Matinya Rasa Percaya

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 14:45 WIB
loading...
Matinya Rasa Percaya
Dr Firman Kurniawan S, pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

APA yang paling sulit ditemukan dari realita di zaman yang sering disebut sebagai zaman digital ini? Teknologi sangat memanjakan manusia dengan aneka kemudahan.

Dari bangun tidur, alarm pengusik kelelapan tidur, perangkat pengingat aktivitas harian, sensor pengenal status kesehatan, penunjuk kebutuhan asupan gizi, air, udara segar, indikator kebutuhan menggerakan anggota tubuh, keperluan konsumsi hiburan, pengingat keperluan barang yang harus dibeli, memo kewajiban finansial, hingga pengingat janji yang harus ditunaikan sebelum tubuh harus tidur lagi, semua sudah tersedia. Bahkan banyak di antaranya yang dapat diperoleh tanpa biaya. Gratis.

Secara radikal, seandainya seluruh anggota tubuh manusia diamputasi, dan yang tinggal hanya kesadaran, aneka teknologi sudah siap menggantikan fungsinya. Bahkan hari ini, kesadaran pun sudah dijamah oleh pengembang teknologi sampai tingkat hampir sempurna. Ini tercapai lewat penciptaan kecerdasan buatan, artificial intelligence.

Tak heran, kehadiran teknologi disambut dengan penuh toleransi. Ia dianggap sebagai peluang penyempurna hidup, tanpa perlu diwaspadai akibat buruknya. Pernyataan itu, disampaikan Malcolm Frank,.et.al, 2017 dalam bukunya What to Do When Machine Do Everything?

Maka banyak yang menyebut zaman ini adalah zaman pasca-manusia, post human. Yang cirinya antara lain tidak jelas lagi batas antara manusia dan teknologi sebagai hasil kreasinya dan batas antara teknologi dan manusia. Teknologi jadi bagian lekat pada tubuh manusia, sebaliknya teknologi tubuh manusia, rasionalitas pikirannya, terejawantah dalam mesin-mesin yang diciptakannya.

Don Ihde, 2008 dalam Ironic Technics menyebut keadaan itu, “Sebelum manusia jadi modern sebagai homo sapiens, mereka sibuk menciptakan teknologi. Sebaliknya, teknologi juga menciptakan manusia. Sering manusia menafsir ke arah utopis atau distopia: teknologi membuat hidup jadi lebih baik dan membawa ke alam utopia. Atau sebaliknya teknologi menghukum manusia ke keterasingan diri. Ini bahkan sampai ke tingkat menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.

Dimensi ironis dari hubungan manusia dengan teknologi, mengantarkan pada keadaan yang tak terduga. Hingga muncul pertanyaan, bisakah manusia merancang “penggunaan” teknologi? Atau, apakah mereka selalu mengejutkan dengan hal yang tak terduga? Bisakah kita 'menggunakan teknologi' tubuh kita? Menjadi lebih Cyborgean? Dan apakah manusia menjadi 'posthuman'?” Seandainya tingkat ironis itu tak terlampaui akibat relasinya yang terlalu lekat, sesuai uraian Frank dkk tadi, ada satu tahap yang harusnya dihadirkan sebelum menoleransi teknologi.

Ironisnya ini sering diabaikan. Manusia sering tak sadar atas akibat dan perubahan yang dihadirkan teknologi. Manusia sampai pada keadaan yang telah terlalu terlambat untuk berpikir ulang dan mengambil jarak, alih-alih menghentikan pengunaannya.

Keadaan terlalu terlambat mengambil sikap pada teknologi, terjadi tanpa diduga ketika manusia secara mental telah diubah oleh teknologi. Manusia hari ini sulit percaya pada realitas. Mereka mengalami tragedi besar: kematian rasa percaya.

Dalam tulisannya, Strengthening the Foundations of Trust in The Digital Age, Stephanie Hyde dan Blair Sheppard, 2019 menyebutkan, kecepatan perubahan teknologi dan volume informasi yang belum pernah ada sebelumnya -tersedia kapan saja, di mana saja, melalui perangkat teknologi- memunculkan fenomena melemahnya rasa percaya masyarakat, terhadap apa pun dan kapan pun. Kecenderungan ini tumbuh karena jaringan seluler 5G, yang meningkatkan kecepatan dan memperluas jangkauan konektivitas. Informasi berlimpah tak menghadirkan kepastian, justru memproduksi dan mendistribusi ketakpastian.

Paradoks informasi. Menurut Edelman Trust Barometer, yang dikutip dari tulisan di atas, secara global dalam 10 tahun terakhir, kurang dari setengah penduduk dunia yang mempercayai pemerintah, institusi bisnis, bahkan di antara mereka sendiri sebagai sesama masyarakat sipil. Padahal untuk mempertahankan masyarakat yang stabil, sangat penting adanya kepercayaan masyarakat.

Institusi publik seperti media yang berkategori editor mediated content, seperti media yang hadir dalam wujud konvensional, cetak, elektronik maupun yang berbasis internet, saat ini jadi sulit dipercaya. Ini lantaran banyak media yang idealismenya luntur, oleh permainan clickbait dan framing. Pada praktik ini, tak jarang ungkapan narasumber yang telah disampaikan dengan cermat dan ekstra hati-hati pun, dipelintir demi news value.

Bad news is the good news, menemukan hakikatnya yang penuh di jaman ini. Semuanya dapat dijelaskan, sebagai: demi kelanggangen kuasa politik maupun ekonomi pemodalnya, dalam ekosistem persaingan yang sangat sengit. Institusi-institusi media konvensional harus bersaing, dengan platform digital yang beroperasi global, dengan nyaris tanpa pengawasan maupun kewajiban bayar pajak.

Tentu sebuah bentuk persaingan “David melawan Goliath”. Ketakpercayaan lebih parah, disumbangkan oleh media yang berkategori non editor mediated content. Mereka hadir dalam bentuk media sosial, individual maupun berkelompok. Proses produksi dan distribusi informasinya sangat rentan misinformasi maupun disinformasi. Ini dapat dijelaskan dalam spektrum: kekurangcakapan lantaran tak punya bekal memadai mengolah informasi, tak paham etika informasi, maupun dengan sengaja terlibat dalam jejaring komersialisasi produksi dan distribusi informasi tanpa etika. Hari ini profesi pengabai etika informasi, sering disebut sebagai buzzerRp.

Kematian rasa percaya makin runyam, manakala aneka aparatus kuasa ekonomi maupun politik memaksanakan cengkraman kuasa mereka lewat disinformasi. Craig Timberg, 2017 dalam tulisannya berjudul Spreading Fake News Becomes Standard Practice for Governments Across the World, yang dimuat Washington Post menuliskan, kampanye memanipulasi opini publik melalui penempatan informasi di media sosial yang didisinformasi, telah jadi praktik politik standar di sebagian besar dunia. Operasi politik dengan modus ini, mampu membentuk arus informasi di berbagai negara.

Propaganda ini mengeksploitasi platform media sosial -Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya- yang mengandalkan manusia maupun bot, termediasi komputer untuk memperkuat kekuatan kampanye disinformasi. Operasinya mengotomatiskan produksi dan distribusi penempatan informasi, bot berinteraksi dengan pengguna manusia, juga dengan bot lain. Maka, jika keadaannya sudah sedemikian terlambat untuk ditarik ulang, rasa percaya tak tersisa lagi, lalu apa yang tersisa dari kemanusiaaan, manusia yang otentik?
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2140 seconds (0.1#10.140)