Soal Wana Artha, Benny Tjokro Sebut Jaksa Lakukan Kekeliruan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa kasus tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro merasa menjadi korban konspirasi Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Banyak tuduhan dan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang dinilai tidak berdasar. Beberapa dakwaan JPU dinilai keliru, seperti pelaku-pelaku transaksi saham LCGP bukan nominee. Salah satunya adalah Wana Artha. Benny mengaku bukan pemiliknya
Pemilik Hanson International dengan kode saham MYRX ini menyebutkan, tudingan kepemilikannya di Wana Artha adalah sebuah kesalahan jaksa. (Baca juga: Minta Daerah Antisipasi Penyebaran COVID-19 Saat Libur Panjang, Ini 11 Arahan Mendagri)
Dalam pleidoinya, Beny ini menuding jaksa memanipulasi fakta dengan serangkaian kebohongan dan iktikad buruk yang mengatasnamakan hukum untuk mengkriminalisasikan dirinya.
Benny mepertanyakan tuntantan penjara seumur hidup terhadapnya. Padahal, dalam fakta persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa Benny Tjokro yang mengatur atau mengendalikan investasi Jiwasraya, baik dalam reksa dana saham maupun transaksi saham yang mereka transaksikan.
“Saya tidak dapat memahami dan menerima tuntutan jaksa yang menuntut penjara seumur hidup karena mendasarkan pada Undang-Undang Tipikor dan TPPU, karena yang saya rasakan adalah ketidakadilan dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” kata Benny dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2020. (Baca juga: Hari Santri, Pemerintah Harus Berpihak dan Hadir Bukan Sekedar Selebrasi)
Benny juga menolak dikaitkan dengan transaksi yang berkaitan Jiwasraya yang ilegal bersama Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan.
Transaksi yang dilakukan adalah sah menurut hukum dan seluruh kewajibannya juga telah dilunasi baik dari RePO saham maupun MTN-MTN yang pernah diterbitkan. Artinya, tidak ada lagi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perjanjian RePO dan MTN tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Benny Tjokro, Bob Hasan mengatakan jaksa sangat berlebihan mengkaitkan Wana Artha dengan kasus Jiwasraya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh pihaknya, tak ada kaitan antara Wana Artha dengan kasus yang membelenggu Benny Tjokro.
“Ini berlebihan. Mereka menganggap nominee itu punya Benny itu dikendalikan oleh Wana Artha. Justru sebaliknya memberikan pinjaman ke emiten-emiten,” kata Hasan.
Dia mensinyalir, ada kesalahan jaksa saat membekukan rekening efek milik Wana Artha. Salah satunya, melakukan penyitaan tanpa memeriksa Emiten yang bersangkutan. “Pak Benny itu pakai nominee-nominee. Sedangkan Wana Artha itu bos. Nominee-nominee itu strata bawah. Jadi gak ada sangkutannya,” lanjut Hasan.
Karena itu, Hasan meminta kepada majelis hakim untuk membuka rekeing efek yang dibekukan akibat penyidikan kasus korupsi pada perusahaan milik pemerintah itu. “Iya. Kan satu penyitaan itu akibat adanya dari penyimpangan atau perbuatan hukum. Sekarang pertanyaannya, perbuatan melawan hukum mana yang dilakukan oleh Wana Artha,” katanya.
Lihat Juga: Usul Bentuk Panja Kasus Tom Lembong, Anggota DPR: Jangan Sampai Ada Anggapan Rezim Ini Membalas Dendam
Banyak tuduhan dan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang dinilai tidak berdasar. Beberapa dakwaan JPU dinilai keliru, seperti pelaku-pelaku transaksi saham LCGP bukan nominee. Salah satunya adalah Wana Artha. Benny mengaku bukan pemiliknya
Pemilik Hanson International dengan kode saham MYRX ini menyebutkan, tudingan kepemilikannya di Wana Artha adalah sebuah kesalahan jaksa. (Baca juga: Minta Daerah Antisipasi Penyebaran COVID-19 Saat Libur Panjang, Ini 11 Arahan Mendagri)
Dalam pleidoinya, Beny ini menuding jaksa memanipulasi fakta dengan serangkaian kebohongan dan iktikad buruk yang mengatasnamakan hukum untuk mengkriminalisasikan dirinya.
Benny mepertanyakan tuntantan penjara seumur hidup terhadapnya. Padahal, dalam fakta persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa Benny Tjokro yang mengatur atau mengendalikan investasi Jiwasraya, baik dalam reksa dana saham maupun transaksi saham yang mereka transaksikan.
“Saya tidak dapat memahami dan menerima tuntutan jaksa yang menuntut penjara seumur hidup karena mendasarkan pada Undang-Undang Tipikor dan TPPU, karena yang saya rasakan adalah ketidakadilan dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” kata Benny dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2020. (Baca juga: Hari Santri, Pemerintah Harus Berpihak dan Hadir Bukan Sekedar Selebrasi)
Benny juga menolak dikaitkan dengan transaksi yang berkaitan Jiwasraya yang ilegal bersama Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan.
Transaksi yang dilakukan adalah sah menurut hukum dan seluruh kewajibannya juga telah dilunasi baik dari RePO saham maupun MTN-MTN yang pernah diterbitkan. Artinya, tidak ada lagi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perjanjian RePO dan MTN tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Benny Tjokro, Bob Hasan mengatakan jaksa sangat berlebihan mengkaitkan Wana Artha dengan kasus Jiwasraya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh pihaknya, tak ada kaitan antara Wana Artha dengan kasus yang membelenggu Benny Tjokro.
“Ini berlebihan. Mereka menganggap nominee itu punya Benny itu dikendalikan oleh Wana Artha. Justru sebaliknya memberikan pinjaman ke emiten-emiten,” kata Hasan.
Dia mensinyalir, ada kesalahan jaksa saat membekukan rekening efek milik Wana Artha. Salah satunya, melakukan penyitaan tanpa memeriksa Emiten yang bersangkutan. “Pak Benny itu pakai nominee-nominee. Sedangkan Wana Artha itu bos. Nominee-nominee itu strata bawah. Jadi gak ada sangkutannya,” lanjut Hasan.
Karena itu, Hasan meminta kepada majelis hakim untuk membuka rekeing efek yang dibekukan akibat penyidikan kasus korupsi pada perusahaan milik pemerintah itu. “Iya. Kan satu penyitaan itu akibat adanya dari penyimpangan atau perbuatan hukum. Sekarang pertanyaannya, perbuatan melawan hukum mana yang dilakukan oleh Wana Artha,” katanya.
Lihat Juga: Usul Bentuk Panja Kasus Tom Lembong, Anggota DPR: Jangan Sampai Ada Anggapan Rezim Ini Membalas Dendam
(dam)