Memaknai World without Strangers
loading...
A
A
A
Sekitar 2008 dunia memiliki kesadaran global untuk mengubah kondisi a world of strangers menjadi world without strangers. Kala itu penambahan kata without dimaksudkan pada terbentuknya pluralisme untuk menuju perdamaian global (global peace) dan hal itu masuk dalam salah satu resolusi komisi perdamaian PBB pada 2008. Dalam hal ini makna penambahan kata without adalah memandang manusia sama adanya tanpa pembedaan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Perdamaian global akan terwujud jika seluruh umat manusia menyadari akan adanya perbedaan tersebut tanpa pembedaan identitas tersebut dalam kehidupan keseharian sehingga tidak ada istilah “orang asing” (strangers) pada kehidupan masyarakat.
Membentuk Pluralisme
Dalam konteks nasional, mengacu pada falsafah Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara sudah tampak bahwa bangsa ini dibangun atas dasar keberagaman sehingga kesadaran pluralisme merupakan hal yang mutlak yang bermasyarakat. Upaya penyeragaman (homogenisasi) seperti dalam kasus pemilihan ketua OSIS sebagaimana diuraikan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
Implementasi dari Bhinneka Tunggal Ika dalam keseharian adalah perilaku tidak menyamakan apa yang berbeda dan tidak membedakan apa yang sama. Dalam kasus pemilihan ketua OSIS tersebut adalah membedakan apa yang seharusnya diperlakukan sama. Selain kasus ketua OSIS, memang di Indonesia masih sering terjadi persoalan keberagaman yang terjadi karena penyamaan apa yang berbeda atau pembedaan apa yang seharusnya diperlakukan dengan sama. Lebih lanjut kedua hal tersebut merupakan turunan dari hak asasi manusia (HAM), yakni equal treatment.
Perlu disadari bahwa upaya homogenisasi (penyeragaman) di Indonesia justru akan melemahkan masyarakat itu sendiri. Upaya homogenisasi justru membangun situasi masyarakat yang saling berhadap-hadapan dan pada akhirnya akan membelah masyarakat karena konflik identitas. Masyarakat perlu menyadari keragaman identitas sehingga dengan kesadaran akan keragaman tersebut masyarakat tidak terbelah akan konflik berbasis identitas seperti agama dan golongan. Dalam hal ini menerima keragaman artinya memandang semua individu sama tanpa membedakan identitas yang menyertainya.
Pada akhirnya perlu disadari bahwa secara historis bangsa Indonesia berdiri karena berbasis akan kemajemukan. Perilaku homogenisasi (penyeragaman) sama artinya dengan kembali pada masa penjajahan dengan devide et impera yang menggunakan konflik identitas sebagai alat memperlemah bangsa.
Sebaliknya masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pluralisme. Demikian juga masyarakat perlu menyadari pentingnya pluralisme mengingat jika masyarakat terjebak dalam konflik identitas maka akan sangat rawan dimanfaatkan dalam kontestasi politik mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan gelaran pilkada serentak.
Membentuk Pluralisme
Dalam konteks nasional, mengacu pada falsafah Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara sudah tampak bahwa bangsa ini dibangun atas dasar keberagaman sehingga kesadaran pluralisme merupakan hal yang mutlak yang bermasyarakat. Upaya penyeragaman (homogenisasi) seperti dalam kasus pemilihan ketua OSIS sebagaimana diuraikan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
Implementasi dari Bhinneka Tunggal Ika dalam keseharian adalah perilaku tidak menyamakan apa yang berbeda dan tidak membedakan apa yang sama. Dalam kasus pemilihan ketua OSIS tersebut adalah membedakan apa yang seharusnya diperlakukan sama. Selain kasus ketua OSIS, memang di Indonesia masih sering terjadi persoalan keberagaman yang terjadi karena penyamaan apa yang berbeda atau pembedaan apa yang seharusnya diperlakukan dengan sama. Lebih lanjut kedua hal tersebut merupakan turunan dari hak asasi manusia (HAM), yakni equal treatment.
Perlu disadari bahwa upaya homogenisasi (penyeragaman) di Indonesia justru akan melemahkan masyarakat itu sendiri. Upaya homogenisasi justru membangun situasi masyarakat yang saling berhadap-hadapan dan pada akhirnya akan membelah masyarakat karena konflik identitas. Masyarakat perlu menyadari keragaman identitas sehingga dengan kesadaran akan keragaman tersebut masyarakat tidak terbelah akan konflik berbasis identitas seperti agama dan golongan. Dalam hal ini menerima keragaman artinya memandang semua individu sama tanpa membedakan identitas yang menyertainya.
Pada akhirnya perlu disadari bahwa secara historis bangsa Indonesia berdiri karena berbasis akan kemajemukan. Perilaku homogenisasi (penyeragaman) sama artinya dengan kembali pada masa penjajahan dengan devide et impera yang menggunakan konflik identitas sebagai alat memperlemah bangsa.
Sebaliknya masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pluralisme. Demikian juga masyarakat perlu menyadari pentingnya pluralisme mengingat jika masyarakat terjebak dalam konflik identitas maka akan sangat rawan dimanfaatkan dalam kontestasi politik mengingat sebentar lagi akan dilaksanakan gelaran pilkada serentak.
(bmm)