tidak membedakan apa yang sama. Dalam kasus pemilihan ketua OSIS tersebut adalah membedakan apa yang seharusnya diperlakukan sama. Selain kasus ketua OSIS, memang di Indonesia masih sering terjadi persoalan keberagaman yang terjadi karena penyamaan apa yang berbeda atau pembedaan apa yang seharusnya diperlakukan dengan sama. Lebih lanjut kedua hal tersebut merupakan turunan dari hak asasi manusia (HAM), yakni equal treatment.
Perlu disadari bahwa upaya homogenisasi (penyeragaman) di Indonesia justru akan melemahkan masyarakat itu sendiri. Upaya homogenisasi justru membangun situasi masyarakat yang saling berhadap-hadapan dan pada akhirnya akan membelah masyarakat karena konflik identitas. Masyarakat perlu menyadari keragaman identitas sehingga dengan kesadaran akan keragaman tersebut masyarakat tidak terbelah akan konflik berbasis identitas seperti agama dan golongan. Dalam hal ini menerima keragaman artinya memandang semua individu sama tanpa membedakan identitas yang menyertainya.
Pada akhirnya perlu disadari bahwa secara historis bangsa Indonesia berdiri karena berbasis akan kemajemukan. Perilaku homogenisasi (penyeragaman) sama artinya dengan kembali pada masa penjajahan dengan devide et impera yang menggunakan konflik identitas sebagai alat memperlemah bangsa.
Sebaliknya masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pluralisme. Demikian juga masyarakat perlu menyadari pentingnya pluralisme mengingat jika masyarakat terjebak dalam konflik identitas maka akan sangat rawan dimanfaatkan dalam kontestasi politik mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan gelaran pilkada serentak.
(bmm)